Source: http://caramembuat524.blogspot.com/2014/01/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html

Sabtu, 05 Mei 2012

Televisi Sedang Menonton Anda


( KRITIK ETIKA DAN ESTETIKA KOMODITI DI BALIK BUDAYA TELEVISI )


Etika adalah sesuatu yang senantiasa diagungkan di panggung retorika politik, tetapi tak jarang malah dilecehkan di tingkat realita. Seruan dan imbauan moral sama sekali tak mendatangkan riak perubahan, justru di hadapan pementasan kehidupan kolutif, koruptif, dan manipulatif. Kesederhanaan adalah sesuatu yang menipu, justru di hadapan pameran gaya hidup gedongan dan pola hidup konsumtif yang memprasyaratkan ekonomi biaya tinggi. Prasarana kehidupan seperti saluran komunikasi dan transportasi publik memang terus dibangun, tetapi ruang publik rakyat terus tergusur atas nama pembangunan dan kepentingan umum. Kelembutan ucapan di balik senyuman  sering tak kan berguna di balik kekerasan politik yang menyengsarakan rakyat. Para pejabat terus menebar senyum di acara-acara yang ditayangkan televisi tak kan sanggup menyembuhkan derita rakyat yang disebabkan kebijakan publik yang salah urus.
Ada pula yang melihat fenomena ini sebagai munculnya apa yang disebut sebagai “imperialisme doktrinal” (Gellner), atau “industrialisasi kesadaran” (Enzensberger), atau pun “tirani kesadaran” dan “tirani kognitif” (Tehrania)
Namun, kini semua gejala seperti yang dikhawatirkan oleh para kritikus budaya tersebut telah mengalami metamorfosis secara lebih canggih dalam apa yang secara klise sering disebut sebagai “kondisi pasca modern” atau “budaya pascamodern”. Dalam kondisi seperti ini, penumpulan daya imajinasi atau penunggalan wacana tak lagi mesti berlangsung dalam ruang penataran yang di dalamnya mungkin berlangsung injeksi indoktrinasi yang telanjang. Tetapi, kini semua saluran artikulasi kekuasaan via media baik media cetak maupun media elektronik (terutama televisi) telah menjadi bagian penting dari beroperasinya proses penunggalan atau homogenisasi wacana.
Dalam uraian terbatas ini, bab ini akan menyoroti satu sisi perkembangan institusi komunitas masyarakat pascamodern, yakni televisi yang telah menjadi industri hiburan dan sekaligus produsen budaya populer. Televisi telah menjadi supra–ideologi yang mempesona masyarakat mutakhir dengan aneka corak hiburan massa untuk khalayak dengan tingkat kesadaran dan kritisisme yang pas-pasan (mediocre). Lalu, bagaimana, misalnya kalau kita ingin menjelaskan etika kekeluargaan atau pendidikan yang dikhotbahkan televisi dengan memanfaatkan pesona “ikon pop” berupa foto model, bintang iklan atau artis?

HISTERIA KEMATIAN SELEBRITI
            Televisi adalah contoh mesin konstruksi citra di pangggung selebriti. Ia memungkinkan semua ranah kehidupan dan budaya menjadi produk tontonan di dalam masyarakat komoditi mutakhir, tidak terkecuali kematian, terutama kematian selebriti.
Media mendramatisasi kematian selebriti dengan menyoroti nyaris semua hal yang terkait dengan aktivitas apa saja yang ia lakukan sebelum kematiannya di samping ritual pemakaman dan komentar karib-kerabat yang kemudian menjadi ritual pemberitaan yang bercampur dengan industri gosip yang kini tengah menjadi ritual harian tontonan televisi kita, di samping berita-berita di seputar kriminalitas yang selalu melahirkan “hero”, penegak hukum mengalahkan orang jahat : bapak polisi yang berhasil menyergap perampok atau menggulung maling ayam atau maling kendaraan dengan shooting yang diperlihatkan sangat dramatis, lebih dramatis daripada penangkapan koruptor kelas kakap sekalipun.
            Dalam konteks inilah kita masuk lebih dalam ke wilayah yang menjadi pembahasan uraian bab ini. Bahwa televisi telah menjadi wajah tirani baru ia tidak hanya memediakan realitas real atau ‘nyata”, tapi ia telah mengkontruksi realitas baru yang melampaui yang real atau hyper-real “realitas semu”secara demikian, fenomena budaya televisi pun telah menjadi satu persoalan  serius kalau kita ingin berbicara tentang etika sambil melakukan kritik terhadap estetika komoditi yang selama imi begitu akut dipergelarkan di balik keperkasaan televisi.
            Martin Esslin menyebut abad ke-20 sebagai Abad Televisi sesuai dengan judul bukunya Age of Television. Sinyalemen itu tampaknya beralasan. Sekalipun internet muncul, tetapi ia belum bisa disamakan dengan kehadiran televisi, karena sifat televisi yang relatif murah dan terjangkau untuk berbagai lapisan masyarakat. Karena itu, lebih dari itu pada abad ke-21 atau millenium baru kita sedang memasuki gelombang Millenium of Television. Di dalam Millenium TV, stasiun pemancar dan perancang program perlahan tapi pasti juga sudah tampil sekaligus sebagai “agen kebudayaan”. Lebih dari itu, sebagai produk teknologi yang memainkan politik elektronik, televisi telah menjelma sebagai bentuk baru kebudayaan itu sendiri (cultural form, kata kritikus budaya Raymond Williams, 1974).

KOTAK AJAIB DENGAN BANYAK JULUKAN
            Televisi, sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus di salah satu sudut ruang rumah tangga kita, barangkali adalah hasil produk kemajuan teknologi yang paling banyak memperoleh “gelar kehormatan”, seperti “ jendela dunia” (window of the world), “kotak ajaib” (miracle box).
            Televisi adalah anak ajaib industrialisasi yang dikandung oleh ibu modernitas. Televisi memang tidak punya jenis kelamin, tetapi konon ia memainkan ideologi gender sacara amat halus dan tentu saja tidak jarang pula ia mempertontonkannya secara begitu amat telanjang. Bahkan bagi para penganut “antropomorfisme teknologi”, televisi dipandang sebagai “makhluk” hasil produk teknologi komunikasi yang kini membalik logika: “ Manusia menonton TV” menjadi “TV menonton manusia” karena itu,”kill your TV” demikian gertak penyair Afrizal Malna.
            Yang ingin ditegaskan disini adalah bagaimana produk teknologi berupa televisi itu telah menjelma menjadi “agen” atau “Produsen kebudayaan”. Di layar kotak ajaib ini, spot iklan yang semula tersedia hanya sekadar untuk menginformasikan produk terbaru dari sebuah lembaga/perusahaan bisnis, ternyata telah berubah menjadi wahana pencitraan, pengemasan, perekayasaan, atau “estetisasi” produk barang. Di dalam estetika komoditi itu yang dipaketkan bukan hanya barang yang diiklankan, tetapi juga figur bintang iklan atau “ikon pop”. Itu artinya, ketika kita menghadapi kotak ajaib bernama televisi, kita sesungguhnya tidak hanya tengah berhadapan dengan informasi an sich. Tetapi, pada saat yang sama kita juga sedang berhadapan dengan “kebudayaan yang dipaketkan” atau “kebudayaan kemasan”. Di dalam budaya kemasan itu, citra menjadi lebih penting dari makna. Atau, dengan citra itu aneka-makna dibangun oleh produsen dan ditafsirkan oleh produsen. Untuk membangun citra, produk barang yang diiklankan atau komoditi itu perlu diperindah atau dikemas dengan semenarik mungkin agar memukau khalayak. Semua ini tidak lain untuk memenuhi prasyarat komoditi tontonan yang akan dipajangkan di etalase budaya populer.
            Tak heran, kalau kita juga bisa menyaksikan tak jarang dilayar kaca, iklan justru lebih menarik dari sebuah mata acara yang justru semula dirancang untuk menghibur. Dengan estetika komoditi, kita justru merasa senang dan larut meskipun sebenarnya kita tengah dihibur oleh berondongan iklan barang-barang yang menyihir kita untuk selalu membeli, berbelanja, dan hidup dalam gaya. Rupanya produk estetika komoditi ini menjadi sisi lain pertumbuhan masyarakat kapitalisme kontemporer yang telah berhasil memasuki dan menaklukkan ruang keluarga kita termasuk yang paling privasi sekalipun. Perlahan tapi pasti, kita sudah terbiasa dihibur bahkan diteror oleh iklan. Padahal, iklan dengan kekuatan budaya citranya itu telah menjadi semacam mesin kapitalisme yang menyihir hati konsumen untuk senantiasa haus akan sesuatu yang baru, untuk kemudian memiliki dan membelinya. Barang yang diiklankan itu bisa saja sebenarnya hanya barang komoditi yang biasa-biasa saja (dari segi mutu), tetapi dengan trik-trik dan manipulasi yang bermain di balik ideologi iklan ia berubah menjadi produk yang begitu menawan dan memikat hati konsumen (dari segi citra). Inilah logika dari estetika komoditi tersebut.
            Dalam hal ini perlahan tapi pasti, televisi menjelma menjadi”lembaga pendidikan imajiner” anak-anak zaman modern. Televisi bahkan telah ikut menjadwal-ulang dan mendiktekan waktu belajar, bermain, dan tidur anak-anak.
            “TV is waching you!” bisa dijelaskan lewat percepatan dalam pergantian produk komoditi yang terus mengalami peng-estetika-an (estetisasi komoditi). Siklus dunia mode yang terus berputar dalam percepatan irama kehidupan dan hasrat manusia tengah mencapai titik balik ketika televisi menjadi ajang estetisasi komoditi, di satu sisi, dan komodifikasi estetika, di sisi lain.
            Dengan estetika komoditi ini memungkinkan informasi kekerasan lewat film atau objek lainnya berubah menjadi “estetika kekerasan” yang pada gilirannya menjelma menjadi “kekerasan estetika” itu sendiri. Dan, “komoditi kekerasan” di telivisi pun sebenarnya menjadi sebentuk “kekerasan komoditi”. Seperti halnya tayangan teror dan sadisme di layar kaca telah menjadi hiburan kita sehari-hari. Informasi kriminalitas telah menjadi santapan pagi. Sementara perbincangan politik bisa menjadi dagelan. Perang pun bisa dinikmati seperti telenovela ”The war as Telenovela,” demikian kata Omar Sauki Oliviera, 1992). Tak heran, kalau kemudian televisi tidak hanya mampu memotret dan memediakan isu-isu yang berkenaan dengan demokrasi, tetapi televisi ternyata juga ikut berperan dalam menciptakan  krisis demokrasi.

INSTITUSI BUDAYA HIBRID
            Melihat kenyataan demikian, tak heran kalau televisi pun kemudian bisa menjadi instrumen dan institusi tempat berkembang biaknya budaya hibrid. Lebih khusus lagi televisi yang mengklaim sebagai saluran hiburan dan informasi kini terutama saat kapitalisme hiburan, citra, dan waktu luang telah menjadi wahana pengemasan gaya hidup (packaging life-styles? Global dan dengan budayanya yang khas itu televisi dianggap telah menaklukkan atau mengkolonisasi waktu luang (colonizing leisure time).
Lantas, kalau kita bermaksud mendiskusikan budaya dalam konteks kebudayaan suatu bangsa, setidaknya kita harus mencari kesamaan persepsi mengenai apa yang kita maksud dengan “kebudayaan bangsa” itu. Kebudayaan suatu bangsa telah memberikan kepada kita sense of identity. Kebudayaan Indonesia, misalnya memberikan kepada kita sense akan identitas keindonesiaan; kebudayaan Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Padang atau Melayu, misalnya memberikan kepada kita sense akan identitas kajawaan, kesundaan, kebatakan, kebugisan, kepadangan, atau kemelayuan kita di bawah payung keindonesiaan. Sementara, dengan identitas lokal, orang merasa terikat dan menjadi bagian dari sub-kultur kawasan lokalitas tertentu. Budaya lokal, baik berupa bahasa atau pola perilaku tertentu senantiasa terikat oleh konteks ruang dan waktu lokal.
            Namun, persoalan definisi muncul manakala kita merujuk ke salah satu contoh sub-kultur yang lahir dari industri hiburan/tontonan semacam MTV, misalnya. Karena, di baliknya sesungguhnya tengah berlangsung penjungkirbalikkan yang luar biasa terhadap definisi budaya lokal. Budaya lokal marah telah dimanfaatkan, dikonstruksikan, direkayasa, dimanipulasi, dicangkok, atau didaur-ulang untuk kepentingan pasar budaya global. Sementara, budaya global yang serba-seragam justru diperuntukkan bagi pemuasaan selera konsumen lokal. Sehingga memang ada kontradiksi kalau kita melihat lebih dalam apa yang dimaksud sebagai “paket acara yang berwarna lokal” seperti terlihat pada industri hiburan anak muda kemasan MTV Asia yang kian marak di tanah air sejak akhir 1990-an. MTV, dalam kasus ini, telah menjadi semacam “kotak ajaib” tempat “ruang pembiakan” budaya baru di kalangan anak muda yang menjadi khalayak setianya.

DARI IMPERIALISME MEDIA KE GLOKALISASI
            Perhatian utama kajian komunikasi internasional selama ini amat terfokus pada struktur dan arus media internasional (Hur,1982). Sehingga pada tahun 1960-an muncullah suatu kerangka teoretis yang utama dalam bidang penelitian ini. Yakni tesis imperialisme media. Imperialisme media dinilai sabagai wajah atau sarana baru imperialisme kebudayaan barat (Westernisasi/Amerikanisasi) yang menggunakan kekuatan media sebagai saluran hegemoni, dominasi, atau kolonisasi kesadaran terhadap negara-negara pinggiran kekuasaan Amerika (negara berkembang dan juga Eropa).
            Kajian imperialisme media, kemudian mengalami pendalaman dengan munculnya konsep “glokalisasi” pada awal 1990-an. Para peminat kajian glokalisasi ingin menunjukkan bahwa saat ini telah berlangsung perubahan dan pergeseran budaya nan dahsyat yang dialami masyarakat kontemporer dalam skala besar. Glokalisasi juga mengandung makna bahwa proses perubahan sosial adalah suatu hasil perpaduan dari dua kekuatan sekaligus yakni proses homogenisasi (penunggalan/penyeragaman) budaya dan heterogenisasi (pembhinnekaan/penganekaragaman) budaya. (Rebertson, 1992;Wang, 1997). Istilah “glokal” sendiri sebenarnya berasal dari pengertian “penglokalan atau lokalisasi yang global”: suatu strategi bisnis yang pertama kali dikembangkan di Jepang untuk menghadapi serbuan budaya populer Amerika.
Strategi glokalisasi sendiri mengacu pada “ suatu cara pandang global yang diadaptasi untuk kondisi-kondisi lokal”. Dengan glokalisasi ini sekaligus berlangsung tanpa henti proses “peng-lokal-an budaya global” dan/atau “peng-global-an budaya lokal”. Proses saling- pengaruh, saling-merembesi, saling-melengkapi antara budaya lokal dan budaya global inilah yang melahirkan apa yang disebut sebagai “budaya hibrid” (hybrid culture). Hibriditas kultural ini kemudian mengubah “perbedaan” ke dalam “persamaan” dan sebaliknya “kesamaan” kedalam “perbedaan”, tetapi dengan cara membuat yang sama tidak lagi sama, yang berbeda tidak lagi sepenuhnya berbeda. Sehingga yang tampil tidak hanya identitas budaya yang baru, tetapi juga berlangsungnya penjungkirbalikan nilai-nilai demi memenuhi kriteria atau standar yang global dan yang lokal (glokal) itu secara berbarengan.

PERANG BUDAYA YANG TANPA PEMENANG?
            Pertarungan antara proses penunggalan-penyeragaman dan pembhinnekaan-penganekaragaman budaya ini telah memicu terjadinya semacam “Perang Budaya” (Culture War). Ketika budaya global menerpa, budaya lokal mencari format dan ruang pengucapan lokal yang baru. Ketika media global menyerbu, media lokal menanggapi dengan menyediakan ruang bagi idiom-idiom lokal dan media alternatif menyusun kekuatan untuk menawarkan cara pandang lain dalam menghadapi realitas yang terkadang dirasa menyakitkan. Namun, sesungguhnya dalam perang budaya itu tidak mesti ada pihak pemenang atau pecundang. Karena yang akan menjadi pemenang adalah kapital, modal, dan logika pasar. Kekalahan dalam perang budaya itu kini seolah menjadi nisbi. Sebuah negara berkembang bisa saja kebudayaan lokalnya ditaklukkan oleh globalisasi budaya kemasan kebudayaan massa Amerika yang serba-seragam dalam bentuk “Coca-colanisasi” atau “ McDonaldlisasi” yang mereduksi ruang kultural lokal.
Akan tetapi, toh, unsur-unsur, sentimen-sentimen, cita-cita atau muatan lokal bisa saja direkayasa ataupun dicangkok demi kepentingan penguatan pasar global atau cengkeraman gurika kapitalisme multinasional. Itulah sebabnya kita bisa melihat betapa telanjangnya proses “glokalisasi” ini dalam bentuk gaya hidup yang ditawarkan iklan dan iklan gaya hidup di media massa.
            Gaya hidup untuk menghabiskan waktu luang dengan bersenang-senang dan budaya belanja adalah bukti hidupnya budaya hedonis di kalangan sebagian anak muda, dan  ini sudah meruyak di mana-mana. Fenomena ini sebagian besar ditopang oleh iklan televisi dan maraknya pusat perbelanjaan ultra-modern seperti mal yang kini sudah berdiri nyaris di setiap provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia. Tak usah heran kalau sehari-hari orang sudah terbiasa dihibur oleh iklan yang menjadi semacam “industrialisasi hasrat” yang mengkonstruksi kehidupan belanja dan show kemewahan di kalangan kelas menengah kita.
            Munculnya budaya hibrid ini sebagai cangkokan budaya “global-lokal” yang dibiakkan lewat industri budaya masa ini setidaknya mengingatkan kita akan kian menguatnya kontradiksi, ambiguitas, kecemasan, krisis, atau  kalau boleh dibilang semacam “kiamat kebudayaan masa” di balik proses glokalisasi itu sendiri dalam maknanya yang paling radikal dan subtil.
Kalau demikian halnya, memang, kita harus menjadi khalayak yang semakin cerdas dan kritis sembari terus “bercinta dengan TV”. (Mulyana dan Ibrahim, 1998). Sehingga kita tidak hanya membunuh detik-detik waktu luang ini dengan kehampaan makna (emptiness of meaning) yang pada akhirnya hanya akan menciptakan luka di dalam ruang batin kebudayaan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar