PERNYATAAN
SBY DAN POLEMIK YANG TERJADI
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang
kelanjutan pembahasan rancangan UU status keistimewaan Yogyakarta dalam rapat
kabinet beberapa waktu yang lalu mengundang reaksi keras dari masyarakat luas,
khususnya warga DIY.
Reaksi serupa sebenarnya sudah
muncul sejak wacana keistimewaan Yogyakarta hendak diatur kembali dalam UU yang
baru beberapa tahun sebelumnya. Pada intinya masyarakat menganggap masalah
keistimewaan Yogyakarta sudah final dan tidak perlu dibicarakan kembali. Upaya
penghapusan terhadap keistimewaan itu dianggap sebagai pengingkaran dan
pengkhianatan terhadap sejarah, khususnya peran Sultan HB IX selama masa-masa
awal berdirinya Republik ini.
Berdasarkan kajian komunikasi massa,
pernyataan presiden SBY ini adalah suatu siasat dalam menyelesaikan RUUK[1]
Yogyakarta yang sebelumnya belum mampu diselesaikan oleh pemerintah dan
parlemen. Apalagi setelah disahkannya rancangan RUUK Daerah Istimewa Aceh dan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ini menjadi sebuah pertanyaan bagi
warga jogja yang ingin memperoleh status konstitusional tentang pemilihan
kepala daerah yang selama ini berjalan dengan penentapan. Namun nyatanya,
payung hukum yang ditunggu ini juga belum selesai. Sehingga, SBY sebagai
presiden melempar isu tentang pemilhan untuk gubernur yogyakarta.
DEMOKRASI
VS MONARKI
Demokrasi vs
Monarki Perdebatan negara demokrasi versus negara monarki menyeruak ke publik
usai pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) pada
rapat terbatas kabinet, Jumat (26/11). Presiden menyatakan bahwa Indonesia pada
hakikatnya adalah negara hukum dan demokrasi di mana nilai-nilai demokrasi
tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang
bisa bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi. Menarik
pernyataan Presiden berkaitan dengan RUUK DIY ini, pertama, menyiratkan
keinginan pemerintah untuk menyelesaikan RUUK yang selama ini
berlarut-larut. Kedua, "teguran" Presiden kepada Kepala Pemerintah
Provinsi DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X,
membuka celah demokrasi konstitusional yang kontekstual yang dinginkan publik
dewasa ini. Meminjam istilah sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola, Pemerintah DIY
mengalami "kekagokan" dalam menjalankan demokrasi . Di satu sisi, DIY
merupakan daerah istimewa yang menempatkan keistimewaannya pada Keraton
Yogyakarta Hadiningrat, di mana raja sebagai kepala kerajaan sebagaimana
kekuasaan monarki. Di sisi lain, DIY sebagai wilayah administratif yang
dipimpin oleh gubernur. "Kekagokan" muncul ketika raja sebagai
pemimpin tradisional kerajaan[2].
Makna demokrasi yang dilontarkan SBY
tidak dapat dipahami oleh warga jogja, karna faktor sosial historis. Apalagi
SBY sendiri adalah sosok yang anti demokrasi mengingat demokrasi yang dianut
adalah demokrasi liberal ala Amerika. Dan lebih cenderung terlihat sebagai demokrasi
semu. Faktanya adalah, pada Era Rezim SBY banyak kebijakan yang memasung
hak-hak demokrasi seperti adanya PROTAP (Prosedur Ketetapan) untuk kepolisian,
RUU Intelijen, UU Sisdiknas dan BHP ( untuk kalangan akademis), dan kasus Bumi
hangus ditanah papua. Pernyataan SBY tentang monarki Jogja dengan landasan
demokrasi justru menjadi kontradiktif, ketika persepsi warga / masyarakat
tentang SBY sudah seperti itu.
Disatu sisi Monarki Jogja memang
juga tidak sepenuhnya tepat, kenapa karena menimbulkan kecemburuan sosial
dengan bekas-bekas kerajaan di nusantara yang saat ini tidak mempunyai
kekuasaan penuh, seperti Kesunanan Surakarta, Kesultanan Ternate, Kerajaan di
Kepulauan Riau, dan lain-lain. Walaupun secara konstitusi ada terlihat sikap
untuk menghormati Keistimewaan Yogyakarta.
Landasan
Yuridis Keistimewaan Yogyakarta[3]
Landasan
keistimewaan legal/yuridis artinya bahwa keistimewaan yang dimiliki oleh DIY
berbasis pengakuan legal/yuridis/hukum dari negara RI, berdasarkan sejarah,
budaya, dan hak asal-usul menurut UUD 1945.
Pengakuan hukum itu antara lain menegaskan bahwa DIY diakui secara sah sebagai daerah yang berkedudukan istimewa dan memiliki kewenangan khusus untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Pengakuan hukum itu antara lain menegaskan bahwa DIY diakui secara sah sebagai daerah yang berkedudukan istimewa dan memiliki kewenangan khusus untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Pengakuan hukum itu
tercantum antara lain dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; UU Nomor
3 Tahun 1950; UU Nomor 9 Tahun 1955; dan UU Nomor 55 Tahun 1974.
Pengertian landasan yuridis yang sama ini sesungguhnya juga berlaku pada
kedudukan hukum keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Aceh,
kekhususan Jakarta sebagai ibu kota negara, serta kekhususan Pemerintah
Provinsi Papua.
Jika dilihat dari isi UU itu, jelas bahwa keistimewaan
itu dimaknai pemerintah pusat memberikan dalam bentuk otonomi khusus, walaupun
istilah itu tidak digunakan dalam UU itu. Otonomi khusus itu meliputi 13 bidang
pada UU No 3 Tahun 1950 dan kemudian diperluas menjadi 15 bidang pada UU No 19
Tahun 1950, dari urusan pemerintahan umum, sosial, kebudayaan, pendidikan,
agraria, hingga masalah transportasi dan lalu lintas.
Pada masa pemerintahan Soeharto, otonomi khusus itu
sedikit demi sedikit mulai dihilangkan dengan diterapkannya UU baru tentang
pemerintahan daerah. Sayang bahwa selama perubahan UU tentang pemerintahan
daerah, Sultan sebagai kepala daerah dan Gubernur DIY tidak lagi dilibatkan.
Saat ini keistimewaan itu hanya dikenal dalam satu aspek, yaitu bahwa kedudukan
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY otomatis akan dipegang Sultan dan Paku Alam.
Landasan
Historis Keistimewaan Yogyakarta
Mengapa pemerintah pusat memberikan status daerah
istimewa kepada Yogayakarta? Di samping landasan yuridis formal tersebut,
status itu juga diberikan dari sisi landasan sosial dan historis. Hal itu dapat
pahami dengan merunut kejadian terutama sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 hingga 1950 sebelum status istimewa itu diformalkan dalam bentuk UU.
Sultan HB IX, Paku Alam VIII, dan rakyat Yogyakarta
telah menunjukkan konsistensi dan komitmen mereka dalam mendukung berdirinya
Republik, terutama selama periode perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia
1945-1949. Buku-buku sejarah telah mengungkap secara luas tentang kontribusi
Sultan-Paku Alam dan rakyat Yogyakarta dalam peristiwa-peristiwa itu.
Sultan secara aktif telah turut menggagas Serangan
Oemoem 1 Maret yang telah berhasil membuka mata dunia tentang eksistensi
Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Bahkan, Sultan telah
mengeluarkan lebih dari 5 juta gulden untuk membiayai sebagian besar
pengeluaran pemerintah RI ketika ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, menyediakan
akomodasi bagi para menteri dan keluarga mereka. Dukungan serupa juga diberikan
rakyat kebanyakan di Yogyakarta dengan ikut serta membatu tentara yang
melakukan perlawanan dan gerilya baik di dalam maupun di luar kota.
Konsistensi Sultan HB IX dan rakyat
Yogyakarta dalam mendukung dan mempertahankan Republik inilah yang menjadi
pertimbangan pemerintah Soekarno dan Hatta untuk memberikan status istimewa
kepada Yogyakarta segera setelah pengakuan kedaulatan dari pemeritah Belanda
pada akhir 1949.
Kajian
Politis tentang Polemik RUUK
Pertama, kajian ini didasarkan atas
kepentingan SBY untuk menyebarluaskan liberalisme ke tanah Jogja. Selama,
Sultan masih berdaulat penuh atas Jogja maka SBY akan kesulitan untuk
mewujudkan kepentingannya tersebut. Seperti potensi Tambang pasir besi di Kulon
progo, pembangunan jalur lintas selatan untuk kepentingan lancarnya arus modal
asing, dan memenangkan percaturan politik dengan menyusun konsep demokrasi
liberal di jogja.
Kedua, potensi pariwisata jogja yang
sangat terkenal ke dunia internasional menjadikan pemerintah pusat untuk
tergiur meliberalkan pariwisata di jogja. Seperti rencana pembangunan
terowongan bawah tanah di malioboro, pembangunan resort megah di parangtriris,
parangkusumo, depok, serta pantai-pantai selatan di yogyakarta[4].
Ketiga, adalah potensi
mengkomersialisasikan Pendidikan. Jogja yang terkenal sebagai kota pendidikan
membuat SBY melihat ada potensi untuk dikomersilkan. Seperti kasus, portal UGM,
dan beberapa kampus-kampus swasta yang menjadikan sebuah lembaga universitas
seperti perusahaan dan perputaran modal. Dengan dukungan UU Sisdiknas, BHP
(Sudah dicabut Oleh MK), dan beberapa aturan-aturan yang melegalkan
komersialisasi pendidikan.
Keempat, Posisi Sultan yang aktif
dalam percaturan politik. Sultan HB X yang juga menjadi ketua dewan penasihat
Golkar dan Nasional Demokrat, membuat SBY ketakutan akan geliat politik yang
dilakukan oleh sultan. Apalagi pada pilpres sebelumnya Sultan HB X
mendeklarasikan dirinya menjadi Calon presiden.
Beberapa kajian diataslah yang
membuat SBY sebagai presiden untuk menjegal langkah sultan dengan sedikit
menghilangkan wewenangya atas jogja dan tentunya akan juga berpengaruh pada
geliat politik sultan.
PENETAPAN
atau PEMILIHAN ?
Perihal inilah yang paling krusial dalam
polemik RUUK Yogyakarta. Keinginan pemerintah untuk melangsukan pemilihan juga
berdasarkan UUD 1945, begitu juga Penetepan yang secara konstitusi dilindungi
oleh UUD 1945.
Tapi secara pemikiran, idealnya
memang harus dilaksanakan pemilihan selagi tidak menghilangkan keistimewaan
Jogja. Karena sultan sendiripun tidak bisa dipaksa seumur hidupnya untuk
menjadi gubernur. Contoh saja, sewaktu pencalonan presiden oleh sultan. Hal itu
membuktikan bahwa ada obsesi politik sultan yang ingin menjadi presiden.
Kontradiksinya adalah masyarakat feodal jogja, yang masih sangat mensakralkan
posisi sultan sebagai raja yang maha benar. Dan tidak ingin jogja ada
percaturan politik secara pemilihan gubernurnya.
Penetapan juga sejatinya menunjukkan
monarki jogja menjadi absolut, karena tidak ada mekanisme demokrasi seperti di
daerah lain. Sederhana, jika rakyat jogja cinta dengan sultan dan
menginginkannya menjadi gubernur pastilah sultan akan menang dalam pemilihan.
Penetapan juga memiliki kekurangan
jika sultan bertindak otoriter. Sebagai kasus adalah kasus penggusuran di
pantai parangtritis, depok, parangkusumo, dengan landasan mendiami tanah sultan
( dengan logika feodalisme / tuan tanah). Mana ada raja yang tega menggusur
rakyatnya, tapi nyatanya ini terjadi. Lantas bagaimana kasus ini bisa diusut
jika sultan memegang absolut wewenangnya sebagai raja sekaligus gubernur
yogyakarta
TRACK RECORD
SULTAN HB X sebagai Gubernur
Sisi
Keberhasilan
·
Provinsi Yogyakarta sebagai provinsi terbersih dari
korupsi
·
Citra Yogyakarta sebagai tempat yang nyaman dan aman
·
Biaya kehidupan yang relatif murah
Sisi
Kegagalan[5]
·
Kasus Penggusuran di pesisir Pantai Selatan
·
Penetepan Upah Minimum Provinsi 2011 sebesar Rp.
808.000,-
·
Mahalnya biaya pendidikan di beberapa universitas
negeri dan swasta
·
Beberapa kasus PHK Buruh, legalisasi outsourcing, dll.
SOLUSI
Jalan tengah yang harus ditempuh
memang adalah menggelar pemilihan dengan tidak menghilangkan keistimewaan
Jogja. Sultan tetap berkuasa menjadi Raja, namun tidak otomatis menjadi
Gubernur, karena harus ada legitimasi rakyat dalam menghendaki posisinya.
Jika Tuntutan Referendum
dilaksanakan maka ini akan membahayakan NKRI, dan membuat Jogja menjadi negara
termiskin seperti kasus Timor Leste, sebab aset-aset pemerintah akan diambil
alih atau dimusnahkan dan mengancam kesejahteraan warga atau masyarakat.
Sidang rakyat yang kemarin sempat
dilakukan belum dapat dijadikan acuan sebab belum mewakili suara masyarakat
yogyakarta sepenuhnya. Sehingga harus ada mekanisme yang tepat. Namun
keistimewaan jogja tetap harus dipertahankan agar jogja bisa menepis arus
liberalisasi kapitalisme dan neoliberalisme yang dirancang oleh rezim busuk
SBY-Budiono.
Hidup Mahasiswa,
NKRI Harga Mati
Yogyakarta tetap ISTIMEWA....
REFERENSI :
Notulensi
diskusi RUUK Yogyakarta di Fakultas Hukum UII, 15 Desember 2010
www.kprm-prd.org
Hasil survey
LBH Justice For People Yogyakarta pada Seminar Publik, 28 November 2010 Di
Asrama IKPM-Sumatera Selatan
[1] RUUK
adalah Rancangan UU Keistimewaan
[2] Menurut pendapat Arvie Dwi
Purnomo(Peneliti di Mahkamah Konstitusi), pada Diskusi RUUK di Fakultas Hukum
UII, 15 Desember 2010
[3] Menurut
pendapat Prof Dr Djoko Suryo, Guru
Besar pada Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta, pada
Tulisannya di suara merdeka online jum’at – 3 desember 2010
[4] Berdasarkan data survey dari LBH Justice for
People tentang potensi liberalisasi kapitalisme di yogyakarta
[5] Pada
pernyataan sikap Aliansi Rakyat Menggugat dan Aliansi Masyarakat menolak
penggusuran, tentang penggusuran dan kasus phk buruh di saphir square dan SPBU
gedongtengen, lihat selengkapnya pada www.kprm-prd.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar