Source: http://caramembuat524.blogspot.com/2014/01/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html

Jumat, 19 Oktober 2012

Merapi Nan Elok Dan Bersahabat


Gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia sebut saja Merapi. Gunung Merapi merupakan obyek pendakian yang populer, karena gunung ini merupakan gunung yang sangat mempesona.

Jalur pendakian yang paling umum dan dekat adalah melalui sisi utara dari SeloKabupaten BoyolaliJawa Tengah, tepatnya di Desa Tlogolele. Desa ini terletak di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Pendakian melalui Selo memakan waktu sekitar enam jam hingga ke puncak.

Untuk pendakian Gunung Merapi, Mapala Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta lebih sering menggunakan jalur Selo. Untuk kali ini tiga anggota Mapala UPN dan satu tamu mendaki pada Sabtu, 29 September 2012.

Pergerakan mulai dari Basecamp sekitar pukul 20.00, sinar rembulan turut menerangi dalam pendakian, lampu-lampu perkotaan nampak indah dipandang dari sisi atas. Pendakian pada malam hari banyak disukai oleh beberapa pecinta alam dikarenakan kondisi Merapi sedikit ditumbuhi oleh pepohonan, panas jika mendaki siang hari tapi tidak sedikit pula yang mendaki pada siang hari.

Sampai pada Pasar Bubrah pukul 01.15, ditempat ini para pendaki biasa mendirikan tenda. Mulai dari pasar bubrah hingga ke puncak tidak ditumbuhi vegetasi. Banyaknya bintang-bintang dan munculnya rembulan menandakan hari yang cerah, begitu pula untuk siang harinya.

Cuaca cerah menyambut pada Minggu, 30 September 2012. Kesempatan kali ini Merapi begitu bersahabat, eksotismenya seolah ditampakkan secara keseluruhan. Kawah Merapi nampak jelas dipandang, asap-asap keluar dari kawahnya yang menandakan keaktifannya.

Menuju puncak memang tidak cukup mudah, medan yang cukup terjal dan berbatu menjadi tantangan tersendiri. Pemandangan disekitar dan eksotisme Merbabu yang nampak dari Merapi sedikit memberikan semangat untuk sampai pada posisi tertinggi. 

Rabu, 06 Juni 2012

Fasilitas Internet untuk menunjang komunikasi

1.    Email
E-mail adalah surat melalui media elektronik.Sebenarnya email merupakan singkatan dari “Electronic mail”. Melalui email kita dapat mengirim surat elektronik baik berupa teks maupun gabungan dengan gambar, yang dikirimkan dari satu alamat email ke alamat lain di jaringan internet. Apabila kita mengirim surat melalui email kita dapat memperoleh beberapa manfaat .Antara lain, dengan menggunakan email surat (informasi) yang kita kirim ke alamat email lain akan secara langsung diterima, selain itu biaya yang kita keluarkan cukup murah. Kita juga bisa membaca berbagai berita dan pengetahuan tapi asalkan kalian harus mampu menguasai Bahasa Inggris. Oleh karena itu, berita itu yang selalu ditampilkan dengan menggunakan Bahasa Inggris.  Sebuah alamat email biasanya memiliki format semacam username@host.domain.Saat ini ISP yang menyediakan layanan pembuatan email secara gratis adalah yahoo, plasa, hotmail.
Sebagai contoh kita membuat email melalui yahoo.com. Langkah-lagkahnya sebagai berikut : 1. Kita buka program intertnet explorer 2. Kita tulis www.yahoo.com di URL dari internet 3. Untuk membuat email baru secara gratis kita klik “Sign Up” 4. Setelah muncul formulir pendaftaran email, kita isi formulir tersebut secara lengkap 5. Jangan lupa kita harus menuliskan yahoo id dan password untuk pengamanan email kita 6. Selain itu kita harus menuliskan verifikasi email 7. Beri tanda centang pada pernyataan ” I Agree” 8. Klik “Submit” 9. Tunggu beberapa saat kita akan mendapat pesan selamat datang dari yahoo. Melalui langkah-langkah di atas kita sudah dapat memiliki sebuah email secara gratis dan mudah.Dalam mengirim email kita dapat melampirkan file-file yang kita butuhkan. Dengan cara : 1. Buka email kita 2. Klik compose atau tulis 3. Sebelumnya kita tulis subject dan untuk siapa email itu akan dikirim. Dalam tampilan compose terdapat “CC” yang berarti alamat tambahan 4. Klik attachment file bila kita ingin melampirkan file 5. Setelah muncul tampilan attachment file, kita pilih file mana yang akan kita lampirkan 6. Klik attach file 7. Klik continue message 8. Klik Send beberapa email yang terkumpul dalam suatu group disebut mailing list.
Kelebihan email tidak perlu mengirim menggunakan amplop dan perangko pembuatannya tidak memerlukan pulpen, kertas maupun tinta printer seperti halnya surat konvensional. Proses berkirim email pun dapat dilakukan dengan sangat cepat keseluruh dunia dengan penghematan uang dan waktu dalam pengiriman email. Selain itu pengiriman email dapat dilakukan dengan mudah setiap saat dan dimana pun kita berada. Oleh karena itu, tidak heran jika teknologi email menyebar luas ke seluruh dunia, khususnya untuk keperluan komunikasi dalam dunia bisnis maupun komunikasi personal.
Selain memiliki kelebihan dari pada surat konvensional, email juga mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya sebagai berikut.
1.       Memungkinkan terjadinya pemalsuan identitas. Karena kemudahan proses pembuatan email dapat membuat orang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan keadaan ini dengan membuat email beridentitas palsu untuk keperluan-keperluan yang bersifat negatif. Misalnya, untuk melakukan penipuan atau yang lainnya.
2.       Mungkinkan proses penyadapan informasinya
3.       Memungkinkan terjadinya penipuan
4.       Memungkinkan penyalahgunaan dokumen, khususnya jika terjadi kesalahan pengiriman email.
5.      Memungkinkan terjadinya ketidaknyamanan ketika mengelola email. Hal ini terutama disebabkan banyaknya email sampah (junkmail/spam) berupa iklan-iklan yang tidak diharapkan.

2.     World wide web
World Wide Webadalah suatu ruang informasi yang dipakai oleh pengenal global yang disebut Pengidentifikasi Sumber Seragam untuk mengenal pasti sumber daya berguna. WWW sering dianggap sama dengan Internet secara keseluruhan, walaupun sebenarnya ia hanyalah bagian daripada Internet.
WWW (Waring Wera Wanua), merupakan kumpulan server web dari seluruh dunia yang mempunyai kegunaan untuk menyediakan data dan informasi untuk dapat digunakan bersama. WWW adalah bagian yang paling menarik dari Internet. Melalui web, para pengguna dapat mengakses informasi-informasi yang tidak hanya berupa teks tetapi bisa juga berupa gambar, suara, video dan animasi.
Kegunaan ini tergolong masih baru dibandingkan surat elektronik, sebenarnya WWW merupakan kumpulan dokumen yang tersimpan di server web, dan yang server/peladennya tersebar di lima benua termasuk Indonesia yang terhubung menjadi satu melalui jaringan Internet. Dokumen-dokumen informasi ini disimpan atau dibuat dengan format HTML (Hypertext Markup Language).
Suatu halaman dokumen informasi dapat terdiri atas teks yang saling terkait dengan teks lainnya atau bahkan dengan dokumen lain. Keterkaitan halaman lewat teks ini disebut pranala. Dokumen infomasi ini tidak hanya terdiri dari teks tetapi dapat juga berupa gambar, mengandung suara bahkan klip video. Kaitan antar-dokumen yang seperti itu biasa disebut hipermedia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa WWW adalah sekelompok dokumen multimedia yang saling bertautan dengan menggunakan tautan hiperteks. Dengan mengeklik pranala (hipertaut), maka para pengguna bisa berpindah dari satu dokumen ke dokumen lainnya.
WWW adalah suatu program yang ditemukan oleh Tim Berners-Lee pada tahun1991. Awalnya Berners-Lee hanya ingin menemukan cara untuk menyusun arsip-arsip risetnya. Untuk itu, beliau mengembangkan suatu sistem untuk keperluan pribadi. Sistem itu adalah program peranti lunak yang diberi nama Enquire. Dengan program itu, Berners-Lee berhasil menciptakan jaringan yang menautkan berbagai arsip sehingga memudahkan pencarian informasi yang dibutuhkan. Inilah yang kelak menjadi dasar dari sebuah perkembangan pesat yang dikenal sebagai WWW.
WWW dikembangkan pertama kali di Pusat Penelitian Fisika Partikel Eropa (CERN), Jenewa, Swiss. Pada tahun 1989 Berners-lee membuat pengajuan untuk proyek pembuatan hiperteks global, kemudian pada bulan Oktober1990, 'Waring Wera Wanua' sudah dapat dijalankan dalam lingkungan CERN. Pada musim panas tahun 1991, WWW secara resmi digunakan secara luas pada jaringan Internet.
Layanan IRC, atau biasa disebut sebagai "chat" saja adalah sebuah bentuk komunikasi di intenet yang menggunakan sarana baris-baris tulisan yang diketikkan melalui keyboard. Dalam sebuah sesi chat, komnunikasi terjalin melalui saling bertukar pesan-pesan singkat. kegiatan ini disebut chatting dan pelakunya disebut sebagai chatter. Para chatter dapat saling berkomunikasi secara berkelompok dalam suatu chat room dengan membicarakan topik tertentu atau berpindah ke modus private untuk mengobrol berdua saja dengan chatter lain. Kegiatan chatting membutuhkan software yang disebut IRC Client, diantaranya yang paling populer adalah software mIRC.
Ada juga beberapa variasi lain dari IRC, misalnya apa yang dikenal sebagai MUD (Multi-User Dungeon atau Multi-User Dimension). Berbeda dengan IRC yang hanya menampung obrolan, aplikasi pada MUD jauh lebih fleksibel dan luas. MUD lebih mirip seperti sebuah dunia virtual (virtual world) dimana para penggunanya dapat saling berinteraksi seperti halnya pada dunia nyata, misalnya dengan melakukan kegiatan tukar menukar file atau meninggalkan pesan. Karenanya, selain untuk bersenang-senang, MUD juga sering dipakai oleh komunitas ilmiah serta untuk kepentingan pendidikan (misalnya untuk memfasilitasi kegiatan kuliah jarak jauh.
Belakangan, dengan semakin tingginya kecepatan akses internet, maka aplikasi chat terus diperluas sehingga komunikasi tidak hanya terjalin melalui tulisan namun juga melalui suara (teleconference), bahkan melalui gambar dan suara sekaligus (videoconference).
Aplikasi-apliakasi diatas sebenarnya adalah aplikasi dasar yang paling umum digunakan dalam internet. Selain aplikasi-aplikasi tersebut, masih ada lusinan aplikasi lainnya yang memanfaatkan jaringan internet, baik aplikasi yang sering maupun jarang dipergunakan. Teknologi internet sendiri terus berkembang sehingga aplikasi baru terus bermunculan. Disamping itu, aplikasi-aplikasi yang telah ada masih terus dikembangkan dan disempurnakan untuk memenuhi kebutuhan penggunanya.

Minggu, 06 Mei 2012

Dasar - Dasar Public Relations


Proses Manajemen Publik Relations

Seiring dengan pesatnya perkembangan lingkungan luar organisasi yang menuntut organisasi untuk bisa beradaptasi dengan cepat, kebutuhan praktek public relations di dalam organisasi juga semakin meningkat. Organisasi yang melakukan persiapan (strategi dan perencanaan ) akan berbagai kemungkinan yang dihadapi akan lebih cepat dan efektif dalam memberikan respon. Center dan Jackson menjelaskan klasifikasi persiapan terbaik mencakup tiga poin utama, yaitu:
1)            Memahami bisnis, operasi dan tujuan organisasi kita dan klien      secara sempurna.
2)            Pelajari sebanyak mungkin berbagai hal yang berhubungan dengan public karena keberhasilan organisasi sangat bergantung pada public.
3)            Tempatkan pemahaman dan pengetahuan tersebut dalam sebuah rencana strategi formal.
Dengan adanya persiapan, respon yang diberikan akan lebih tepat dan sesuai dengan kasus yang dihadapi oleh organisasi.
Menurut Cutlip, Center dan Broom, ada empat langkah proses penyelesaian masalah public relations, yaitu defining the problem ( or opportunity), planning and programming, taking action and communicating, dan evaluating the program.

  1. Defining the problem ( or opportunity )
Langkah pertama meliputi memperhatikan dan mengawasi pengetahuan, opini, sikap, dan prilaku pihak-pihak yang berhubungan dan terpengaruh oleh sikap dan kebijakn sebuah organisasi. Langkah ni lebih merupakan sebuah fungsi intelegensi organisasi, karena memberikan landasan bagi langkah-langkah berikutnya dari proses penyelesaian masalah. Oleh karena itu, langkah ini dikenal dengan istilah fact finding and data gathering
( Center & Jackson 1995 ).
  1. Planning and Programming
Ketika praktisi public relations telah berhasil mendefinisikan masalah melalui serangkaian penelitian dan analisis, informasi yang dikumpulkan pada tahap pertama digunakan untuk merencanakan strategi dan program dalam upaya menyelesaikan masalah. Tahap kedua juga mencakup menerjemahkan temuan pada tahap sebelumnya kedalam kebijakan dan program organisasi. “berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai situasi, apa yang seharusnya kita ubah, lakukan dan katakan ?” (“based on what we know about the situation, what should we change or do, and say.?”)

  1. Taking Action and Communicating
Berdasarkan perencanaan strategis yang telah dipersiapkan dan disetujui, implementasi program aksi dan komunikasi yang dirancang untuk sasaran spesifik bagi masing-masing public dilakukan untuk mencapai tujuan program. Pertanyaan pada tahapan ini adalah “Siapa yang seharusnya melaksanakan dan mengatakannya, dan kapan, dimana dan bagaimana? (‘who should do and say it,and when, where and how?”)

  1. Evaluating the program
Langkah terakhir meliputi menilai persiapan, implementasi, dan hasil pelaksanaan program. Perubahan ketika program sedang dilaksanakan dilakukan berdasarkan evaluasi respon atas apakah sebuah program berjalan dengan lancar atau tidak. Program dilanjutkan atau diberhentikan setelah dipelajari, “Bagaimana hasil dari upaya yang kita lakukan?” (“How are we doing, or how did we do?)

Program kerja Publik Relations pada sebuah perusahaan / organisasi
Di dalam sebuah perusahaan diperlukan adanya sebuah perencanan atau program kerja, apa yang harus mereka kerjakan kedepannya untuk menjadikan sebuah perusahaan kembali dipercaya oleh masyarakat dan dapat berjalan sesuai target perusahaan. Disini seorang public relations harus mampu membuat sebuah program kerja yang mampu mengangkat suatu citra perusahaan.
Suatu perusahaan makanan ringan yaitu Tela-tela pernah mengalami suatu keadan dimana mereka harus membuat suatu terobosan atau program agar perusahaan dapat kembali dipercaya oleh masyarakat. Perusahaan mulai memperhatikan apa yang saat ini sedang dipikirkan masyarakat mengenai perusahaan Tela-tela, dan juga memperhatikan permasalahan yang ada di dalam perusahaan. Selanjutnya perusahaan mulai melakukan sebuah rencana dan program, perusahaan memiliki rencana untuk mengubah suatu tata ruang dan perubahan pada warna- warna cat dinding perusahaan. Kemudian melakukan sebuah kegiatan yang melibatkan warga masyarakat untuk dapat bergotong royong didalam membersihkan lingkungan agar tercipa lingkungan yang indah. Hal ini juga merupakan tujuan perusahaan untuk dapat mempererat hubungan dengan masyarakat sekitar. Program ini direncanakan akan dilaksanakan pada saat hari libur dimana masyarakat dapat dengan maksimal untuk ikut serta. Kemudian perusahaan mulai bergerak dan menginformasikan kepada masyarakat mengenai kegiatan resebut. Setelah semuanya berjalan dan disetujui oleh semua pihak yang terlibat., perusahaan. Tindakan terakhir dari perusahaan ialah mengevaluasi semua kegiatan, akhirnya apa yang telah dilakukan oleh perusahaan Tele-Tela dan program-program berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan.

Sabtu, 05 Mei 2012

Teori Komunikasi


1. Tradisi Sibernetik

Tradisi ini melihat Komunikasi sebagai sebuah sistem. Bahwa komunikasi dikaji dari komponen-komponen yang saling berpengaruh. Tradisi Sibernetik berfokus pada sistem dan cara umpan balik menyebabkan faktor dalam sistem untuk menyesuaikan tindakan mereka melalui pengolahan informasi. Pandangan ini dikaitkan dengan sarjana seperti Shannon dan Weaver (matematika) dan Bateson (antropologi). Untuk tradisi ini, aspek penting dari komunikasi adalah peran logika dan sebab dan akibat.

Opini Publik

Menurut Dan Nimmo, opini adalah suatu respons yang aktif terhadap suatu stimulus, suatu respons yang dikonstruksikan melalui interpretasi yang berkembang dari dan menyumbang pada imej.
Setiap opini mencerminkan suatu organisasi yang kompleks dari tiga komponen, yaitu keyakinan, nilai-nilai, dan pengharapan/ekspektasi.
Ketiga komponen tersebut sebenarnya saling tumpang tindih, namun untuk memahami opini pribadi sebagai building block dari opini public, perlu untuk melihat masing-masing unsur itu untuk kemudian mengerti bagaimana interelasi di antara satu dengan yang lainnya.
Antara opini, kepercayaan, dan sikap/attitude saling berhubungan satu sama lain. Kepercayaan merupakan pegangan seseorang dalam menjalani kehidupan, yang kemudian menjadi dasar dari opini dan attitude orang yang bersangkutan. Perkembangan opini dan attitude selalu berdasarkan pada kepercayaan yang dimiliki seseorang.

Opini merupakan ekspresi dari attitude. Sedangkan attitude adalah predisposisi seseorang dalam menilai sesuatu lambang, obyek, ataupun dunia untuk disukai atau tidak disukai. Penelitian mengatakan bahwa, opini lebih mudah berubah dibanding dengan attitude yang bersifat stabil.
Karakteristik Opini
-               Mempunyai arah
-               Mempunyai isi informasi/content
-               Mempunyai intensitas.
Tiap opini seseorang mengenai sesuatu hal ada arahnya, dalam arti Di pihak manakah individu itu berada?
Misalnya, dalam masalah isu emansipasi, seorang wanita cenderung berada pada pihak yang mendukung.

Opini seseorang juga ditandai oleh apakah yang menjadi dasar dari opini tersebut adalah pengetahuan faktual atau informasi. Kebanyakan opini menunjukkan informasi yang relatif kurang mengenai isu yang bersangkutan dengan individu yang beropini tersebut.
Intensitas dari opini pada pokoknya merupakan ukuran tingkat keterlibatan seseorang dalam isu yang dimaksud. Sebagian orang bisa begitu hebat perasaannya atas sesuatu isu, sedangkan orang lain tidak atau merasa tidak berkepentingan sama sekali.
Penyebab  intens atau tidaknya opini seseorang terhadap suatu isu adalah :
-               Karena benar-benar berkepentingan sendiri
-               Menyangkut identifikasi kelompok tempatnya bergabung
-               Menyangkut nilai-nilai sosial
-               Karena kekhususan dari kepentingan spesial
-               Karena merupakan bagian dari pola keterlibatan dan concern politiknya.

            Publik adalah kumpulan orang-orang yang sama minat dan kepentingannya terhadap suatu isu. Publik tidak sama dengan umum, Karena publik ditandai oleh adanya sesuatu isu yang di hadapi dan di bincangkan oleh kelompok kepentingan yang dimaksud,
yang menghasilkan terbentuknya opini mengenai isu tersebut, Istilah publik bersifat kontroversial, dan di dalamnya proses diskusi.

Opini publik adalah suatu proses yang menggabungkan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan usulan-usulan yang dinyatakan oleh pribadi warga terhadap kebijakan yang di ambil oleh pejabat pemerintah.
            Karakteristik opini publik sama dengan karakteristik opini, yaitu mempunyai isi/content (mengenai sesuatu); mempunyai arah (percaya tak percaya ); dan mempunyai intensitas (kuat, moderat, dan lemah).

Spiral Kebisuan
           
            Teori yang menarik dalam lingkup pembentukan opini telah dikembangkan oleh Noelle-Neumann (1974), yang bertitik tolak dari asumsi dasar bahwa orang-orang umumnya secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dan dalam  pengungkapan opini mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas atau ”konsensus”. Sumber informasi  yang utama tentang konsensus adalah media dan akibatnya para wartawan yang mungkin memiliki pengaruh cukup besar untuk menetapkan apa yang di pandang sebagai iklim opini yang berlaku pada saat tertentu dalam isu tertentu, atau yang lebih luas. Istilah umum “Spiral kebisuan” ( the spiral of silence ) diberikan oleh Noelle-neumann bagi gejala ini karena logika yang mendasarinya bahwa semakin tersebar versi konsensus opini yang dominan oleh media masa dalam masyarakat, semakin berkurang suara perorangan yang bertentangan, yang karenanya meningkatkan dampak dan juga proses spiral. pembuktiannya menunjukan bahwa proses seperti itu terjadi di jerman pada tahun 1960-an dan 1970-an yang menguntungkan partai demokrasi sosial yang berkuasa. karena cenderung ke kiri kirian,di kalangan wartawan media yang utama.pandangan opini yang serupa tentang pembentukan opini oleh media Amerika pada tahun 1970-an, meskipun dangan kecenderungan politik yang berbeda, dikemukakan oleh peletz dan entman (1981) yang melaporkan perkembangan mitos konserfatif - kebijakan kewartawanan konvensional yang berkata bahwa Amerika telah berbalik arah dengan tajam dari radikalisme 1960-an. Akan tetapi, seperti yang mereka tunjukkan tidak ada dukungan bagi penafsiran itu dari pengumpulan opini yang dilakukan selama periode bersangkutan, yang karenanya menggugurkan pembenaran tesis “ spiral kebisuan”.

 









                                               


























Referensi :

Buku              :
Riswandi, komunikasi politik, GRAHA ILMU, Yogyakarta, 2009


Website          :
Http://www.wikipedia.com/

Undang-Undang Pers



Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 E ayat (3) yang menyebutkan : "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." dan dalam Pasal 28 F disebutkan : "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia'.

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang ada.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Tentang Pers merupakan sebuah peraturan yang normatif dan merupakan salah satu produk reformasi yang sebelumnya telah beberapa kali mengalami perubahan yang didalamnya mengatur tentang segala sesuatu hal-ikhwal tata cara perolehan berita oleh wartawan, hak dan kewajiban wartawan, sumber berita, perusahaan pers, juga berisikan kode etik mengenai wartawan dalam melaksanakan tugasnya, fungsi pers sebagai pengawas, pengkritik, pengkoreksi yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan juga mengatur tentang ketentuan pidana yang berhubungan dengan pers tersebut sebagaimana dijelaskan satu persatu dibawah ini :

1.      Kemerdekaan Untuk Menyatakan Pendapat (Freedom of Speech) Sebagai Dasar Kebebasan Pers

Dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 E ayat (3) dan Pasal 28 F memuat tentang hak setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.


Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998, Tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi :

"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat: dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".

Pasal 10 European Convention on Human Rights and Freedoms menyatakan :

"Everyone has the freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to receive and impart information and ideas without interference by public authority and regardless of frontiers."
Yang terjemahan bebasnya adalah :

"Setiap orang mempunyai hak untuk berekspresi. Hak tersebut termasuk untuk mempertahankan pendapat, menerima dan memberikan informasi serta pemikiran tanpa campur tangan serta dibatasi oleh pejabat publik yang berwenang."

Didalam Pasal (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Tentang Pers juga diatur mengenai arti serta makna Kebebasan Pers yakni:

"Merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum."

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Tentang Pers disebutkan :

"Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia.", dan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Tentang Pers disebutkan :

"Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara" adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin."

Menurut doktrin, Lukas Luwarso dalam bukunya : Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum dikatakan bahwa :

1. "Kebebasan pers berarti pers memiliki kebebasan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskann gagasan dan informasi, yang dilindungi hukum."

2. Pers Merupakan Pilar Ke-empat Demokrasi (The Fourth Estate of Democracy)
Pers merupakan pilar keempat demokrasi. Untuk itu dalam melaksanakan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi yang dilandasi oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Tentang Pers, fungsi-fungsinya yakni :

a. Fungsi Penyampaian Dan Penyebaran Informasi. Dalam melaksanakan fungsi penyampaian dan penyebarluasan Informasi, Pers harus didukung oleh seluruh komponen masyarakat, termasuk pejabat publik atau badan hukum publik. Sikap membuka akses terhadap informasi publik merupakan tugas setiap pejabat publik atau badan hukum publik

b. Fungsi Pendidikan.

c. Fungsi Kontrol Sosial. Pers berfungsi sebagai kontrol sosial mempunyai aspek yang sangat luas, salah satunya adalah sebagai watchdog yang berfungsi mengawasi pemerintah dan lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif, dengan maksud agar segala kebijakan dan aktifitas lembaga-lembaga tersebut tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku serta memberi peringatan dini apabila terjadi penyimpangan.

d. Fungsi Penetapan Agenda (Agenda Setting). Dalam memilih isu-isu yang mana yang yang akan ditampilkan dan isu mana yang diabaikan dalam setiap pemberitaan, pemberitaan Majalah Tempo merupakan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan umum seperti pemberitaan Pasar Tanah Abang dan lain-lain.

e.       Asas Kepentingan Umum. Mengenai asas kepentingan umum, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusan No. 338/Pdt.G/1999/PN.JKT.PST, tanggal 2 Juli 1999 yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 551/Pdt/2000/PT.DKI, tanggal 16 Maret 2001, dalam perkara H.M. Suharto melawan "Time" Inc Asia, telah memberikan putusan yakni menolak gugatan Penggugat H.M. Suharto terhadap "Time" Inc Asia dengan pertimbangan hukum diantaranya adalah sebagai berikut :

"Menimbang, bahwa oleh karena pemberitaan yang dilakukan oleh Tergugat tersebut dapat dipandang sebagai "untuk kepentingan umum" serta sesuai dengan "kebutuhan zaman" maka menurut hukum pemberitaan yang dibuat oleh Para Tergugat tersebut tidak termasuk kedalam kualifikasi "menista atau menista dengan tulisan : sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 310 ayat (3) KUH Pidana;

Menimbang, bahwa berdasarkan segala sesuatu yang telah diuraikan di atas Pengadilan berpendapat bahwa gugatan Penggugat tersebut haruslah ditolak untuk seluruhnya;"

Perlu diketahui bahwa dinegeri Belanda sendiri dalam Pasal 266 ayat 2 WvS Nederland (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda) disebutkan bahwa apabila sebuah pemberitaan merupakan perilaku yang tujuannya menyampaikan opini (oordeel) untuk melayani fakta dan diperuntukkan bagi kepentingan umum, maka pemberitaan tersebut bukan merupakan Penghinaan.

Demikian juga di Queensland, Tasmania dan Australia bahwa penghinaan yang didasarkan sebuah publikasi dapat dibenarkan dengan alasan untuk kepentingan umum apabila berita tersebut mengandung kebenaran.

Dasar-Dasar Jurnalistik


Pesatnya kemajuan media informasi dewasa ini cukup memberikan kemajuan yang signifikan. Media cetak maupun elektronik pun saling bersaing kecepatan sehingga tidak ayal bila si pemburu berita dituntut kreativitasnya dalam penyampaian informasi. Penguasaan dasar-dasar pengetahuan jurnalistik merupakan modal yang amat penting manakala kita terjun di dunia ini. Keberadaan media tidak lagi sebatas penyampai informasi yang aktual kepada masyarakat, tapi media juga mempunyai tanggung jawab yang berat dalam menampilkan fakta-fakta untuk selalu bertindak objektif dalam setiap pemberitaannya.

Apa Itu Jurnalistik?

Menurut Kris Budiman, jurnalistik (journalistiek, Belanda) bisa dibatasi secara singkat sebagai kegiatan penyiapan, penulisan, penyuntingan, dan penyampaian berita kepada khalayak melalui saluran media tertentu. Jurnalistik mencakup kegiatan dari peliputan sampai kepada penyebarannya kepada masyarakat. Sebelumnya, jurnalistik dalam pengertian sempit disebut juga dengan publikasi secara cetak. Dewasa ini pengertian tersebut tidak hanya sebatas melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, dsb., namun meluas menjadi media elektronik seperti radio atau televisi. Berdasarkan media yang digunakan meliputi jurnalistik cetak (print journalism), elektronik (electronic journalism). Akhir-akhir ini juga telah berkembang jurnalistik secara tersambung (online journalism).
Jurnalistik atau jurnalisme, menurut Luwi Ishwara (2005), mempunyai ciri-ciri yang penting untuk kita perhatikan.

a. Skeptis

Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media janganlah puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk mengingatkan kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan haruslah terjun ke lapangan, berjuang, serta menggali hal-hal yang eksklusif.

b. Bertindak (action)

Wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan.

c. Berubah

Perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi.

d. Seni dan Profesi

Wartawan melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik.

e. Peran Pers

Pers sebagai pelapor, bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Selain itu, pers juga harus berperan sebagai interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat kebijaksanaan serta advokasi.

Berita

Ketika membahas mengenai jurnalistik, pikiran kita tentu akan langsung tertuju pada kata "berita" atau "news". Lalu apa itu berita? Berita (news) berdasarkan batasan dari Kris Budiman adalah laporan mengenai suatu peristiwa atau kejadian yang terbaru (aktual); laporan mengenai fakta-fakta yang aktual, menarik perhatian, dinilai penting, atau luar biasa. "News" sendiri mengandung pengertian yang penting, yaitu dari kata "new" yang artinya adalah "baru". Jadi, berita harus mempunyai nilai kebaruan atau selalu mengedepankan aktualitas. Dari kata "news" sendiri, kita bisa menjabarkannya dengan "north", "east", "west", dan "south". Bahwa si pencari berita dalam mendapatkan informasi harus dari keempat sumber arah mata angin tersebut.
Selanjutnya berdasarkan jenisnya, Kris Budiman membedakannya menjadi "straight news" yang berisi laporan peristiwa politik, ekonomi, masalah sosial, dan kriminalitas, sering disebut sebagai berita keras (hard news). Sementara "straight news" tentang hal-hal semisal olahraga, kesenian, hiburan, hobi, elektronika, dsb., dikategorikan sebagai berita ringan atau lunak (soft news). Di samping itu, dikenal juga jenis berita yang dinamakan "feature" atau berita kisah. Jenis ini lebih bersifat naratif, berkisah mengenai aspek-aspek insani (human interest). Sebuah "feature" tidak terlalu terikat pada nilai-nilai berita dan faktualitas. Ada lagi yang dinamakan berita investigatif (investigative news), berupa hasil penyelidikan seorang atau satu tim wartawan secara lengkap dan mendalam dalam pelaporannya.

Nilai Berita

Sebuah berita jika disajikan haruslah memuat nilai berita di dalamnya. Nilai berita itu mencakup beberapa hal, seperti berikut.
  1. Objektif: berdasarkan fakta, tidak memihak.
  2. Aktual: terbaru, belum "basi".
  3. Luar biasa: besar, aneh, janggal, tidak umum.
  4. Penting: pengaruh atau dampaknya bagi orang banyak; menyangkut orang penting/terkenal.
  5. Jarak: familiaritas, kedekatan (geografis, kultural, psikologis).
Lima nilai berita di atas menurut Kris Budiman sudah dianggap cukup dalam menyusun berita. Namun, Masri Sareb Putra dalam bukunya "Teknik Menulis Berita dan Feature", malah memberikan dua belas nilai berita dalam menulis berita (2006: 33). Dua belas hal tersebut di antaranya adalah:
  1. sesuatu yang unik,
  2. sesuatu yang luar biasa,
  3. sesuatu yang langka,
  4. sesuatu yang dialami/dilakukan/menimpa orang (tokoh) penting,
  5. menyangkut keinginan publik,
  6. yang tersembunyi,
  7. sesuatu yang sulit untuk dimasuki,
  8. sesuatu yang belum banyak/umum diketahui,
  9. pemikiran dari tokoh penting,
  10. komentar/ucapan dari tokoh penting,
  11. kelakuan/kehidupan tokoh penting, dan
  12. hal lain yang luar biasa.
Dalam kenyataannya, tidak semua nilai itu akan kita pakai dalam sebuah penulisan berita. Hal terpenting adalah adanya aktualitas dan pengedepanan objektivitas yang terlihat dalam isi tersebut.

Anatomi Berita dan Unsur-Unsur

Seperti tubuh kita, berita juga mempunyai bagian-bagian, di antaranya adalah sebagai berikut.
  1. Judul atau kepala berita (headline).
  2. Baris tanggal (dateline).
  3. Teras berita (lead atau intro).
  4. Tubuh berita (body).
Bagian-bagian di atas tersusun secara terpadu dalam sebuah berita. Susunan yang paling sering didengar ialah susunan piramida terbalik. Metode ini lebih menonjolkan inti berita saja. Atau dengan kata lain, lebih menekankan hal-hal yang umum dahulu baru ke hal yang khusus. Tujuannya adalah untuk memudahkan atau mempercepat pembaca dalam mengetahui apa yang diberitakan; juga untuk memudahkan para redaktur memotong bagian tidak/kurang penting yang terletak di bagian paling bawah dari tubuh berita (Budiman 2005) . Dengan selalu mengedepankan unsur-unsur yang berupa fakta di tiap bagiannya, terutama pada tubuh berita. Dengan senantiasa meminimalkan aspek nonfaktual yang pada kecenderuangan akan menjadi sebuah opini.
Untuk itu, sebuah berita harus memuat "fakta" yang di dalamnya terkandung unsur-unsur 5W + 1H. Hal ini senada dengan apa yang dimaksudkan oleh Lasswell, salah seorang pakar komunikasi (Masri Sareb 2006: 38).
  1. Who - siapa yang terlibat di dalamnya?
  2. What - apa yang terjadi di dalam suatu peristiwa?
  3. Where - di mana terjadinya peristiwa itu?
  4. Why - mengapa peristiwa itu terjadi?
  5. When - kapan terjadinya?
  6. How - bagaimana terjadinya?
Tidak hanya sebatas berita, bentuk jurnalistik lain, khususnya dalam media cetak, adalah berupa opini. Bentuk opini ini dapat berupa tajuk rencana (editorial), artikel opini atau kolom (column), pojok dan surat pembaca.

Sumber Berita

Hal penting lain yang dibutuhkan dalam sebuah proses jurnalistik adalah pada sumber berita. Ada beberapa petunjuk yang dapat membantu pengumpulan informasi, sebagaimana diungkapkan oleh Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik (Luwi Iswara 2005: 67) berikut ini.
  1. Observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita.
  2. Proses wawancara.
  3. Pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik.
  4. Partisipasi dalam peristiwa.
Kiranya tulisan singkat tentang dasar-dasar jurnalistik di atas akan lebih membantu kita saat mengerjakan proses kreatif kita dalam penulisan jurnalistik. 

Televisi Sedang Menonton Anda


( KRITIK ETIKA DAN ESTETIKA KOMODITI DI BALIK BUDAYA TELEVISI )


Etika adalah sesuatu yang senantiasa diagungkan di panggung retorika politik, tetapi tak jarang malah dilecehkan di tingkat realita. Seruan dan imbauan moral sama sekali tak mendatangkan riak perubahan, justru di hadapan pementasan kehidupan kolutif, koruptif, dan manipulatif. Kesederhanaan adalah sesuatu yang menipu, justru di hadapan pameran gaya hidup gedongan dan pola hidup konsumtif yang memprasyaratkan ekonomi biaya tinggi. Prasarana kehidupan seperti saluran komunikasi dan transportasi publik memang terus dibangun, tetapi ruang publik rakyat terus tergusur atas nama pembangunan dan kepentingan umum. Kelembutan ucapan di balik senyuman  sering tak kan berguna di balik kekerasan politik yang menyengsarakan rakyat. Para pejabat terus menebar senyum di acara-acara yang ditayangkan televisi tak kan sanggup menyembuhkan derita rakyat yang disebabkan kebijakan publik yang salah urus.
Ada pula yang melihat fenomena ini sebagai munculnya apa yang disebut sebagai “imperialisme doktrinal” (Gellner), atau “industrialisasi kesadaran” (Enzensberger), atau pun “tirani kesadaran” dan “tirani kognitif” (Tehrania)
Namun, kini semua gejala seperti yang dikhawatirkan oleh para kritikus budaya tersebut telah mengalami metamorfosis secara lebih canggih dalam apa yang secara klise sering disebut sebagai “kondisi pasca modern” atau “budaya pascamodern”. Dalam kondisi seperti ini, penumpulan daya imajinasi atau penunggalan wacana tak lagi mesti berlangsung dalam ruang penataran yang di dalamnya mungkin berlangsung injeksi indoktrinasi yang telanjang. Tetapi, kini semua saluran artikulasi kekuasaan via media baik media cetak maupun media elektronik (terutama televisi) telah menjadi bagian penting dari beroperasinya proses penunggalan atau homogenisasi wacana.
Dalam uraian terbatas ini, bab ini akan menyoroti satu sisi perkembangan institusi komunitas masyarakat pascamodern, yakni televisi yang telah menjadi industri hiburan dan sekaligus produsen budaya populer. Televisi telah menjadi supra–ideologi yang mempesona masyarakat mutakhir dengan aneka corak hiburan massa untuk khalayak dengan tingkat kesadaran dan kritisisme yang pas-pasan (mediocre). Lalu, bagaimana, misalnya kalau kita ingin menjelaskan etika kekeluargaan atau pendidikan yang dikhotbahkan televisi dengan memanfaatkan pesona “ikon pop” berupa foto model, bintang iklan atau artis?

HISTERIA KEMATIAN SELEBRITI
            Televisi adalah contoh mesin konstruksi citra di pangggung selebriti. Ia memungkinkan semua ranah kehidupan dan budaya menjadi produk tontonan di dalam masyarakat komoditi mutakhir, tidak terkecuali kematian, terutama kematian selebriti.
Media mendramatisasi kematian selebriti dengan menyoroti nyaris semua hal yang terkait dengan aktivitas apa saja yang ia lakukan sebelum kematiannya di samping ritual pemakaman dan komentar karib-kerabat yang kemudian menjadi ritual pemberitaan yang bercampur dengan industri gosip yang kini tengah menjadi ritual harian tontonan televisi kita, di samping berita-berita di seputar kriminalitas yang selalu melahirkan “hero”, penegak hukum mengalahkan orang jahat : bapak polisi yang berhasil menyergap perampok atau menggulung maling ayam atau maling kendaraan dengan shooting yang diperlihatkan sangat dramatis, lebih dramatis daripada penangkapan koruptor kelas kakap sekalipun.
            Dalam konteks inilah kita masuk lebih dalam ke wilayah yang menjadi pembahasan uraian bab ini. Bahwa televisi telah menjadi wajah tirani baru ia tidak hanya memediakan realitas real atau ‘nyata”, tapi ia telah mengkontruksi realitas baru yang melampaui yang real atau hyper-real “realitas semu”secara demikian, fenomena budaya televisi pun telah menjadi satu persoalan  serius kalau kita ingin berbicara tentang etika sambil melakukan kritik terhadap estetika komoditi yang selama imi begitu akut dipergelarkan di balik keperkasaan televisi.
            Martin Esslin menyebut abad ke-20 sebagai Abad Televisi sesuai dengan judul bukunya Age of Television. Sinyalemen itu tampaknya beralasan. Sekalipun internet muncul, tetapi ia belum bisa disamakan dengan kehadiran televisi, karena sifat televisi yang relatif murah dan terjangkau untuk berbagai lapisan masyarakat. Karena itu, lebih dari itu pada abad ke-21 atau millenium baru kita sedang memasuki gelombang Millenium of Television. Di dalam Millenium TV, stasiun pemancar dan perancang program perlahan tapi pasti juga sudah tampil sekaligus sebagai “agen kebudayaan”. Lebih dari itu, sebagai produk teknologi yang memainkan politik elektronik, televisi telah menjelma sebagai bentuk baru kebudayaan itu sendiri (cultural form, kata kritikus budaya Raymond Williams, 1974).

KOTAK AJAIB DENGAN BANYAK JULUKAN
            Televisi, sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus di salah satu sudut ruang rumah tangga kita, barangkali adalah hasil produk kemajuan teknologi yang paling banyak memperoleh “gelar kehormatan”, seperti “ jendela dunia” (window of the world), “kotak ajaib” (miracle box).
            Televisi adalah anak ajaib industrialisasi yang dikandung oleh ibu modernitas. Televisi memang tidak punya jenis kelamin, tetapi konon ia memainkan ideologi gender sacara amat halus dan tentu saja tidak jarang pula ia mempertontonkannya secara begitu amat telanjang. Bahkan bagi para penganut “antropomorfisme teknologi”, televisi dipandang sebagai “makhluk” hasil produk teknologi komunikasi yang kini membalik logika: “ Manusia menonton TV” menjadi “TV menonton manusia” karena itu,”kill your TV” demikian gertak penyair Afrizal Malna.
            Yang ingin ditegaskan disini adalah bagaimana produk teknologi berupa televisi itu telah menjelma menjadi “agen” atau “Produsen kebudayaan”. Di layar kotak ajaib ini, spot iklan yang semula tersedia hanya sekadar untuk menginformasikan produk terbaru dari sebuah lembaga/perusahaan bisnis, ternyata telah berubah menjadi wahana pencitraan, pengemasan, perekayasaan, atau “estetisasi” produk barang. Di dalam estetika komoditi itu yang dipaketkan bukan hanya barang yang diiklankan, tetapi juga figur bintang iklan atau “ikon pop”. Itu artinya, ketika kita menghadapi kotak ajaib bernama televisi, kita sesungguhnya tidak hanya tengah berhadapan dengan informasi an sich. Tetapi, pada saat yang sama kita juga sedang berhadapan dengan “kebudayaan yang dipaketkan” atau “kebudayaan kemasan”. Di dalam budaya kemasan itu, citra menjadi lebih penting dari makna. Atau, dengan citra itu aneka-makna dibangun oleh produsen dan ditafsirkan oleh produsen. Untuk membangun citra, produk barang yang diiklankan atau komoditi itu perlu diperindah atau dikemas dengan semenarik mungkin agar memukau khalayak. Semua ini tidak lain untuk memenuhi prasyarat komoditi tontonan yang akan dipajangkan di etalase budaya populer.
            Tak heran, kalau kita juga bisa menyaksikan tak jarang dilayar kaca, iklan justru lebih menarik dari sebuah mata acara yang justru semula dirancang untuk menghibur. Dengan estetika komoditi, kita justru merasa senang dan larut meskipun sebenarnya kita tengah dihibur oleh berondongan iklan barang-barang yang menyihir kita untuk selalu membeli, berbelanja, dan hidup dalam gaya. Rupanya produk estetika komoditi ini menjadi sisi lain pertumbuhan masyarakat kapitalisme kontemporer yang telah berhasil memasuki dan menaklukkan ruang keluarga kita termasuk yang paling privasi sekalipun. Perlahan tapi pasti, kita sudah terbiasa dihibur bahkan diteror oleh iklan. Padahal, iklan dengan kekuatan budaya citranya itu telah menjadi semacam mesin kapitalisme yang menyihir hati konsumen untuk senantiasa haus akan sesuatu yang baru, untuk kemudian memiliki dan membelinya. Barang yang diiklankan itu bisa saja sebenarnya hanya barang komoditi yang biasa-biasa saja (dari segi mutu), tetapi dengan trik-trik dan manipulasi yang bermain di balik ideologi iklan ia berubah menjadi produk yang begitu menawan dan memikat hati konsumen (dari segi citra). Inilah logika dari estetika komoditi tersebut.
            Dalam hal ini perlahan tapi pasti, televisi menjelma menjadi”lembaga pendidikan imajiner” anak-anak zaman modern. Televisi bahkan telah ikut menjadwal-ulang dan mendiktekan waktu belajar, bermain, dan tidur anak-anak.
            “TV is waching you!” bisa dijelaskan lewat percepatan dalam pergantian produk komoditi yang terus mengalami peng-estetika-an (estetisasi komoditi). Siklus dunia mode yang terus berputar dalam percepatan irama kehidupan dan hasrat manusia tengah mencapai titik balik ketika televisi menjadi ajang estetisasi komoditi, di satu sisi, dan komodifikasi estetika, di sisi lain.
            Dengan estetika komoditi ini memungkinkan informasi kekerasan lewat film atau objek lainnya berubah menjadi “estetika kekerasan” yang pada gilirannya menjelma menjadi “kekerasan estetika” itu sendiri. Dan, “komoditi kekerasan” di telivisi pun sebenarnya menjadi sebentuk “kekerasan komoditi”. Seperti halnya tayangan teror dan sadisme di layar kaca telah menjadi hiburan kita sehari-hari. Informasi kriminalitas telah menjadi santapan pagi. Sementara perbincangan politik bisa menjadi dagelan. Perang pun bisa dinikmati seperti telenovela ”The war as Telenovela,” demikian kata Omar Sauki Oliviera, 1992). Tak heran, kalau kemudian televisi tidak hanya mampu memotret dan memediakan isu-isu yang berkenaan dengan demokrasi, tetapi televisi ternyata juga ikut berperan dalam menciptakan  krisis demokrasi.

INSTITUSI BUDAYA HIBRID
            Melihat kenyataan demikian, tak heran kalau televisi pun kemudian bisa menjadi instrumen dan institusi tempat berkembang biaknya budaya hibrid. Lebih khusus lagi televisi yang mengklaim sebagai saluran hiburan dan informasi kini terutama saat kapitalisme hiburan, citra, dan waktu luang telah menjadi wahana pengemasan gaya hidup (packaging life-styles? Global dan dengan budayanya yang khas itu televisi dianggap telah menaklukkan atau mengkolonisasi waktu luang (colonizing leisure time).
Lantas, kalau kita bermaksud mendiskusikan budaya dalam konteks kebudayaan suatu bangsa, setidaknya kita harus mencari kesamaan persepsi mengenai apa yang kita maksud dengan “kebudayaan bangsa” itu. Kebudayaan suatu bangsa telah memberikan kepada kita sense of identity. Kebudayaan Indonesia, misalnya memberikan kepada kita sense akan identitas keindonesiaan; kebudayaan Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Padang atau Melayu, misalnya memberikan kepada kita sense akan identitas kajawaan, kesundaan, kebatakan, kebugisan, kepadangan, atau kemelayuan kita di bawah payung keindonesiaan. Sementara, dengan identitas lokal, orang merasa terikat dan menjadi bagian dari sub-kultur kawasan lokalitas tertentu. Budaya lokal, baik berupa bahasa atau pola perilaku tertentu senantiasa terikat oleh konteks ruang dan waktu lokal.
            Namun, persoalan definisi muncul manakala kita merujuk ke salah satu contoh sub-kultur yang lahir dari industri hiburan/tontonan semacam MTV, misalnya. Karena, di baliknya sesungguhnya tengah berlangsung penjungkirbalikkan yang luar biasa terhadap definisi budaya lokal. Budaya lokal marah telah dimanfaatkan, dikonstruksikan, direkayasa, dimanipulasi, dicangkok, atau didaur-ulang untuk kepentingan pasar budaya global. Sementara, budaya global yang serba-seragam justru diperuntukkan bagi pemuasaan selera konsumen lokal. Sehingga memang ada kontradiksi kalau kita melihat lebih dalam apa yang dimaksud sebagai “paket acara yang berwarna lokal” seperti terlihat pada industri hiburan anak muda kemasan MTV Asia yang kian marak di tanah air sejak akhir 1990-an. MTV, dalam kasus ini, telah menjadi semacam “kotak ajaib” tempat “ruang pembiakan” budaya baru di kalangan anak muda yang menjadi khalayak setianya.

DARI IMPERIALISME MEDIA KE GLOKALISASI
            Perhatian utama kajian komunikasi internasional selama ini amat terfokus pada struktur dan arus media internasional (Hur,1982). Sehingga pada tahun 1960-an muncullah suatu kerangka teoretis yang utama dalam bidang penelitian ini. Yakni tesis imperialisme media. Imperialisme media dinilai sabagai wajah atau sarana baru imperialisme kebudayaan barat (Westernisasi/Amerikanisasi) yang menggunakan kekuatan media sebagai saluran hegemoni, dominasi, atau kolonisasi kesadaran terhadap negara-negara pinggiran kekuasaan Amerika (negara berkembang dan juga Eropa).
            Kajian imperialisme media, kemudian mengalami pendalaman dengan munculnya konsep “glokalisasi” pada awal 1990-an. Para peminat kajian glokalisasi ingin menunjukkan bahwa saat ini telah berlangsung perubahan dan pergeseran budaya nan dahsyat yang dialami masyarakat kontemporer dalam skala besar. Glokalisasi juga mengandung makna bahwa proses perubahan sosial adalah suatu hasil perpaduan dari dua kekuatan sekaligus yakni proses homogenisasi (penunggalan/penyeragaman) budaya dan heterogenisasi (pembhinnekaan/penganekaragaman) budaya. (Rebertson, 1992;Wang, 1997). Istilah “glokal” sendiri sebenarnya berasal dari pengertian “penglokalan atau lokalisasi yang global”: suatu strategi bisnis yang pertama kali dikembangkan di Jepang untuk menghadapi serbuan budaya populer Amerika.
Strategi glokalisasi sendiri mengacu pada “ suatu cara pandang global yang diadaptasi untuk kondisi-kondisi lokal”. Dengan glokalisasi ini sekaligus berlangsung tanpa henti proses “peng-lokal-an budaya global” dan/atau “peng-global-an budaya lokal”. Proses saling- pengaruh, saling-merembesi, saling-melengkapi antara budaya lokal dan budaya global inilah yang melahirkan apa yang disebut sebagai “budaya hibrid” (hybrid culture). Hibriditas kultural ini kemudian mengubah “perbedaan” ke dalam “persamaan” dan sebaliknya “kesamaan” kedalam “perbedaan”, tetapi dengan cara membuat yang sama tidak lagi sama, yang berbeda tidak lagi sepenuhnya berbeda. Sehingga yang tampil tidak hanya identitas budaya yang baru, tetapi juga berlangsungnya penjungkirbalikan nilai-nilai demi memenuhi kriteria atau standar yang global dan yang lokal (glokal) itu secara berbarengan.

PERANG BUDAYA YANG TANPA PEMENANG?
            Pertarungan antara proses penunggalan-penyeragaman dan pembhinnekaan-penganekaragaman budaya ini telah memicu terjadinya semacam “Perang Budaya” (Culture War). Ketika budaya global menerpa, budaya lokal mencari format dan ruang pengucapan lokal yang baru. Ketika media global menyerbu, media lokal menanggapi dengan menyediakan ruang bagi idiom-idiom lokal dan media alternatif menyusun kekuatan untuk menawarkan cara pandang lain dalam menghadapi realitas yang terkadang dirasa menyakitkan. Namun, sesungguhnya dalam perang budaya itu tidak mesti ada pihak pemenang atau pecundang. Karena yang akan menjadi pemenang adalah kapital, modal, dan logika pasar. Kekalahan dalam perang budaya itu kini seolah menjadi nisbi. Sebuah negara berkembang bisa saja kebudayaan lokalnya ditaklukkan oleh globalisasi budaya kemasan kebudayaan massa Amerika yang serba-seragam dalam bentuk “Coca-colanisasi” atau “ McDonaldlisasi” yang mereduksi ruang kultural lokal.
Akan tetapi, toh, unsur-unsur, sentimen-sentimen, cita-cita atau muatan lokal bisa saja direkayasa ataupun dicangkok demi kepentingan penguatan pasar global atau cengkeraman gurika kapitalisme multinasional. Itulah sebabnya kita bisa melihat betapa telanjangnya proses “glokalisasi” ini dalam bentuk gaya hidup yang ditawarkan iklan dan iklan gaya hidup di media massa.
            Gaya hidup untuk menghabiskan waktu luang dengan bersenang-senang dan budaya belanja adalah bukti hidupnya budaya hedonis di kalangan sebagian anak muda, dan  ini sudah meruyak di mana-mana. Fenomena ini sebagian besar ditopang oleh iklan televisi dan maraknya pusat perbelanjaan ultra-modern seperti mal yang kini sudah berdiri nyaris di setiap provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia. Tak usah heran kalau sehari-hari orang sudah terbiasa dihibur oleh iklan yang menjadi semacam “industrialisasi hasrat” yang mengkonstruksi kehidupan belanja dan show kemewahan di kalangan kelas menengah kita.
            Munculnya budaya hibrid ini sebagai cangkokan budaya “global-lokal” yang dibiakkan lewat industri budaya masa ini setidaknya mengingatkan kita akan kian menguatnya kontradiksi, ambiguitas, kecemasan, krisis, atau  kalau boleh dibilang semacam “kiamat kebudayaan masa” di balik proses glokalisasi itu sendiri dalam maknanya yang paling radikal dan subtil.
Kalau demikian halnya, memang, kita harus menjadi khalayak yang semakin cerdas dan kritis sembari terus “bercinta dengan TV”. (Mulyana dan Ibrahim, 1998). Sehingga kita tidak hanya membunuh detik-detik waktu luang ini dengan kehampaan makna (emptiness of meaning) yang pada akhirnya hanya akan menciptakan luka di dalam ruang batin kebudayaan bangsa.