Source: http://caramembuat524.blogspot.com/2014/01/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html

Sabtu, 05 Mei 2012

Sejarah Fotografi Jurnalistik



Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu "Fos" : Cahaya dan "Grafo" : Melukis/menulis.) adalah proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Tanpa cahaya, tidak ada foto yang bisa dibuat.
Prinsip fotografi adalah memokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghailkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa).
Untuk menghasilkan intensitas cahaya yang tepat untuk menghasilkan gambar, digunakan bantuan alat ukur berupa lightmeter. Setelah mendapat ukuran pencahayaan yang tepat, seorang fotografer bisa mengatur intensitas cahaya tersebut dengan mengubah kombinasi ISO/ASA (ISO Speed), diafragma (Aperture), dan kecepatan rana (speed). Kombinasi antara ISO, Diafragma & Speed disebut sebagai pajanan (exposure).
Di era fotografi digital dimana film tidak digunakan, maka kecepatan film yang semula digunakan berkembang menjadi Digital ISO.

Sejarah Fotografi Jurnalistik
Fotografi jurnalistik muncul dan berkembang di dunia sudah lama sekali, tetapi lain halnya dengan di Indonesia, foto pertama yang di buat oleh seorang warga negara Indonesia terjadi pada detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan. Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya sendiri Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan republik Indonesia dengan kamera Leica, dan pada saat itulah pada pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 foto jurnalis Indonesia lahir.
Batasan sukses atau tidaknya sebuah foto jurnalistik tergantung pada persiapan yang matang dan kerja keras bukan pada keberuntungan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada foto yang merupakan hasil dari "being in the right place at the right time" . Tetapi seorang jurnalis profesional adalah seorang jurnalis yang melakukan riset terhadap subjek,mampu menetukan peristiwa potensial dan foto seperti apa yang akan mendukungnya (antisipasi). Itu semua sangat penting mengingat suatu moment yang baik hanya berlangsung sekian detik dan mustahil untuk diulang kembali.
Etika, empati, nurani merupakan hal yang amat penting dan sebuah nilai lebih yang ada dalam diri jurnalis foto.
Seorang jurnalis foto harus bisa menggambarkan kejadian sesungguhnya lewat karya fotonya, intinya foto yang dihasilkan harus bisa bercerita sehingga tanpa harus menjelaskan orang sudah mengerti isi dari foto tersebut dan tanpa memanipulasi foto tersebut.
Seluk-beluk fotografi dan perkembangannya
Manusia sejak lama memang sudah lama tertarik pada dunia gambar-menggambar,hal itu terbukti dari penemuan objek gambar di gua-gua pada masa purba, seperti yang pernah ditemukan di Altamira, Spanyol dan Cromagnon, Perancis.
Pada perkembangannya, manusia muncul keinginan untuk mem-visualisasi-kan apa yang mereka lihat ke dalam bentuk-bentuk benda yang menjadi cikal bakal pemakaian Pictogram (Tulisan yang berbentuk gambar) seperti yang ditemukan di Mesir purba (Hieroghlyp), Sumeria (paku), dan lain-lainnya.
Adapun perkembangan fotografi tidak terlepas penemuan penting Ibnu Haitam dengan kamera Obskura-nya. Dengan penemuan yang berbentuk ruangan gelap dan di lensa sebagai tempat keluarnya cahaya, maka dunia "jepret-menjepret" pun dimulai.
Zaman pun berlalu, penemuan baru pun ditemukan. Kali ini sebuah kaca dijadikan alat untuk menangkap cahaya yang sebelumnya telah dilapisi dengan zat kimia tertentu. Alat ini merupakan cikal bakal kamera modern. Setelah penemuan yang penting itu, pers pun akhirnya memakai penemuan tersebut untuk proses fotografinya. Kira-kira pada abad ke-19 ditetapkan sebagai abad perkembangan fotografi (History of Photography, Alma Daveport, 1991). Untuk pemakaian pertama, yaitu pada tahun 1653. Harian Holladsche Mercurius memuat gambar penobatan Cromwell menjadi raja Inggris Raya.
Sebagai gambaran, bahwa dengan adanya pemakaian kamera ini, media-media pada zaman dahulu lebih banyak diminati dan memacu meningkatnya jumlah oplah yang tercetak. Terbukti pada tahun 1914, Time mampu mencetak 200.000 oplah, dan bahkan pada tahun 1925, Illustrated Daily News mencetak lebih dari 1.000.000 oplah!
Betapa besar pengaruhnya di media, sehingga tidak heran jika belakangan ini timbul ide untuk mengapresiasikan karya tersebut dengan penghargaan tingkat internasional, yang terkenal dengan Pulitzer Award. Pada era sekarang pun, fotografi jurnalistik sudah dikategorikan dalam sebuah seni.

Fotografi Jurnalistik
Tidak terlalu sulit sebenarnya untuk dapat memahami apa itu fotografi jurnalistik. Karena hari ini kegiatan fotografi bukan lagi sebuah kegiatan yang dilakukan beberapa orang saja. Perkembangan tekhnologi mampu membuat fotografi semakin mudah dipelajari dan dipergunakan. Mulai dari hand phone berkamera sampai pada kamera digital SLR (Single Lens Reflex) dibuat untuk semakin mudah digunakan.
Semakin familiarnya kita dengan fotografi, membuat kita sedikit banyak mengerti tentang, bilamana kita harus menjepret. Ya, terkadang kita merasa perlu menjepretkan kamera yang ada di tangan kita, ketika berada dikondisi atau moment yang kita rasa penting untuk diabadikan. Entah itu saat kita berpetualang bersama sahabat, pacar, saat perpisahan, pernikahan, sampai pada ketika diri kita merasa paling tampan atau cantik tidak luput dari jepretan kamera.
Begitupula dengan fotografi jurnalistik, menjepret suatu moment yang penting untuk disampaikan pada khalayak umum. Tidak jauh berbeda dengan apa yang sering kita jepret biasanya, cuman yang membedakan, kalau yang kita jepret biasanya lebih untuk kepentingan individu dan bebrapa orang saja sedangkan foto jurnalistik penting untuk di ketahui khalayak umum. Persis! Seperti apa yang telah diungkapkan Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka di dunia Magnum, bahwa fotografi jurnalistik berkisah dengan gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung saat citra tersebut mengungkapkan sebuah cerita.
Dari sini jelaslah bahwa fotografi jurnalistik tidak hanya sekedar foto yang asal jepret, harus ada pesan didalamnya. Seperti apa yang dikatakan Wilson Hicks, seorang editor majalah life, bahwa foto jurnalistik adalah gabungan antara kata dan gambar. Maka itu sebuah foto juranlistik tidak mampu berdiri sendiri. Harus ada teks/caption yang mendampinginya. Sederhananya begini, kalau tulisan berita memuat 5w+1h bukankah berarti foto jurnalistik juga seperti itu? Lalu mungkinkah sebuah foto mampu mengcover 5w+1h? Tentu saja tidak mungkin! Oleh karenanya keberadaan teks/caption perlu diadakan untuk lebih memudahkan pembaca dalam memahami foto yang ditampilkan.
Fotografi jurnalistik jelas berbeda dengan bidang fotografi lainnya. Ada beberapa elemen yang harus dipenuhi dalam sebuah foto untuk bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.
Foto jurnalistik adalah bagian dari dunia jurnalistik yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Foto jurnalistik bukan sekadar jeprat-jepret semata. Ada etika yang selalu dijunjung tinggi, ada pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan batasan yang tidak boleh dilanggar, dan ada momentum yang harus ditampilkan dalam sebuah frame. Hal terpenting dari fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang selalu didasarkan pada fakta obyektif semata.
Para pewartanya harus selalu berada di garis depan. Mereka pun selalu siaga di garis belakang dalam mewartakan sebuah berita kepada masyarakat luas. Pewarta foto juga dituntut sigap dalam menangkap setiap "momentum" dari sebuah peristiwa, membingkainya dengan dalam sebuah gambar yang berbeda dari apa yang dilihat oleh khalayak awam. Pun yang terpenting, mereka harus mengerti dan paham atas peristiwa yang sedang diabadikannya. 
Fotografi jurnalistik muncul dan berkembang di dunia sudah lama sekali, tetapi lain halnya dengan di Indonesia, foto pertama yang di buat oleh seorang warga negara Indonesia terjadi pada detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan. Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya sendiri Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan republik Indonesia dengan kamera Leica, dan pada saat itulah pada pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 foto jurnalis Indonesia lahir.
Fotografi Jurnalistik Definisi fotografi dapat diketahui dengan menyimpulkan ciri-ciri yang melekat pada foto yang dihasilkan.
Ciri-ciri foto jurnalis:
1.Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri.
2.Melengkapi suatu berita/artikel 
3.Dimuat dalam suatu media.
Sebuah foto dapat berdiri sendiri, tapi jurnalistik tanpa foto rasanya kurang lengkap, mengapa foto begitu penting ?, karena foto merupakan salah satu media visual untuk
merekam/mengabadikan atau menceritakan suatu peristiwa.
Semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah bagian dari foto dokumentasi (Kartono Ryadi, Editor foto harian Kompas). Perbedaan foto jurnalis adalah terletak pada pilihan, membuat foto jurnalis berarti memilih foto mana yang cocok. ( ex: di dalam peristiwa pernikahan, dokumentasi berarti mengambil/memfoto seluruh peristiwa dari mulai penerimaan tamu sampai selesai, tapi seorang wartawan foto hanya mengambil yang menarik, apakah public figure atau saat pemotongan tumpeng saat tumpengnya jatuh, khan menarik) hal lain yang membedakan antara foto dokumentasi dengan foto jurnalis hanya terbatas pada apakah foto itu dipublikasikan (media massa) atau tidak.
Nilai suatu foto ditentukan oleh beberapa unsur:
1. Aktualitas
2. Berhubungan dengan berita.
3. Kejadian luar biasa.
4. Promosi.
5. Kepentingan.
6. Human Interest.
7. Universal.
Foto jurnalistik terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Spot news : Foto-foto insidential/ tanpa perencanaan. (ex: foto bencana, kerusuhan, dll).
2.General news : Foto yang terencana (ex : foto SU MPR, foto olahraga).
3.Foto Feature : Foto untuk mendukung suatu artikel.
4.Esai Foto : Kumpulan beberapa foto yang dapat bercerita.
Foto yang sukses
Batasan sukses atau tidaknya sebuah foto jurnalistik tergantung pada persiapan yang matang dan kerja keras bukan pada keberuntungan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada foto yang merupakan hasil dari being in the right place at the right time. Tetapi seorang jurnalis profesional adalah seorang jurnalis yang melakukan riset terhadap subjek,mampu menetukan peristiwa potensial dan foto seperti apa yang akan mendukungnya (antisipasi). Itu semua sangat penting mengingat suatu moment yang baik hanya berlangsung sekian detik dan mustahil untuk diulang kembali. 
Etika, empati, nurani merupakan hal yang amat penting dan sebuah nilai lebih yang ada dalam diri jurnalis foto.
Seorang jurnalis foto harus bisa menggambarkan kejadian sesungguhnya lewat karya fotonya, intinya foto yang dihasilkan harus bisa bercerita sehingga tanpa harus menjelaskan orang sudah mengerti isi dari foto tersebut dan tanpa memanipulasi foto tersebut.
Dalam ilmu fotografi dikenal berbagai cabang fotografi yaitu fotografi amatir, fotografi professional, fotografi komersial dan fotografi seni.Fotografi Jurnalistik merupakan salah satu cabang fotografi yang termasuk dalam bidang professional, disamping ada fotografi  ilmu pengetahuan.
Sebuah karya foto dikatakan memiliki nilai jurnalistik jika memenuhi syarat jurnalistik yaitu memenuhi kreteria 5 W dan I H (What, Who, Why, When, Where dan How).
Foto berita/ subyek
Sasaran foto di dalam dunia fotografi  jurnalistik senantisa disebut subyek , bukan obyek.Disebut subyek karena apapun yang ada di depan mata kita pada hakekatnya merupakan bagian dari diri kita. Kesadaran ini bakal menggiring kita untuk menghayati sikap santun kemanusiaan, suatu sikap olah rasa dan olah pikir.Dengan pemahaman ini, seorang wartawan meliputaneka kejadian dan peristiwa dan mencoba menangkap drama atau suasana hati yang ceria yang tengah dialami manusia. Ini berarti secara langsung maupun tak langsung, tiap kejadian atau peristiwa apapun yang kita hadapi memang ada kaitannya dengan nasib kita juga.
Rincian subyek berita
Subyek berita yang juga lumrah menjadi garapan kerja fotografi di dunia pers terdiri dari tokoh, tempat peristiwa atau tokoh di suatu tempat pada suatu peristiwa , secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut;
Tokoh.
Yang dimaksud dengan tokoh untuk memberi  materi berita bukan melulu seseorang dengan status social yang tinggi, melainkan manusia pada umumnya.Jadi, kalau yang dibahas adalah mengenai seorang petani atau buruh kasar, maka untuk kepentingan foto adalah pak Tania tau pak Buruh sebagai tokohnya.
Tempat.
Adalah area atau setumpuk tanah, sebuah bangunan , lingkungan perumahan, sebuah desa atau kota dan sebagainya.
Peristiwa .
Aneka ragam subyek yang bentuknya tidak bakal ada duanya , tidak akan terjadi dua kali dalam bentuk serupa.

Gabungan.
Tiga jenis subyek diatas sering terpadu, baik tokohnya Mashur, atau tempatnya memang terkenal , atau peristiwa itu sendiri melibatkan tokoh dan tempat terkenal.Dari tiap subyek yang memang sudah
dianggap layak berita itu kemudian diberi tempat di halaman Koran atau majalah.Ada jatah halaman satu atau dua dan seterusnya ditentukan menurut kategori berita.
Kategori Foto berita.
Seperti disebut dimuka, jatah tempat sebuah foto di media cetak ditentukan berdasarkan bobot kandungan beritanya.Hal ini dibagi menurut tertib umumnya di dunia pers yang dikenal dengan istilah kategorisasi. Berikut ini sebuah contoh kategorissi secara umum.
Berita Spot
Lazim juga disebut hot news (berita hangat) atau hard news (berita keras). Berita yang termasuk dalam kategori ini mencakup ankea peristiwa mendadak yang melukiskan sejarah masa kini dan berlangsung sepintas.Misalnya peristiwa huru-hara, bencana alam, kecelakaan dan berbagai kejadian alam serta manusia, yang menuntut kesigapan fotografer untuk menangkapnya dalam hitungan detiuk.Kunci sukses untuk liputan berita dalam kategori ini seorang wartawan foto harus berada tepat di pusat peristiwa pada saat yang tepat, sebab subyek foto jenis ini tidak pernah bisa  disuruh menunggu kehadiran juru foto.
Berita Feature
Ini masih berkaitan dengan sebuah berita spot, tetapi berbeda dalam segi penggarapannya.satu contoh misalnya rumah terbakar, untuk sajian berita spot sudah dianggap layak jika sudah melukiskan kobaran api atau asap hitam yang membubung ke langit.Namun dalam pola kategori features, pembaca diajak merasakan emosi para korban, denagn menampilkan wajah manusia sementara situasi morat-marit sebagai latar belakang.Foto-foto dalam kategori ini bukan sekedar jepretan sepintas (snapshot), tetapi ada upaya fotografer untuk memilih sudut pandang yang khas.
Berita olah raga
Perbendaharaan pengetahuan untuk tiap cabang permainan amat menentukan sukses tidaknya membuat foto pada kategori ini.Kreatifitas sang fotografer selalu diuji oleh keadaan atau peristiwanya.Cara menangkap momen penting disini juga patut disimak, apakah mampu member sensai tersendiri ataukah hanya mengulang peristiwa yang pernah ada.Orisinalitas sudat pandang didalam fotokategori ini layak dihargai sama pentingnya dengan bahan liputannya itu sendiri.

Berita Potret
Pengertian potret (Potrait) dalam foto jurnalistik bukan melulu berupa close Up yang mampu menampilkan karakteristik dan suasana hati sang subyek terkenal.Paling utama adalah keunggulan pengungkapan kreatif dari watak seorang tokoh, hingga seakan-akan merupakan sebuah biografi visual.Hal ini dapat disajikan dalam bentuk Close Up atau ditengah suatu situasi atau kegiatan tertentu.
Berita Fesyen (Fashion)
Dalam kajian berita Fashion, ada dua kegiatan yang harus diliput oleh fotografer yaitu kegiatan pentas dan kegiatan studio. Kedua bentuk kegiatan itu penanganan fotografisnya adalah serba khas.Kegiatan pentas atau panggung menuntut keunggulan fotografer untuk mengabadikan dalam tempo terbatas tanpa dipengaruhi unsure-unsur lain.Sedangkan kegiatan studio, seorang fotografer harus terlibat kerja sama dengan pentas rambut, perias wajah atau piñata artistic serta pihak lain yang menunjang suksesnya penyajian subyek foto tersebut.
Berita Pariwisata
Pemberitaan Foto dari kategori ini adalah mengangkat kegiatan di sekitar obyek wisata. Pemberitaan semacam ini yang terpenting adalah mengandung nilai informasi bagi public awam, baik mengenai tempat dengan suasana yang unik maupun mengenai bentuk adat serta budaya local yang menambah pengetahuan pembaca di daerah lain.
Berita Celah Kehidupan
Berita dalam kategori ini boleh dikatakan lumrah meskipun tanpa terikat syarat unsure kehangatan (hot news). Yang diutamakan pada foto dalam kategori ini adalah segi keunikan subyeknya.Di negeri kita tercinta ini sasaran fotografis mengenai subyek semacam ini boleh dibilang melimpah. Selalu ada bahannya, asal saja sang fotografer jeli mengamatinya sehingga nantinya akan tercipta foto yang amat menarik.


Manipulasi foto, Hal Tabu dalam Fotografi Jurnalistik
Seorang wartawan foto bertugas untuk menghasilkan foto yang bercerita. Foto bercerita yang dimaksud adalah foto yang bisa menyampaikan pesan yang tersirat dalam foto tersebut. Wartawan foto memang dihadapkan pada sebuah moment yang dinamis. Walau demikian, dalam menghasilkan karya tersebut, seorang wartawan foto dilarang melakukan manipulasi terhadap hasil fotonya. Karena hal itu sama saja dengan tidak menampilakan cerita sesungguhnya dan bisa termasuk perbuatan membohongi publik. Contoh manipulasi foto yakni dengan menambahkan objek dalam yang dibuatnya agar foto tersebut tampak bercerita. Oleh karena itu upaya memanipulasi dalam foto  adalah hal yang tabu dalam fotografi jurnalistik.
Demikian diungkapkan oleh Fergananta Indra, Jurnalis Foto.
Untuk mendapatkan hasil foto yang memuaskan, wartawan foto harus menguasai alat tempurnya yakni kamera. Jangan sampai ketika bertugas masih dibingungkan oleh anatomi kamera. “Kamera bagi seorang wartawan foto itu laksana Handphone, kita bahkan tidak perllu melihat layar ketika mengetik SMS, karena kita sudah tahu detail HP tersebut,”urainya.
Menurut Fergananta, kamera tidak harus selalu Digital Single-Lens Reflex (DSLR), yang penting adalah wartawan tersebut menguasai kompisisi objeknya. Fergananta juga melihat bahwa penguasaan tehnik merupakan hal penting dalam menghasilkan karya. Persentase pengaruh penguasaan tehnik dalam menghasilkan foto yang bagus bisa mencapai 50%-60 %. Namun menurutnya ada satu hal yang juga sangat penting di miliki oleh seorang wartawan foto yakni Sense of News. Wartawan foto tersebut harus memiliki insting yang kuat untuk melihat sisi lain dari sebuah moment.  “Wartawan foto tersebut harus punya naluri bagaimana menciptakan foto yang bercerita tadi,”urainya.
Namun penguasaan tehnik fotografi dan sense of news juga  harus di dukung dengan kemampuan lobi yang kuat. Biasanya  wartawan foto harus melobi objek  untuk di foto. Kadang di Instansi tertentu ada larangan untuk memoto. Hal ini terkait dengan kode jurnalistik, wartawan foto harus mematuhi peraturan tempat dia sedang bertugas. “Jadi, jangan memotret jika dilarang memotret,”ungkapnya.
Menurut Fergananta, foto jurnalistik bisa mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengubah dunia. Ia mencontohkan salah satu foto hasil karya seorang wartawan foto salah satu media cetak di Indonesia, foto seorang gadis kecil yang  terkapar pada saat demonstrasi reformasi 1998. Pada saat itu, foto tersebut dapat menumbuhkan semangat para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya untuk melewan rezim orde baru pada saat itu. Foto jurnalistik juga mampu memberikan pengaruh pada proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar