I.
Embrio Pemikiran Ekonomi Politik
Sejarah Ekonomi Politik
Ilmu ekonomi
muncul karena adanya kesenjangan antara supply dan demand. Politik identik
dengan kekuasaan atau power dalam suatu negara. Politik membahas distribusi
kekuasaan dalam suatu negara. Sebelum ilmu ekonomi berkembang seperti saat ini,
sesungguhnya dulunya berinduk kepada ilmu ekonomi politik (political economy).
Sedangkan ekonomi politik sendiri merupakan bagian dari ilmu filsafat.
John
Stuart Mill dalam bukunya Principles of
Political Economy tahun 1848. Perbedaan terpenting dari ekonomi politik
dengan ekonomi murni adalah dalam pandangannya dalam struktur kekuasaan yang
ada di dalam masyarakat. Ekonomi politik percaya bahwa struktur kekuasaan akan
mempengaruhi pencapaian ekonomi, sebaliknya pendekatan ekonomi murni menganggap
struktur kekuasaan di dalam masyarakat adalah given (mutlak ada).
Perspektif Ekonomi Politik
Munculnya
teori ekonomi dapat dilacak dari periode antara abad 14 dan 16, yang biasa
disebut masa “transformasi besar” di Eropa Barat sebagai implikasi dari sistem
perdagangan yang secara perlahan menyisihkan sistem ekonomi feudal pada abad
pertengahan. Tumbuhnya pasar ekonomi baru yang besar tersebut telah memunculkan
peluang ekspresi bagi aspirasi-aspirasi individu dan memperkuat jiwa
kewirausahaan yang sebelumnya ditekan oleh lembaga gereja, negara dan
komunitas. Selanjutnya, pada abad 18 muncul abad pencerahaan yang marak di
Perancis dengan para pelopornya, antara lain, Voltaire, Diderot, D’Alembert,
dan Condilac. Pusat gagasan dari pencerahan ide tersebut adalah adanya otonomi
individu dan eksplanasi kapasitas manusia. Para pemimpin dari aliran ini
mempercayai bahwa kekuatan akal akan dapat menyingkirkan manusia dari segala
bentuk kesalahan. Ide dari abad pencerah inilah yang bertumu kepada ilmu
pengetahuan masyarakat (science of society), yang sebetulnya menjadi dasar
ekonomi politik. Sedangkan istilah ekonomi politik sendiri pertama kali
diperkenalkan oleh penulis Perancis, Antoyne de Montchetien (1575-1621), dalam
bukunya yang bertajuk Triatise on
Political Economy. Sedangkan dalam bahasa Inggris, penggunaan istilah
ekonomi politik terjadi pada 1767 lewat publikasi Sir James Steuart (1712-1789)
berjudul Inequiry into the Principles of
Political Economy.
Pada
awal-awal masa itu, para ahli ekonomi politik mengembangkan ide tentang keperluan
negara untuk menstimulasi kegiatan ekonomi (bisnis). Pasar dianggap masih belum
berkembang pada saat itu, sehingga pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
membuka wilayah baru perdagangan, memberikan perlindungan (pelaku ekonomi) dari
kompetisi, dan menyediakan pengawasan untuk produk yang bermutu. Namun, akhir
abad 18, pandangan itu ditentang karena dianggap pemerintah bukan lagi sebagai
agen yang baik untuk mengatur kegiatan ekonomi, tetapi justru sebagai badan
yang merintangi upaya untuk memperoleh kesejahteraan. Perdebatan antara para
ahli ekonomi politik itulah yang akhirnya memunculkan banyak sekali aliran
dalam tradisi pemikiran ekonomi politik. Secara garis besar, mazhab itu dapat
dipecah dalam tiga kategori, yakni: (i) Aliran ekonomi politik konservatif yang
dimotori oleh Edmund Burke; (ii) Aliran ekonomi politik klasik yang dipelopori
oleh Adam Smith, Thomas Malthus, David Ricardo, Nassau Senior, dan Jean
Baptiste Say; (iii) aliran ekonomi politik radikal yang dipropagandakan oleh
William Godwin, Thomas Paine, Marquis de Condorcet, dan Karl Marx.
Kembali
ke muasal ilmu ekonomi, sebenarnya ilmu akonomi eksis kedalam ranah ilmu
pengetahuan karena dipandang sebagai cabang ilmu sosialyang bisa menerangkan
dengan tepat problem manusia, yakni ketersediaan sumber daya ekonomi yang
terbatas. Implikasi dari keterbatasan sumber daya berujung dalam dua hal : (i)
bagaimana mengalokasikan sumber daya tersebut secara efisien sehingga bisa
menghasilkan output yang maksimal, (ii) menyusun formulasi kerja sama (co-operation)
ataupun kompetisi (competition) secara detail sehingga tidak terjadi konflik.
Teori ekonomi politik secara umum sebenarnya juga bekerja untuk mencapai dua
tujuan tersebut.
Bagi
ahli ekonomi politik, problem serius dalam perekonomian tidak semata resource
constraints, tetapi insentif. Syarat sistem insentif bekerja adalah tersedianya
informasi yang lengkap sehingga dapat diakses oleh semua pelaku ekonomi
(padahal ini mustahil). Informasi yang kurang lengkap menyebabkan sistem
insentif tidak pernah bekerja dengan sempurna. Bagi scholars ekonomi politik,
kegagalan terpenting mekanisme pasar adalah ketidaksanggupannya memfasilitasi
informasi yang lengkap. Dengan kata lain informasi yang selalu diberikan oleh
pasar adalah selalu asimetris. Disinilah teori ekonomi politik digunakan
diantara kelangkaan informasi (di satu sisi) dan kemampuan untuk mencari model
kompensasi atas ketidaksempurnaan pasar (di sisi lain).
Isu
yang dibangun oleh teori ekonomi politik adalah bagaimana pemerintah menyusun
mekanisme yang memungkinkan seluruh partisipan di pasar mau berbagi informasi.
Inilah yang melatari terjadinya peristiwa negosiasi. Dengan prinsip regulasi
itu, yang sebetulnya sudah dikembangkan oleh teori ekonomi kelembagaan, suatu
tindakan dan keputusan ekonomi diambil dengan mempertimbangkan kepentingan
semua pihak sehingga kemungkinan kerugian yang bakal diderita oleh salah satu
partisipan dapat dieliminir. Jika ini terjadi, maka prinsip efisiensi dan kerja
sama atau kompetisi dalam kegiatan ekonomi bisa dicapai.
Struktur Ekonomi Politik
Pendekatan
ekonomi politik sendiri secara definitive dimaknai sebagai interelasi diantara
aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi (produksi,
investasi, penciptaan harga, perdagangan, konsumsi dan lain sebagainya),
mengacu pada definisi tersebut, pendekatan ekonomi polititk mengaitkan seluruh
penyelenggaraan politik, baik yang menyangkut aspek, proses, maupun kelembagaan
dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang diintrodusir
oleh pemerintah. Instrument-instrumen ekonomi seperti mekanisme pasar, harga
dan investasi dianalisis dengan menggunakan setting sistem politik dimana
kebijakan atau peristiwa ekonomi tersebut terjadi. Pendekatan ini melihat
ekonomi sebagai cara untuk melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan
ruang bagi tindakan tersebut. Pengertian ini sekaligus bermanfaat untuk
mengakhiri keyakinan yang salah, yang menyatakan bahwa pendekatan ekonomi
politik berupaya untuk mencampur analisis ekonomi dan politik untuk mengkaji
suatu persoalan. Padahal, seperti yang bisa dipahami, antara analisis ekonomi
dan politik tidak dapat dicampur karena keduanya dalam banyak hal memiliki
dasar yang berbeda.
Antara
ilmu ekonomi dan ilmu politik memang berlainan dalam pengertian diantara
keduanya mempunyai alat analisis sendiri-sendiri yang bahkan memiliki asumsi
yang berlawanan. Dengan demikian, tidak mungkin menggabungkan alat analisis
ilmu ekonomi dan politik karena bisa membingungkan. Antara ilmu ekonomi dan
politik bisa disandingkan dengan pertimbangan keduanya mempunyai proses yang
sama. Setidaknya, keduanya memiliki perhatian yang sama terhadap isu-isu
sebagai berikut: mengorganisasi dan mengkoordinasi kegiatan manusia, mengelola
konflik, mengalokasikan beban dan keuntungan, menyediakan kepuasan bagi
kebutuhan dan keinginan manusia. Berdasarkan pemahaman ini, pendekatan ekonomi
politik mempertemukan antara bidang ekonomi dan politik dalam hal alokasi
sumber daya ekonomi dan politik (yang terbatas) untuk dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, implementasi dari kebijakan ekonomi politik selalu
mempertimbangkan struktur kekuasaan dan sosial yang hidup dalam masyarakat,
khususnya target masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan.
Agar
mendapatkan pemahaman yang lebih detail mengenai ketidakmungkinan menggabungkan
analisis ekonomi dan politik bisa dilacak dari perbedaan kedua ilmu itu. Secara
definitive ilmu ekonomi selalu merujuk pada tiga konsep berikut: kalkulasi,
penyediaan materi, dan meregulasi sendiri. Konsep tersebut bisa dijabarkan
sebagai berikut. Ujung dari analisis ekonomi selalu berupamencari kalkulasi
hasil yang paling efisien diantara keterbatasan pilihan yang tersedia. Di sini
diandaikan semakin efisien hasil yang diperoleh, maka kian bagus pilihan yang diambil.
Setelah itu, kegiatan ekonomi selalu bertujuan untuk melakukan produksi
(reproduksi) dan sirkulasi (distribusi). Dalam konteks ini penyediaan
barang/jasa dalam kegiatan ekonomi selalu bersinggungan dengan desain struktur
produksi. Ekonomi berargumen bahwa pasar bisa mengatur dirinya sendiri. Pada
titik inilah ekonomi dan politik (kelembagaan) itu terpisah. Kurang lebih
analisis ekonomi bekerja dengan menggunakan tiga konsep tersebut.
Ilmu
politik berjalan juga dengan tiga konsep baku, yakni politik sebagai pemerintah
(government), otoritas yang mengalokasikan nilai (authorative allocation of
values) dan publik (public). Politik sebagai pemerintah jelas tugasnya untuk
memberikan direksi dan mengeluarkan regulasi. Disini, sifat pemerintah berupaya
menyediakan panduan dan melakukan intervensi sehingga bertabrakan dengan sifat
ekonomi yang mempercayai pasar bisa bekerja secara mandiri. Selanjutnya politik
juga mengalokasikan nilai-nilai. Konsep nilai dalam politik tidak setumpul
nilai dalam ekonomi yang sering dimaknai sekedar efisiensi/laba. Dalam politik,
nilai itu bekerja berdasarkan norma-norma yang hidup di masyarakat, seperti
perlunya pemerataan/keadilan pembangunan. Disini, konsep keadilan mengungguli
efisiensi bila yang terakhir ini dicapai dengan jalan menciptakan ketimpangan.
Kemudian politik sebagai publik bermakna bahwa output dari nilai politik selalu
merupakan urusan bersama (public concern), berbeda dengan ekonomi yang
berkonotasi privat. Jadi, dengan deskripsi tersebut, antara ekonomi dan politik
memang memiliki asumsi yang berbeda, sehingga menggabungkan analisis ekonomi
dan politik secara bersamaan merupakan upaya yang tidak akan pernah berhasil.
Pendekatan
ekonomi politik semakin relevan untuk dipakai karena struktur ekonomi sendiri
tidak semata-mata ditentukan secara teknis. Ia terdiri dari dua bagian yang
saling terkait. Pertama, kekuatan produksi material-pabrik dan perlangkapan
(atau modal), sumber-sumber alam, manusia dengan skill yang ada (tenaga kerja)
dan teknologi. Teknologi menentukan hubungan produksi yang sifatnya teknis,
sehingga proporsi bahan mentah, mesin dan tenaga kerja bisa dialokasikan dengan
biaya yang paling minimal. Kedua, relasi reproduksi manusia, seperti hubungan
antara para pekerja dan pemilik modal atau antara para pekerja dan manajer.
Begitulah struktur ekonomi tersusun dari elemen material-teknis dan hubungan
manusia. Setidaknya terdapat dua tipe ekonomi politik yang bisa diterapkan,
baik sebagai penasehat otentik bagi partai yang berkuasa, yakni pihak yang melihat
kebijakan sebagai cara untuk memaksimalkan nisbah bagi partai, atau sebagai
intelektual yang menempatkan kebijakan sebagai instrumen untuk memecahkan
hambatan ekonomi politik agar bisa memaksimalkan kesejahteraan sosial sesuai
amanat konstitusi.
Dalam
kasus peran pasar, misalnya, harus terdapat upaya yang jernih untuk
mencermatinya. Yang pertama harus dipahami, pasar (termasuk pasar keuangan)
tidaklah bersifat netral dan paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya
ekonomi. Pasar selalu mengandaikan adanya kekuatan salah satu pihak (biasanya
para pemodal kakap) yang memanfaatkan informasi asimetris untuk mendapatkan
keuntungan. Pandangan inilah yang mengantarkan ekonom kelembagaan berkeyakinan
bahwa pasar tidak dapat dilihat dari mekanisme yang netral untuk melakukan
alokasi yang efisien dan kesederajatan distribusi. Dalam hal ini pasar dianggap
sebagai refleksi dari eksistensi kekuasaan, sehingga pasar tidak hanya
mengontrol tetapi juga dikontrol. Jadi, instrumen retriksi itu tidak ditujukan
untuk menggantikan peran pasar, melainkan untuk memastikan bahwa mekanisme
pasar tidak dikontrol oleh segelintir pihak yang berkuasa (pemodal).
Sejalan
dengan pandangan Rodrik dan Subranian, strategi kelembagaan yang bisa dilakukan
untuk menjinakan pasar dapat dipilih dalam tiga klasifikasi: (i) regulasi
pasar, khususnya untuk mengatasi persoalan-persoalan eksternalitas, skala
ekonomi dan informasi yang tidak sempurna, (ii) menstabilisasi pasar yang
bertujuan untuk menurunkan inflasi, minimalisasi volatilitas makro ekonomi dan
mencegah krisis keuangan, (iii) melegitimasi pasar, yakni kebijakan untuk
menopanh kegagalan pasar.
Ekonomi Politik
dan Ekonomi Kelembagaan. Analisis
ilmu ekonomi bisa dibagi dalam empat cakupan: (i) alokasi sumber daya, (ii)
tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan produksi dan harga, (iii)
distribusi pendapatan, (iv) struktur kekuasaan. Pendekatan klasik/neoklasik
lebih banyak menggunakan tiga instrumen, yang pertama untuk menguliti setiap
persoalan ekonomi, sebaliknya pendekatan kelembagaan lebih menekankan kepada
piranti yang terakhir untuk menganalisis fenomena ekonomi. Dalam lintasan
sejarah, ahli kelembagan mempunyai kepedulian terhadap evolusi struktur
kekuasaan dan aturan main, proses penciptaan dan penyelesaian konflik dimana
aktifitas ekonomi tiu terjadi. Sebaliknya, ahli ekonomi klasik
mendeskripsikan kasus khusus pertukaran
dalam sebuah dunia yang telah dirumusakan karasteristik asumsinya, yang mungkin
tidak ada hubungannya dengan duni yang kita tempati ini. Namun akibat pandangan
pandangan ekonomi konvensional (klasik/neoklasik) dalam memformulasikan
kebijakan ekonomi, tidak bisa disangkal bila rumusan-rumusan penyelesaian
persoalan ekonomi lebih banyak dipengaruhi oleh tiga instrumen yang pertama
tadi.
Menurut
Veblen, kelembagaan adalah kumpulan norma dan kondisi-kondisi ideal yang
direproduksi secara kurang sempurna melalui kebiasaan pada masing-masing
generasi individu berikutnya. Dengan demikian, kelembagaan berperan sebagai
stimulus dan petunjuk terhadap perilaku individu. Dalam hal ini, keinginan
individu bukanlah factor penyebab fundamental dalam pengambilan keputusan,
sehingga pada posisi ini tidak ada tempat untuk memulai suatu teori. Namun
sifat dunia menurut pandangan Veblen, dinyatakan dengan ungkapan sosiologis
bahwa manusia tidak hanya mengerjakan apa yang mereka suka, tetapi mereka juga
harus suka terhadap apa yang harus mereka kerjakan. Oleh karena itu, tempat
untuk memulai suatu teori adalah menganalisis apa yang harus dikerjakan oleh
orang-orang (what men have to do).
Ahli
kelembagaan berusaha membuat model-model pola teori, sementara ahli neoklasik
berusaha menyususn model-model prediktif teori. Model-model pola menjelaskan
perilaku manusia dengan menempatkannya secara cermat di dalam konteks
kelembagaan dan budaya. Model prediktif menjelaskan perilaku manusia dengan
menyatakan secara cermat asumsi-asumsi dan menarik keimpulan implikasi
(prediksi) dari sumsi tersebut. Dalam ekonomi neoklasik, prediksi adalah
pengambilan keputusan secara logis dari postulat atau asumsi mendasar yang
telah dibuatnya. Selanjutnya, bukti prediktif harus memiliki validitas empirirs
atau akurat di dalam pengambilan keputusan tersebut. Dengan demikian sifat dari bukti prediktif
adalah mudah untuk memahami dan hanya membutuhkan sedikit penjelasan.
Ide
inti dari paham kelembagaan (institutionalism) adalah mengenai kelembagaan
(institutions), kebiasaan (habits), aturan (rules) dan perkembangannya
(evolution). Namun ahli kelembagaan tidak akan berusaha membangun model tunggal
umum berdasarkan ide-ide tersebut. Ekonomi kelembagaan bersifat evolusioner,
kolektif, interdisipliner dan non prediktif. Ahli ekonomi kelembagaan umumnya
focus pada konflik daripada keharmonisan, pada pemborosan (inefisiensi)
ketimbang efisiensi dan pada ketidakpastian dibandingkan pengetahuan yang
sempurna. Mereka pada umumnya menolak keseragaman pasar sebagai mekanisme
alokasi yang tidak bias dan mekanisme distribusi. Disamping itu, ahli
kelembagaan tetap merawat secara konsisten persepsi yang jelas mengenai perbedaan
antara biaya/manfaat privat dan sosial.
Jika
rumusan pemikiran diatas dibawa dalam kegiatan ekonomi sehari-hari yang
berbasis pasar, maka susunan ekonomi yang berbasis pasar selalu mengandaikan
bahwa kesempatan, kemampuan dan informasi seluruh pelaku ekonomi sama dalam
arena pasar. Implikasinya, tidak dibutuhkan instrumen lain untuk mencapai
efisiensi ekonomi karena semuanya sudah dipenuhi oleh pasar. Namun, ternyata
asumsi-asumsi tersebut tidak ada yang menjelma di dalam pasar. Para pelaku
ekonomi terbukti mempunyai informasi yang asimetris, kemampuan yang berbeda dan
informasi yang berlainan (misalkan dekat dengan sumber kekuasaan/capital).
Disinilah kemudian lahir patologi ekonomi
akibat tidak bekerjanya mekanisme pasar.
Kedekatan
teori ekonomi politik dengan ekonomi kelembagaan sebetulnya bisa dilacak dari
dua aspek. Pertama, pernyataan bahwa mekanisme pasar tidak bisa digunakan seluruhnya untuk mengatur kegiatan ekonomi.
Disini dibutuhkan instrumen ekonomi lain yang dapat menutup kelemahan mekanisme
pasar. Jalan keluar teori desain mekanisme dan ekonomi kelembagaan adalah
memformulasikan aturan main yang dalam banyak aspek menghendaki peran
pemerintah (namun bukan untuk menggantikan mekanisme pasar). Kedua, efisiensi
ekonomi disepakati sebagai kerangka kegiatan ekonomi. Hanya jika ekonomi klasik
mengukur efisiensi ekonomi dari biaya produksi semata, maka ekonomi politik dan
ekonomi kelembagaan melihat efisiensi ekonomi dari biaya transaksi. Jika biaya
produksi sudah sangat jelas, maka biaya transaksi sangat sumir sehingga
dibutuhkan aturan main yang terperinci.
II.
Varian – Varian Pemikiran Ekonomi Politik
Tiga varian penting dalam
pendekatan ekonomi politik, yang selama ini mendominasi corak pendekatan
ekonomi politik. Ketiga varian itu adalah ekonomi politik klasik/ neoklasik
(classical/neoclassical political economy), ekonomi politik kynesian (keynesian
political economy), dan ekonomi politik marxian (Marxian political economy).
-
Ekonomi Politik Klasik/Neoklasik
Ekonomi
politik klasik / neoklasik berakar dari mazhab ekonomi klasik / neoklasik yang
menjadi sumber terpenting perumusan kebijakan ekonomi abad 20 dan 21. Mazhab
ini juga menjadi cikal bakal sistem ekonomi kapitalis dan dipraktikkan sebagian
besar dunia saat ini. Sistem ekonomi kapitalis (kapitalisme) tegak 4 pilar
dasar yang melatari. Pertama, kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis
digerakkan dan dikoordinasi oleh pasar (bebas) dengan instrumen harga sebagai
penanda (sinyal). Jika harga dianggap melibihi biaya produksi dan margin laba,
maka itu merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk ke pasar untuk
menambah persediaan (supply) barang/jasa sehingga dapat menurunkan harga, dan
juga sebaliknya. Kedua, setiap individu mempunyai kebebasan untuk mempunyai hak
kepemilikan (property rights) sebagai dasar melakukan transaksi (exchange).
Tanpa adanya hak kepemilikan, individu tidak akan pernah biasa mengeksekusi
kegiatan ekonomi (transaksi). Ketiga , kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga
pemilik faktor produksi, yakni pemodal (capital), tenaga kerja (labor), dan
pemilik lahan (land). Pemilik modal memperoleh pendapatan dari laba (profit),
tenaga kerja dari upah (wage), dan pemilik lahan dari sewa (rent).keempat,
tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar (free entry
and exit barriers).
Dalam
hal penguatan pasar sebagai instrumen unutuk mengkoordinasi kegiatan ekonomi,
misalnya, aturan mainnya yang digunakan adalah mengeluarkan negara / pemerintah
dari aktivitas ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi digerakkan oleh sektor swasta
lewat pasar, sehingga bisa mendeskripsikan preferensi setiap individu. Bahkan,
akibat peran pasar yang dominan, kapitalisme sendiri sering disinonimkan
sebagai ekonomi pasar (market economic) [Grassby, 1999:3].
Pemisahan
kegiatan ekonomi dalam tiga pelaku, yakni pemilik modal, tenaga kerja, dan
pemilik lahan. Meskipun relasi antara ketiga pelaku ini dianggap sangat tidak
adil oleh ekonom kiri (marxian economists), namun faktanya pembagian kerja itu
telah mendonorkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kompetisi yang tinggi di
negara-negara kapitalis. Pada level makro, pemisahan pemilik faktor produksi
tersebut menjadi alasan munculnya segregasi hubungan ekonomi yang efisien
melalui spesialisasi. Pemilik modal menyiapkan sepenuhnya kebutuhan material
(alat produksi) sehingga proses produksi bisa berlangsung, tenaga kerja
memberikan kemampuan/keterampilan maksimal agar diperoleh output yang bermutu,
dan pemilik lahan memberikan jaminan tempat bagi kegiatan produksi. Akhirnya,
ekonomi kelembagaan siten ekonomi kapitalis memberi tempat yang leluasa bagi
setiap pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar melalui sistem insentif.
Setiap adanya regulasi yang merintangi pelaku ekonomi untuk masuk keluar pasar,
disitulah akan terjadi inefisiensi ekonomi. Inefisiensi itu dengan mudah
dikenali dari harga yang terbentuk di pasar. Jika harga terlalu tinggi dari
yang seharusnya, berarti jumlah supply sangat terbatas sehingga hal ini menjadi
sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk (entry) pasar. Apabila prosedur
masuk ini dirintangi, maka konsumen akan dirugikan (consumers loss).
Dalam
sistem ekonomi kapitalis, srplus diperoleh apabila terdapat selisih antara
biaya produksi dengan harga jual. Margin tersebut diambil oleh pemilik modal,
sedangkan pekerja (buruh) mendapatkan upah yang merupakan bagian dari biaya
produksi. Jadi, dari model ini seluruh surplus nilai (surplus of value)
dialokasikan kepada produsen (pemilik modal). Konsep ini dianggap merupakan
cara terbaik untuk menentukan dan mengalokasikan nilai barang/jasa dan menjadi
sumber terpenting kegiatan produksi dan alokasi sistem ekonomi kapitalis.
Varian
lain adalah ekonomi politik neoklasik (EPN). Pendekatan ekonomi neoklasik
sendiri tumbuh seiring dengan munculnya marginalist economics pada era 1780-an.
Sebelum era ini, teori ekonomi didominasi oleh pembahasab ekonomi pertumbuhan
ekonomi, distribusi, dan teori nilai. Pusat dari pemikiran neoklasik adalah
menempatkan individu sebagai “constrained choice” [caporaso dan levine,
1992:79]. Inti dari pandangan ini adalah individu merupakan agen yang memilih
(choosing agent), yaitu seseorang yang memutuskan beberapa alternatif dari
tindakannya berdasarkan imajinasi tentang dampak dari keputusan tersebut terhadap
dirinya. Dalam proses pengambilan
keputusan tersebut, individu dihadapkan dalam situasi kelangkaan
(scarcity), yakni perbedaan antara kondisi subjektif (keinginan) dan kondisi
alamiah/ objektif (ketersediaan sumberdaya). Bila antara” keinginan” dan
“sumber daya” terdapat perbedaan, maka kelangkaan eksis.
Ekonomi Politik Neoklasik. Sekalipun ada banyak unsur
dari pemikiran awal smith yang tetap dianut hingga sekarang (atau aliran
neoklasik), namun ilmu ekonomi klasik
bukanlah sekedar versi modern dari ekonomi politik klasik. Bahkan
pendekatan neoklasik dianggap lahir pada decade 1870 yaitu bertepatan dengan
bangkitnya aliran marginalis dalam ilmu ekonomi. Sebelum 1870, ilmu ekonom
sebagai sebuah system pemikiran didominasi oleh agenda klasik, seperti
pertumbuhan, distribusi dan teori nilai tenaga kerja, dan setelah decade
1870an, agenda ini mengalami banyak perubahan, biarpun memang perubahan itu
tidaklah drastis.
Pendekatan neoklasik bertolak dari
ide tentang maksimalisasi kebutuhan individu. Langkah berikutnya adalah
menggunakan ide ini untuk mendefenisikan
kondisi-kondisi maksimalisasi kesejahteraan untuk sebuah system yang terdiri
dari beberapa individu yang saling terkait. Kesejahteraan dari sebuah kelompok
harus didefisikan secara berbeda dari kesejahteraan individu (biarpun
pendefenisian itu tetap didasarkan pada kesejahteraan individu). Sebuah
kelompok dikatakan mendapatkan kesejahteraan yang maksimal ketika semua anggota
dari kelompok itu berhasil memaksimalkan kesejahteraannya masing-masing,
asalkan kesejahteraan dari semua individu dalam kelompok itu saling terkait
satu sama lain.
Ekonomi politik neoklasik selanjutnya juga
menerapkan logika ekonomi dasar dari pilihan terbatas terhadap situasi-situasi
di mana transaksi pribadi tidak berhasil memaksimalkan kesejahteraan. Istilah
ekonomi di sini digunakan dalam dua artian. Artian yang pertama dan yang paling
mendasar dari ekonomi di sini adalah penghematan (Economizing) yang dilakukan
karena terbatasnya pilihan yang ada. Yang kedua ekonomi disini berarti
menggunakan mekanisme pasar sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
pemenuhan terhadap kebutuhan individu. Cara lainnya adalah lewat politik. Maka
ekonomi politik kadang akan mengarah pada penelitian terhadap batas-batas dari
pasar sebagai institusi untuk pemenuhan kebutuhan dan kadang mengarahkan kita
kepada teori politik berbasis ekonomi. Dalam bab ini kami akan membahas ekonomi
politik sebagai penelitian terhadap batas-batas pasar.
-
Ekonomi Politik Keynesian
Ada
tiga peran yang dapat dilakukan negara untuk mengatasi masalah eksternalitas.
Pertama, pembagian otoritas dan tanggung jawab antara pemerintah lokal,
pemerintah pusat/negara, dan badan-badan pemerintah (misalnya pengawasan polusi
udara) yang bisa menghambat terjadinya penyimpangan seetiap program. Kedua,
keengganan umum untuk menggunakan kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah
eksternalitas, seperti pajak bagi penghasil polutan. Ketiga, ketidak mauan
untuk mempetimbangkan tingkat ‘optimal’ dari kerusakan lingkungan
(environmental disruption) menyebabkan eksternalitas hanya bisa diatasi melalui
pengeluaran sumberdaya masyarakat (society’s resources). Jadi dengan tiga peran
itulah negara bisa datang untuk menuntaskan masalah eksternalisasi.
Berpijak
pada pandangan inilah, maka pendekatan EPK dalam derajat tertentu menghendaki
adanya peran negara dalam aktivitas ekonomi. Mahzab Keynesian menghendaki
adanya peran negara peran negara dalam perekonomian hanya ketika mekanisme
pasar mengalami kegagalan. Oleh karena itu, sepanjang mekanisme pasar tidak
mengalami kegagalan, negara tidak diizinkan untuk mengintervensi pasar.
Lebih lanjut,
fokus utama EPK adalah terciptanya fokus utama stabilitasproses produksi dan
pertumbuhan yang dilakukan oleh kelompok pemodal. Dengan aktivitras ini,
dipastikan kegiatan produksi sekaligus transaksi perdagangan yang dipelopori
dengan aktor utama pemilik modal akan dapat mendonasikan pendapatan yang besar
bagi negara. Internasionalisasi persaingan ekonomi merupakan kepercayaan lain
yang tidak kalah spektakuler. Kaum klasik/neoklasik berpandangan sangat logis
bahwa pemagaran persaingan ekonomi antarnegara berarti melindungi praktik
inefisiensi ekonomi yang digeliti oleh warga/firma suatu negara.
Ekonomi Politik Keynesian. Pendekatan Keynesian
mengajukan sebuah kritik terhadap konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri
yang banyak digunaka oleh pemikir klasik dan neoklasik sebelumnya. Kritik dari
pendekatan Keynesian ini mempertanyakan pandangan bahwa system pasar yang tidak
diregulasi akan dapat sepenuhnya memanfaatkan potensi produksi yang ada dalam
sebuah masyarakat.
Inti dari argument tentang pasar yang meregulasi
dirinya sendiri adalah bahwa system pasar akan mempertemukan orang yang memiliki permintaan dengan orang
yang memiliki pasokan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dari smeua orang akan
terpenuhi sedapat mungkin. Argumen neoklasik ini merujuk pada harga dan
permintaan. Harga dari barang akan naik atau turun sedemikian rupa sehingga
semua kebutuhan pasar akan terpenuhi yaitu semua yang dibawa produsen ke pasar
akan selalu mendapatkan pembeli. Mekanisme harga ini akan menjamin bahwa
permintaan akan selalu ada dan sekaligus membuat investasi capital diarahkan
pada bagian-bagian yang memerlukan lebih banyak investasi, dimana kebutuhan
yang lebih tinggi akan investasi ini akan ditandai dengan adanya profitabilitas
yang lebih besar.
Menurut argument neoklasik ini, memang bias jadi
seorang produsen tertentu akan gagal untuk menjual semua yang mereka produksi
atau bias mereka produksi, karena apa yang mereka jual tidak diinginkan oleh
mereka yang memiliki daya beli yang cukup untuk membelinya.
Kritik dari pendekatan Keynesian mengatakan bahwa
kegagalan untuk menemukan pembeli bias jadi merupakan kesalhan sistemik yang
ada tidak ada hubunganya dengan ketidakcocokan antara apa yang diproduksi
dengan apa yang diperlukan, melainkan bisa disebabkan karena kegagalan dari
mekanisme pasar itu sendiri untuk menarik pembeli-pembeli yang memiliki daya
beli yang cukup. Dengan kata lain, pasar gagal untuk mempertemukan permintaan
dengan pasokan, sehingga tidak berhasil memanfaatkan keseluruhan kapasitas
produksi yang tersedia dalam masyarakat.
Kritik dari pendekatan Keynesian berusaha untuk
mempertimbangkan kembali hubungan antara politik dengan pasar. Namun sejauh
ini, banyak ekonom dari aliran Keynesian menyimpulkan bahwa kegagalan dalam
permintaan agregat (kegagalan dari pasar untuk menarik konsumen-konsumen dalam
jumlah sesuai dengan pasokan yang ada dalam pasar) tidak harus diperlukan
sebagai sebuah masalah politik. Para ekonom Keynesian mengajukan argument bahwa
stabilitasdan kecukupan dari fungsi pasar bisa didapatkan dengan menggunakan
mekanisme-mekanisme otomatis, yaitu dengan menggunakan sarana administrative
dan bukan dengan cara politik. Argumen
dari pendekatan Keynesian ini, tentus saja, dapat diperdebatkan lagi. Tapi yang
penting disini adalah bahwa perdebatan terhadap pandangan dari aliran Keynesian
ini akan menggeser focus dari topic-topik utama dalam ekonomi politik ke bidang
yang berbeda, sehingga akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru,
diantaranya: dalam kondisi yang bagaimana pengelolaan yang dilakukan Negara
terhadap perekonomian memerlukan agenda politik dan tidak cukup hanya dengan
menggunakan fungsi administratif.
Pendekatan Keynesian memfokuskan pada
ketidakstabilan proses reproduksi dan pertumbuhan dalam perekonomian kapitalis.
Karena adanya beberapa factor seperti yang akan dipaparkan nanti dalam bagian
ini, perekonomian kapitalis mengandung proses-proses yang membuat reproduksi di
dalamnya menjadi tidak stabil sehingga tidak dapat diperkirakan secara pasti
perkembangannya. Proses-proses yang menimbulkan ketidakstabilan ini membuat
kita menjadi ragu tentang sejauh mana pasar yang meregulasi dirinya sendiri
dapat dijadikan institusi bagi masyarakat untuk mengorganisir produksi dan
distribusi barang.
Kebijakan ekonomi dan kerja penuh. Solusi yang ditawarkan
oleh Keynes untuk persoalan pengganguran karena itu berpusat pada tingkat
aggregate demand. Tingkat aggregate demand menentukan tingkat output yang
terkait dengan tingkat kesempatan kerja. Jika ekonomi di bawah kesempatan kerja
penuh, maka tingkat aggregate demand bisa ditingkatkan sampai ke sebuah titik
yang melalui mekanisme multiplier, ekonomi tersebut mencapai tingkat kesempatan
kerja penuh.
Tingkat aggregate demand mempunyai komponen berbeda,
dalam sebuah ekonomi tertutup komponen adalah konsumsi, investasi dan belanja
Negara : AD=C+I+G. Karena itu mengontrol AD melalui control dari
kompomen-komponen itu.
Dua kebijakan ekonomi diadopsi dalam keynesianisme
pasca perang untuk mengontrol komponen-komponen dari aggregate demand.
Kebijakan fiscal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiscal adalah berdasarkan
pada control belanja (G) dan tingkat pajak (T). Sedangkan kebijakan moneter
memanipulasi tingkat bunga (I) dan jumlah penawaran uang M melalui kredit dan
operasi pasar terbuka (pembelian dan penjualan surat utang oleh Bank Sentral).
Karena dalam framework Keynesian permintaaan adalah
mesin dari ekonmi (sementara dalam framework liberal ini adalah penawaran –
ingat hokum Say:penawaran menciptakan permintaanya sendiri), maka baik
kebijakan fiscal maupun moneter menjadi alat untuk usaha mengontrol komponen
tingkat aggregate demand yang karennya akan mempengaruhi output kesempatan
kerja.
-
Ekonomi Politik Marxian
Ekonomi Politik Marxian (EPM)
merupakan kritik terhadap sistem ekonomi pasar (kapitalisme). Pilar kelembagaan
kapitalisme tersebut dianggap oleh Karl
Marx sangat exploitatif karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapan
dengan pemilik modal. Hal ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan
pranata-pranata faktor produksi selalu terlambat ketimbang percepatan inovasi
produksi (teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produksi
tersebut adalah kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal, tanah
,dan tenaga kerja. Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor – faktor
produksi lebih banyak menguntungkan
pemilik tenaga kerja (budak/slave), sementara pada zaman feodal keuntungan itu
banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada zaman kapitalis saat ini pemegang
polis atas profit terbesar adalah pemilik modal. Persoalan yang mengemuka
adalah, ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan atas kegiatan
ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada masing-masing
pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan faktor-faktor produksi
tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx (Hayami, 1997:14)
berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi),
dan itu berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.
III.
Tokoh - Tokoh Pemikir Ekonomi Politik
1. Adam
Smith
Adam
Smith adalah tokoh pemikir ekonomi politik klasik. Melalui bukunya “The Wealth
of Nations” Adam Smith menjelaskan tentang hokum-hukum yang menuntun
“actor-aktor ekonomi” dan implikasi dari hokum-hukum ekonomi tersebut bagi
masyarakat dan Negara.
Adam
smith tidak menyukai campur tangan pemerintah dalam kegiatan perekonomian,
sebab campur tangan pemerintah berikut aturan-aturan yang dibuat oleh para
pejabat pemerintah lebih sering dijadiakan
sebagai alat oleh kaum kaya untuk menekan kelompok masyarakat miskin.
2. Paul
Baran
Paul
Baran adalah pencetus pertama lahirnya aliran dependensia.dalam On The
P9olitical Economy of Backwardness, Baran berusaha menjelaskan berbagai factor
penyebab keterbelakangan ekonomi di Negara-negara dunia ketiga, terutama
Amerika Latin. Dengan memusatkan perhatian pada hubungan kelas antara rakyat
banyak, elitinternal, dan investor asing, ia melihat adanya kontradiksi antara
imperialisme, proses industrialisasi, dan ekonomi pembagunan umum di
Negara-negara terbelakang.
Bagi
Baran, pembangunan kapitalis yang berkesinambungan mustahil terjadi di
Negara-negara dunia Ketiga. Pandangan ini didasarkan pada hasil pengamatannya
bahwa kapitalisme masuk ke Negara-negara terbelakang bukan melalui pertumbuhan
persaingan perusahaan-perusahaan kecil, melainkan melalui transfer bisnis
monopolistic maju dari luar. Dengan demikian, pembangunan kapitalis di
Negara-negara miskin ini tidak disertai dengan kebangkitan kelas menengah dan
hilangnya dominasi tuan tanah terhadap masyarakat, melainkan disertai pemberian
fasilitas pada sedikit perusahaan monopolistic dan aristokrasi agrarian yang
berkuasa secara social dan politik.
Baran
melihat tidak ada kompetisi untuk meningkatkan output di antara perusahaan dan
juga tidak ada akumulasi surplus social di tangan wiraswastawan, yang dalam
system kompetitif dipaksa untuk melakukan reinvestasi demi ekspansi dan
modernisasi bisnis mereka. Sebagai dampaknya, produksi lebih rendah dari level
potensinya, sementara prtanian masih beroprasi atas basis semifeodal. Melihat
kenyataan tersebut, Baran menyimpulkan bahwa pola pembangunan kapitalis
mustahil bisa diterapkan dnegara-negara dunia ketiga.
Baran
menyimpulkan bahwa kapitalisme telah gagal memperbaiki kesejahteraan masyarakat
miskin, tetapi sebaliknya, sangat berhasil mengintroduksi semua ketimpangan
ekonomi dan social yang melekat dalam system kapitalis. Lebih dari itu,
kapitalisme juga telah mengubah orientasi pertanian dari pola pemenuhan
kebutuhan sendiri kea rah pola komoditas ekspor. Menurut Baran, ini yang menyebabkan
bangkitnya nasionalisme di Negara-negara miskin.
3. Theonio
Dos Santos
Theonio
Dos Santos merupakan pemikir ekonomi politik radikal teori dependensia yang
mengembangkan argumentasi Andre Gunder Frank dengan mengatakan bahwa titik
berat proses ketergantungan tidak hanya merupakan “faktor eksternal” semata,
melainkan juga dipengaruhu “faktor internal”. Menurut Dos Santos, faktor
internal di Negara-negara dunia ketiga sedikit banyak ikut berperan dalam
mengukuhkan pola ketergantungan tersebut. Faktor-faktor internal tersebut
antara lain diawali oleh ketergantungan perdagangan pada masa penjajahan hingga
ketergantungan industry dan financial pada era pascakemerdekaan.
Dos
Santos mengklasifikasikan tiga jenis ketergantungan :
-
Ketergantungan Kolonial, yang ditandai
oleh bentuk perdagangan luar negeri era colonial yang bersifat monopoli dan
diikuti monopoli sumber daya lainnya oleh pemerintah kolonial.
-
Ketergantungan industrial-finansial,
ditandai oleh dominasi modal besar di Negara-negara kolonial.
-
Ketergantungan Teknologi Industri yang
terjadi setelah PD II sebagai dampak operasi perusahaan-perusahaan
multinasional yang melakukan investasi di Negara-negara berkembang.
4. Thorstein
Veblen
Veblen
dianggap sebagai bapak ekonomi politik kelembagaan. Ia lebih melihat
kelembagaan sebagai norma-norma yang membentuk perilaku masyarakat dalam
bertundak, baik dalam perilaku mengonsumsi maupun berproduksi.
Menurut
Veblen, teori-teori klasik dan Neoklasik terlalu menyederhanakan
fenomena-fenomena ekonomi, dan mengabaikan peran aspek nonekonomi seperti
kelembagaan dan lingkungan. Padahal pengaruh keadaan dan lingkungan sangat
besar terhadap perilaku ekonomi masyarakat, sebab struktur politik dan social
yang tidak mendukung dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi,
dan perilaku masyarakat bisa berubah, disesuaikan dengan lingkungan dan
keadaan. Bagi Veblen, keadaan lingkungan inilah yang disebut “institusi”.
5. Weber,
Schumpeter, dan Myrdal
Max
Weber, Joseph Schumpeter dan Gunnar Myrdal adalah pemikir ekonomi politik
kelembagaan yang membahas peran wirausahawan dalam proses industrialisasi. Bagi
mereka, walau banyak aktor dan proses yang terlibat dalam industrialisasi dan
modernisasi, tidak dapat disangkal bahwa aktor utama industrialisasi adalah
wirausahawan. Dalam kajian ekonomi politik kelembagaan, variable dan parameter
ekonomi hanya merupakan hasil dari tindakan-tindakan sejumlah actor yang berada
di belakang suatu peristiwa ekonomi.
6. Commons,
Coase, dan North
John
R.commons, Ronald Coase dan Douglas North adalah pemikir ekonomi politik
kelembagaan yang lebih menyebutkan
kelembagaan memiliki peran hokum dalam perekonomian. Menurut pakar-pakar
kelembagaan ini, ekonomi pasar tidak tercipta dengan sendirinya. Ekonomi pasar
perlu memenuhu prasyarat tegaknya suatu institusi yang dapat mengatur pola
interaksi beberapa aktor dalam suatu arena transaksi yang disepakati bersama.
Kelembagaan dilihat dari sisi hukum menentukan dan atau mewarnai transaksi,
terutama melalui aturan main yang berlaku, sekaligus juga mengatur kelompok
atau agen ekonomi untuk mewujudkan control kolektif terhadap transaksi. Tanpa
kehadiran institusi, biaya transaksi menjadi tinggi. Selain itu, pelaku ekonomi
akan menghadapi resiko penipuan, pemerasan, ancaman fisik, dan bentuk
ketidakpastian lainnya.
7. Kenneth
Arrow
Kenneth
Arrow adalah tokoh pemikir ekonomi politik baru dengan teori pilihan rasional.
Arrow adalah tokoh yang dianggap paling berjasa dalam menyebabkan paradigma
pilihan rasional mendapat tempat dalam ilmu ekonomi politik. Secara umum teori
pilihan rasional berusaha mengembangkan aksioma-aksioma tentang pilihan terbaik
dan preferensi yang sudah digagas oleh pakar-pakar Klasik dan Neoklasik
sebelumnya. Pilihan rasional terkait dengan konsep-konsep seperti kesukaan,atau
preferensi, kepercayaan, peluang, dan tindakan.
8. F.A.
Hayek
F.A.
Hayek (1900-1992) adalah motor aliran neoliberalisme. Hayek dapat dikatakan
sebagai tokoh kedua setelah Adam Smith yang sangat mendukung paham
individualisme dan liberalism. Dalam bukunya yang sangat terkenal, The Road to
Serfdom, Hayek menyatakan, “Dengan membiarkan jutaan individu melakukan reaksi
terhadap harga pasar yang terbentuk secara bebas, akan terjadi optimalisasi
alokasi modal, kreativitas manusia dan tenaga kerja dengan cara yang tidak
mungkin ditiru oleh perencanaan terpusat, sehebat apapun perencanaan itu”.
9. Andre
Gunder Frank
Andre
Gunder Frank juga adalah seorang pemikir teori ekonomi politik dependensia.
Banyak pakar yang menobatkannya sebagai Bapak Teori Dependensia.
Menurut
Andre Gunder Frank, teori dependensia berusaha menjelaskan tentang
ketergantungan. Dalam hubungan ketergantungan, ada dua pihak yang terlibat,
yaitu pihak yang dominan dan yang bergantung. Dalam menjelaskan ketergantungan
ini frank mengumpamakan hubungan antara Negara-negara barat sebagai kelompok
metropolis maju dengan Negara Negara terbelakang sebagai Negara satelit, dimana
terjadi hubungan yang asimetris dari dua kelompok Negara-negara ini.
Pembangunan daerah-daerah satelit tergantung pada pembangunan daerah-daerah
metropolis. Hubungan yang tidak imbang ini disebabkan karena Negara-negara
metropolis memiliki kekuasaan atas jalannya pembangunan di Negara-negara satelit,
dan bukan sebaliknya.
10. Karl
Marx
Karl
Marx adalah pemikir utama system ekonomi politik Marxian/sosialisme. Marx
mngembangkan system ekonomi politik Marxian/sosialisme sebagai kritik yang
ditujukan pada system ekonomi politik klasik/kapitalisme milik Adam Smith.
Menurut Marx, kapitalisme adalah sebuah system yang tidak adil.
Marx
melihat ada banyak asumsi yang digunakan kaum klasik keliru, dank arena itu ia
menyimpulkan bahwa hasil analisis model klasik juga keliru. Melalui proses
pembagian kerja, dalam realitasnya Marx melihat bahwa terjadi
ketidakseimbangan, pemilik tanah dan modal biasanya mendapat porsi yang lebih
besar, sedangakan para tenaga kerja/kaum buruh menerima bagian yang sangat
kecil.
Sumber:
Caporaso, jemis A & David P. Levine.2008.Teori-teori Ekonomi Politik.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Deliarnov.2009.Ekonomi Politik.Jakarta:Erlangga
Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta:Resist Institute
Yustika, Ahmad Erani.2009.Ekonomi: Politik Kajian Teoritis Analisis Empiris.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Makasih kak, manfaat banget
BalasHapusthanks
BalasHapus