Source: http://caramembuat524.blogspot.com/2014/01/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html

Sabtu, 05 Mei 2012

Etika Komunikasi Bisnis Lintas Budaya


Etika Komunikasi Bisnis Lintas Budaya

Permasalahan utama dalam komunikasi bisnis dalam era global adalah kesulitan-kesulitan untuk memahami etika komunikasi yang harus dihadapi para pebisnis yang terlibat, yang diakibatkan perbedaan dalam ekspektasi budaya masing-masing pebisnis. Sebagai contoh pada seorang pramugari dalam sebuah maskapai penerbangan Amerika akan mengambil roda minuman. Sebuah tas secara parsial menghalangi gang, dan ia menggunakan kakinya untukmenggeserkan secara pelan agar masuk kebawah tempat duduk. Tindakannya yang lugu itu membuat seorang pria korea marah yang tasnya ia geser tadi. Baginya, tindakan itu seperti meludah ke tasnya. Pramugari itu menenangkannya, terutama karena ia tak mengerti mengapa tindakannya tadi membuatnya gusar (Bosrock, 2007:35)
Etika adalah standar-standar moral yang mengatur perilaku kita: bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak (Verderber, 1978:313).
Bangsa-bangsa berlainan mendefinisikan konsep-konsep kebenaran, rasionalitas, objektivitas, kesopanan, penghinaan, kebebasan, tanggung jawab atau kebohongan secara berlainan pula. Berbagai aspek etika komunikasi bisnis, seperti bagaimana kita memanggil nama, berkenalan, menyapa, berjanji, melakukan presentasi, melakukan negosiasi, melakukan kontrak, semua itu terikat budaya. Jadi tidak ada etika komunikasi bisnis yang universal. Bahkan cara bertukar kartu nama saja dapat memberikan indikasi bagi pebisnis Jepang apakah mitra komunikasinya layak dijadikan mitra bisnis atau tidak.

Kerumitan Etika Bahasa Verbal
Perbedaan-perbedaan budaya antar suatu masyarakat dengan masyarakat lain jelas memperumit penilaian atas etika komunikasi.
“Hai wakarimashita” atau “Ya, saya mengerti”. Di Jepang, bagi seseorang untuk mengakui bahwa ia tidak dapat melaksanakan suatu pekerjaan atau standar berarti  kehilangan muka yang menyakitkan. Etika berbicara bervariasi dalam konteks bisnis. Banyak berbicara dan kurang berbicara
Etika berbicara, seperti dikemukakan oleh Lewis (1996) bervariasi dalam konteks bisnis. Misalnya, umumnya orang Jerman dan orang Swedia adalah pendengar yang baik. Namun tidak demikian halnya orang Italia dan Spanyol; mereka malah sering memotong pembicaraan dengan bahasa tubuh dan isyarat tangan yang hidup dan terkesan berlebihan . di Jepang dan di Finlandia, diam adalah suatu bagian integraldalam percakapan; jeda dianggap sebagai istirahat, ramah, dan pantas. Karena itu orang Jepang tidak menyukai orang Amerika yang argumentatif, sementara orang Amerika sulit memahami orang Jepang yang pendiam.
Kesulitan bisa muncul saat kita pertama kali bertemu dengan calon mitra bisnis, bagaimana kita harus menyapanya, menggunakan gelarnya untuk menghormatinya atau memanggil nama pertama supaya cepat akrab. Di Amerika atau di Australia, anda bisa langsung memanggil nama pertamanya kepada mitra bisnis anda yang baru, tetapi jangan coba melakukan itu di Jerman dan di Italia. Di kedua negara itu, mereka yang punya gelar khususnya, biasa dipanggil “Tuan Profesor,” “Tuan Pengacara,” “ atau sekadar “Herr Schneider” di Jerman atau ”Senor Baggio” di Italia. Juga di China,, mereka yang punya jabatan tinggi dipanggil berdasarkan jabatan meereka, misalnya “Presiden” atau “Manajer”. Dalam konteks bisnis, di Amerika seorang penjual lazim berbicara langsung ke tujuan ketika mendatangi pelanggan, sementara dalam negosiasi, eksekutifnya meminimalkan basa-basi dan protokol.

Kerumitan Etika Bahasa Nonverbal
Bahasa nonverbal seperti sikap tubuh, gerak-gerik, sentuhan, ekspresi wajah, senyuman, kontak mata, nada suara, diam, pakaian, penggunaan ruang, konsep waktu, pengendalaian emosi yang dianut suatu kelompok budaya juga sangat rumit dan berbeda dari suatu budaya ke budaya lainnya.
Menggunakan tangan kiri tidak sopan di Indonesia, ketika menunjuk, menerima atau memberikan sesuatu, sedangkan di Barat hal itu biasa saja. Mencium tangan wanita yang bukan mahram merupakan kelaziman di Barat, namun bagi kaum muslim hal ini bahkan merupakan pelanggaran. Di beberapa bagian di Bulgaria dan di Yunani, mengangguk berarti tidak, sedangkan di beberapa bagian di India selatan, menggelengkan kepala berarti ya. Isyarat OK di Amerika berarti pria homo seksual di Malta. Isyarat genggaman tangan kedua tangan di atas kepala dimaksudkan sebagai persahabatan internasional saat Premier Sovyet Khrushchev datang ke AS tahun 1960-an, namun ditafsirkan orang Amerika sebagai arogansi.
Pesan nonverbal yang paling bermakna adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata. Para ahli fisiologi memperkirakan bahwa wajah manusia  dapat menghasilkan 20.000 ekspresi. Seorang peneliti mencatat 7777 ekspresi berbeda dalam penelitian atas perilaku di sebuah ruang kelas (Taylor et al., 1992:26).  Menatap mata atasan di Indonesia bisa menjadi masalah karena perilaku itu dianggap tidak sopan, sementara di Barat menatap mata lawan bicara, termasuk atasan, justru diharapkan karena itu menggambarkan kejujuran.
Penggunaan ruang dan waktu juga berbeda secara budaya. Dalam konteks bisnis, di Jerman ruang bersifat “sakral” dan sangat privat. Di sebuah perusahaan Jerman setiap manajer mempunyai ruangan pribadi dengan satu pintu yang selalu tertutup. Di AS di mana privasi juga penting, tetapi tak sepenting di Jerman hanya manajer utama yang punya ruang kantor yang privat.
Busana adalah aspek nonverbal yang juga penting diperhatikan. Apa yang disebut busana yang normal sering terikat oleh budaya. Para pebisnis lazim mengenakan busana lengkap, termasuk jas dan dasi, untuk menunjukkan bonafiditas. Namun tidak semua pebisnis seperti itu.

Perbedaan Orientasi dan Nilai Budaya
Proses komunikasi dalam negosisasi antarbudaya yang terjadi jelas lebih rumit daripada dalam negoisasi dengan orang-orang yang berbudaya sama.
Perbedaaan-perbedaan dalam orientasi nilai budaya juga dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam berbagai perilaku dan presentasi bisnis.
pentingnya mempelajari etika komunikasi bisnis lintas budaya yang melibatkan komunikasi tatap muka.

Membangun komunikasi kesehatan di Indonesia
Persepsi manusia adalah inti komunikasi. Komunikasi yang efektif memiliki kemungkinan pasien untuk sembuh dari penyakit. Keadaan sakit harus dikonstruksi secara sosial. Definisi konstruksi sosial sebagai hubungan timbal balik simbolik antara kesadaran diri sendiri dan kesadaran orang lain.
Salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan dokter kepada masyarakat adalah dengan meningkatkan keterampilan komunikasi mereka. Suatu kebiasaan dokter yang merusak adalah keengganan mereka untuk mendengarkan pasien. Dalam suatu penelitian di Barat ditemukan bahwa hanya dalam 23 % kasus pasien punya kesempatan menuntaskan penjelasanny. Dalam 69 % kunjungan pasien, dokter melakukan interupsi, mengarahkan pasien kepada penyakit tertentu. Lebih dari itu, secara rata-rata dokter memotong pembicaraan setelah pasien mereka berbicara hanya 18 detik (Taylor, 1999:275) di Indonesia kemungkinan besar dokter lebih mendominasi lagi pembicaraan dengan pasien, karena masyarakat indonesia paternalistik.
Komunikasi kesehatan juga dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai, dan bahasa (verbal dan nonverbal). Komunikasi antara dokter dan pasien juga mencakup komunikasi nonverbal. Salah satu aspek komunikasi nonverbal yang penting adalah sentuhan. Riset dalam komunikasi kesehatan menunjukkan bahwa kebutuhan pasien akan sentuhan tidak dipenuhi oleh profesional medis ( kreps dan Thornton, 1992:33)  Isyarat tangan merupakan salah satu komunikasi nonverbal. penataan ruang bersifat simbolik dan mempengaruhi hubungan dokter dan pasien. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar