Source: http://caramembuat524.blogspot.com/2014/01/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html

Sabtu, 05 Mei 2012

POLEMIK RUUK Yogyakarta Kajian Politis tentang Penetapan atau Pemilihan


PERNYATAAN SBY DAN POLEMIK YANG TERJADI
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang kelanjutan pembahasan rancangan UU status keistimewaan Yogyakarta dalam rapat kabinet beberapa waktu yang lalu mengundang reaksi keras dari masyarakat luas, khususnya warga DIY.
Reaksi serupa sebenarnya sudah muncul sejak wacana keistimewaan Yogyakarta hendak diatur kembali dalam UU yang baru beberapa tahun sebelumnya. Pada intinya masyarakat menganggap masalah keistimewaan Yogyakarta sudah final dan tidak perlu dibicarakan kembali. Upaya penghapusan terhadap keistimewaan itu dianggap sebagai pengingkaran dan pengkhianatan terhadap sejarah, khususnya peran Sultan HB IX selama masa-masa awal berdirinya Republik ini.
Berdasarkan kajian komunikasi massa, pernyataan presiden SBY ini adalah suatu siasat dalam menyelesaikan RUUK[1] Yogyakarta yang sebelumnya belum mampu diselesaikan oleh pemerintah dan parlemen. Apalagi setelah disahkannya rancangan RUUK Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ini menjadi sebuah pertanyaan bagi warga jogja yang ingin memperoleh status konstitusional tentang pemilihan kepala daerah yang selama ini berjalan dengan penentapan. Namun nyatanya, payung hukum yang ditunggu ini juga belum selesai. Sehingga, SBY sebagai presiden melempar isu tentang pemilhan untuk gubernur yogyakarta.

DEMOKRASI VS MONARKI
Demokrasi vs Monarki Perdebatan negara demokrasi versus negara monarki menyeruak ke publik usai   pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) pada rapat terbatas kabinet, Jumat (26/11). Presiden menyatakan bahwa Indonesia pada hakikatnya adalah negara hukum dan demokrasi di mana nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi. Menarik pernyataan Presiden berkaitan dengan RUUK  DIY ini, pertama, menyiratkan keinginan pemerintah untuk menyelesaikan RUUK yang  selama ini berlarut-larut. Kedua, "teguran" Presiden kepada Kepala Pemerintah Provinsi DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, membuka celah demokrasi konstitusional yang kontekstual yang dinginkan publik dewasa ini. Meminjam istilah sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola, Pemerintah DIY mengalami "kekagokan" dalam menjalankan demokrasi . Di satu sisi, DIY merupakan daerah istimewa yang menempatkan keistimewaannya pada Keraton Yogyakarta Hadiningrat, di mana raja sebagai kepala kerajaan sebagaimana kekuasaan monarki. Di sisi lain, DIY sebagai wilayah administratif yang dipimpin oleh gubernur. "Kekagokan" muncul ketika raja sebagai pemimpin tradisional  kerajaan[2].
Makna demokrasi yang dilontarkan SBY tidak dapat dipahami oleh warga jogja, karna faktor sosial historis. Apalagi SBY sendiri adalah sosok yang anti demokrasi mengingat demokrasi yang dianut adalah demokrasi liberal ala Amerika. Dan lebih cenderung terlihat sebagai demokrasi semu. Faktanya adalah, pada Era Rezim SBY banyak kebijakan yang memasung hak-hak demokrasi seperti adanya PROTAP (Prosedur Ketetapan) untuk kepolisian, RUU Intelijen, UU Sisdiknas dan BHP ( untuk kalangan akademis), dan kasus Bumi hangus ditanah papua. Pernyataan SBY tentang monarki Jogja dengan landasan demokrasi justru menjadi kontradiktif, ketika persepsi warga / masyarakat tentang SBY sudah seperti itu.
Disatu sisi Monarki Jogja memang juga tidak sepenuhnya tepat, kenapa karena menimbulkan kecemburuan sosial dengan bekas-bekas kerajaan di nusantara yang saat ini tidak mempunyai kekuasaan penuh, seperti Kesunanan Surakarta, Kesultanan Ternate, Kerajaan di Kepulauan Riau, dan lain-lain. Walaupun secara konstitusi ada terlihat sikap untuk menghormati Keistimewaan Yogyakarta.

Landasan Yuridis Keistimewaan Yogyakarta[3]
Landasan keistimewaan legal/yuridis artinya bahwa keistimewaan yang dimiliki oleh DIY berbasis pengakuan legal/yuridis/hukum dari negara RI, berdasarkan sejarah, budaya, dan hak asal-usul menurut UUD 1945.  
Pengakuan hukum itu antara lain menegaskan bahwa DIY  diakui secara sah sebagai daerah yang berkedudukan istimewa dan memiliki kewenangan khusus untuk menyelenggarakan  pemerintahan.
Pengakuan hukum itu tercantum antara lain dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; UU Nomor 3 Tahun 1950; UU Nomor 9 Tahun 1955; dan UU Nomor  55 Tahun 1974. Pengertian landasan yuridis yang sama ini  sesungguhnya juga berlaku pada kedudukan hukum  keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Aceh, kekhususan Jakarta sebagai ibu kota negara, serta kekhususan Pemerintah Provinsi Papua.
Jika dilihat dari isi UU itu, jelas bahwa keistimewaan itu dimaknai pemerintah pusat memberikan dalam bentuk otonomi khusus, walaupun istilah itu tidak digunakan dalam UU itu. Otonomi khusus itu meliputi 13 bidang pada UU No 3 Tahun 1950 dan kemudian diperluas menjadi 15 bidang pada UU No 19 Tahun 1950, dari urusan pemerintahan umum, sosial, kebudayaan, pendidikan, agraria, hingga masalah transportasi dan lalu lintas.
Pada masa pemerintahan Soeharto, otonomi khusus itu sedikit demi sedikit mulai dihilangkan dengan diterapkannya UU baru tentang pemerintahan daerah. Sayang bahwa selama perubahan UU tentang pemerintahan daerah, Sultan sebagai kepala daerah dan Gubernur DIY tidak lagi dilibatkan. Saat ini keistimewaan itu hanya dikenal dalam satu aspek, yaitu bahwa kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY otomatis akan dipegang Sultan dan Paku Alam.
Landasan Historis Keistimewaan Yogyakarta
Mengapa pemerintah pusat memberikan status daerah istimewa kepada Yogayakarta? Di samping landasan yuridis formal tersebut, status itu juga diberikan dari sisi landasan sosial dan historis. Hal itu dapat pahami dengan merunut kejadian terutama sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga 1950 sebelum status istimewa itu diformalkan dalam bentuk UU.
Sultan HB IX, Paku Alam VIII, dan rakyat Yogyakarta telah menunjukkan konsistensi dan komitmen mereka dalam mendukung berdirinya Republik, terutama selama periode perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Buku-buku sejarah telah mengungkap secara luas tentang kontribusi Sultan-Paku Alam dan rakyat Yogyakarta dalam peristiwa-peristiwa itu.
Sultan secara aktif telah turut menggagas Serangan Oemoem 1 Maret yang telah berhasil membuka mata dunia tentang eksistensi Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Bahkan, Sultan telah mengeluarkan lebih dari 5 juta gulden untuk membiayai sebagian besar pengeluaran pemerintah RI ketika ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, menyediakan akomodasi bagi para menteri dan keluarga mereka. Dukungan serupa juga diberikan rakyat kebanyakan di Yogyakarta dengan ikut serta membatu tentara yang melakukan perlawanan dan gerilya baik di dalam maupun di luar kota.
Konsistensi Sultan HB IX dan rakyat Yogyakarta dalam mendukung dan mempertahankan Republik inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah Soekarno dan Hatta untuk memberikan status istimewa kepada Yogyakarta segera setelah pengakuan kedaulatan dari pemeritah Belanda pada akhir 1949.

Kajian Politis tentang Polemik RUUK
Pertama, kajian ini didasarkan atas kepentingan SBY untuk menyebarluaskan liberalisme ke tanah Jogja. Selama, Sultan masih berdaulat penuh atas Jogja maka SBY akan kesulitan untuk mewujudkan kepentingannya tersebut. Seperti potensi Tambang pasir besi di Kulon progo, pembangunan jalur lintas selatan untuk kepentingan lancarnya arus modal asing, dan memenangkan percaturan politik dengan menyusun konsep demokrasi liberal di jogja.
Kedua, potensi pariwisata jogja yang sangat terkenal ke dunia internasional menjadikan pemerintah pusat untuk tergiur meliberalkan pariwisata di jogja. Seperti rencana pembangunan terowongan bawah tanah di malioboro, pembangunan resort megah di parangtriris, parangkusumo, depok, serta pantai-pantai selatan di yogyakarta[4].
Ketiga, adalah potensi mengkomersialisasikan Pendidikan. Jogja yang terkenal sebagai kota pendidikan membuat SBY melihat ada potensi untuk dikomersilkan. Seperti kasus, portal UGM, dan beberapa kampus-kampus swasta yang menjadikan sebuah lembaga universitas seperti perusahaan dan perputaran modal. Dengan dukungan UU Sisdiknas, BHP (Sudah dicabut Oleh MK), dan beberapa aturan-aturan yang melegalkan komersialisasi pendidikan.
Keempat, Posisi Sultan yang aktif dalam percaturan politik. Sultan HB X yang juga menjadi ketua dewan penasihat Golkar dan Nasional Demokrat, membuat SBY ketakutan akan geliat politik yang dilakukan oleh sultan. Apalagi pada pilpres sebelumnya Sultan HB X mendeklarasikan dirinya menjadi Calon presiden.
Beberapa kajian diataslah yang membuat SBY sebagai presiden untuk menjegal langkah sultan dengan sedikit menghilangkan wewenangya atas jogja dan tentunya akan juga berpengaruh pada geliat politik sultan.

PENETAPAN atau PEMILIHAN ?
Perihal inilah yang paling krusial dalam polemik RUUK Yogyakarta. Keinginan pemerintah untuk melangsukan pemilihan juga berdasarkan UUD 1945, begitu juga Penetepan yang secara konstitusi dilindungi oleh UUD 1945.
Tapi secara pemikiran, idealnya memang harus dilaksanakan pemilihan selagi tidak menghilangkan keistimewaan Jogja. Karena sultan sendiripun tidak bisa dipaksa seumur hidupnya untuk menjadi gubernur. Contoh saja, sewaktu pencalonan presiden oleh sultan. Hal itu membuktikan bahwa ada obsesi politik sultan yang ingin menjadi presiden. Kontradiksinya adalah masyarakat feodal jogja, yang masih sangat mensakralkan posisi sultan sebagai raja yang maha benar. Dan tidak ingin jogja ada percaturan politik secara pemilihan gubernurnya.
Penetapan juga sejatinya menunjukkan monarki jogja menjadi absolut, karena tidak ada mekanisme demokrasi seperti di daerah lain. Sederhana, jika rakyat jogja cinta dengan sultan dan menginginkannya menjadi gubernur pastilah sultan akan menang dalam pemilihan.
Penetapan juga memiliki kekurangan jika sultan bertindak otoriter. Sebagai kasus adalah kasus penggusuran di pantai parangtritis, depok, parangkusumo, dengan landasan mendiami tanah sultan ( dengan logika feodalisme / tuan tanah). Mana ada raja yang tega menggusur rakyatnya, tapi nyatanya ini terjadi. Lantas bagaimana kasus ini bisa diusut jika sultan memegang absolut wewenangnya sebagai raja sekaligus gubernur yogyakarta

TRACK RECORD SULTAN HB X sebagai Gubernur
Sisi Keberhasilan
·         Provinsi Yogyakarta sebagai provinsi terbersih dari korupsi
·         Citra Yogyakarta sebagai tempat yang nyaman dan aman
·         Biaya kehidupan yang relatif murah


Sisi Kegagalan[5]
·         Kasus Penggusuran di pesisir Pantai Selatan
·         Penetepan Upah Minimum Provinsi 2011 sebesar Rp. 808.000,-
·         Mahalnya biaya pendidikan di beberapa universitas negeri dan swasta
·         Beberapa kasus PHK Buruh, legalisasi outsourcing, dll.

SOLUSI
Jalan tengah yang harus ditempuh memang adalah menggelar pemilihan dengan tidak menghilangkan keistimewaan Jogja. Sultan tetap berkuasa menjadi Raja, namun tidak otomatis menjadi Gubernur, karena harus ada legitimasi rakyat dalam menghendaki posisinya.
Jika Tuntutan Referendum dilaksanakan maka ini akan membahayakan NKRI, dan membuat Jogja menjadi negara termiskin seperti kasus Timor Leste, sebab aset-aset pemerintah akan diambil alih atau dimusnahkan dan mengancam kesejahteraan warga atau masyarakat.
Sidang rakyat yang kemarin sempat dilakukan belum dapat dijadikan acuan sebab belum mewakili suara masyarakat yogyakarta sepenuhnya. Sehingga harus ada mekanisme yang tepat. Namun keistimewaan jogja tetap harus dipertahankan agar jogja bisa menepis arus liberalisasi kapitalisme dan neoliberalisme yang dirancang oleh rezim busuk SBY-Budiono.
Hidup Mahasiswa,
NKRI Harga Mati
Yogyakarta tetap ISTIMEWA....

 REFERENSI :
  
Notulensi diskusi RUUK Yogyakarta di Fakultas Hukum UII, 15 Desember 2010
www.kprm-prd.org
Hasil survey LBH Justice For People Yogyakarta pada Seminar Publik, 28 November 2010 Di Asrama IKPM-Sumatera Selatan


[1] RUUK adalah Rancangan UU Keistimewaan
[2] Menurut pendapat Arvie Dwi Purnomo(Peneliti di Mahkamah Konstitusi), pada Diskusi RUUK di Fakultas Hukum UII, 15 Desember 2010
[3] Menurut pendapat Prof Dr Djoko Suryo, Guru Besar pada Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta, pada Tulisannya di suara merdeka online jum’at – 3 desember 2010
[4] Berdasarkan data survey dari LBH Justice for People tentang potensi liberalisasi kapitalisme di yogyakarta
[5] Pada pernyataan sikap Aliansi Rakyat Menggugat dan Aliansi Masyarakat menolak penggusuran, tentang penggusuran dan kasus phk buruh di saphir square dan SPBU gedongtengen, lihat selengkapnya pada www.kprm-prd.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar