KEBIJAKAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA (ACFTA):
MENCARI PELAJARAN DARI SEBUAH KEBIJAKAN
Pembuka
Studi ini akan mereview kebijakan perdagangan bebas
Asean-China (ACFTA) di Indonesia. Review kebijakan ini digunakan untuk
mencermati kebijakan secara menyeluruh. Review kebijakan tidak memfokuskan pada
langkah-langkah spesifik, melainkan fondasi dan orientasi dari kebijakan yang
diusung suatu pemerintahan. Review kebijakan dalam konteks ini dipahami sebagai
evaluasi politis (political evaluation), dimana reviewer berusaha mengkaitkan kebijakan-kebijakan yang
dibuat dengan harapan publik. Selain itu, review kebijakan merupakan sarana
yang fungsional bagi pengambil kebijakan untuk melihat kembali keseluruhan
visi, fondasi, dan orientasi dari kebijakan yang telah diambil [1]. Dari kajian
ini nantinya bisa dihasilkan berbagai bentuk pelajaran dari praktek dilapangan
(lesson drawing)[2] Review kebijakan cocok diterapkan dalam menganalisis
kebijakan perdagangan bebas Asean-China di Indonesia, karena penulis menyadari
bahwa perundingan ACFTA, sudah dirunding kan sejak tahun 2002 dan telah melalui
beberapa kali pergantian regim di Indonesia. Sehingga dalam menyikapi
perundingan ACFTA ini pun, berbeda-beda sesuai dengan corak regime yang
memimpin di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan di atas, kajian ini berfokus
pada sepak terjang (kebijakan) para presiden kelima negara anggota ASEAN dan
China dalam merumuskan kebijakan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) dan
memetakan secara kritis apa yang telah terjadi dan dilakukan. Dengan cara itu,
di ujung akhir kajian ini bisa disodorkan sejumlah rekomendasi, termasuk di dalamnya
kritik konstruktif yang dibangun diatas pemahaman atas perjalanan panjang
negara-negara ASEAN. Berdasarkan fokus kajian di atas, maka timbullah
pertanyaan reflektif terkait kebijakan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA)
tersebut, yaitu apakah visi dan misi dari kebijakan ACFTA di Indonesia telah
tercapai? Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kebijakan tersebut? Apa yang
harus dilanjutkan dari kebijakan tersebut dan apa saja yang harus dikaji ulang
dalam kebijakan tersebut?
Kebijakan perdagangan bebas Asean-China merupakan
suatu kebijakan yang digagas pemerintah Indonesia berdasarkan pada kesepakatan
bersama semua anggota Asean guna menarik investasi dan memajukan sektor
perdagangan di negara-negara Asean. Kebijakan perdagangan bebas ini, dirumuskan
oleh negara-negara anggota Asean yang meliputi Indonesia, Thailand, Malaysia,
Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam dengan China terkait dengan isu
globalisasi. Isu globalisasi yang diusung dalam perumusan kebijakan perdagangan
bebas inilah yang kemudian menjadikan disepakatinya perjanjian ACFTA oleh semua
anggota Asean. Dengan disepakatinya perjanjian tersebut, maka Pemerintah
Indonesia meratifikasi UU tentang perjanjian ACFTA yang kemudian disepakati
oleh Presiden menjadi sebuah kebijakan perdagangan bebas Asean-China yang harus
dijalankan oleh masyarakat Indonesia mulai tahun 2010. Adapun alasan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan kebijakan perdagangan bebas Asean-China
yaitu: 1) Untuk menurunkan dan menghapus tarif tarif serta hambatan non tariff
di cina, membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai
perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia; 2) Untuk menciptaan rezim investasi
yang kompetitif dan terbuka; dan 3) Untuk meningkatan kerjasama ekonomi dalam
lingkup yang lebih luas.
Konteks
Kajian
Pemberlakuan kebijakan perdagangan bebas,
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang ditandatangani sejak 4 November
2002 dan berlaku efektif 1 Januari 2010 masih menjadi polemik hingga saat ini.
Penjabaran detail masalah-masalah yang terkait dengan ACFTA, untuk kemudian
mencari solusinya adalah formula ampuh untuk tidak berkanjang dalam polemik
yang hanya akan menguras tenaga itu.
Mulai 1 Januari 2010 Indonesia harus membuka pasar
dalam negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina. Pembukaan pasar
ini merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara
anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei
Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN China Free Trade Agreement
(ACFTA). Produk-produk impor dari ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke
Indonesia dan lebih murah karena adanya pengurangan tarif dan penghapusan
tarif, serta tarif akan menjadi nol persen dalam jangka waktu tiga tahun.[3]
Sebaliknya, Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pasar
dalam negri negara-negara ASEAN dan Cina.
Beberapa kalangan menerima pemberlakuan ACFTA
sebagai kesempatan, tetapi di sisi lain ada juga yang menolaknya karena
dipandang sebagai ancaman. Dalam ACFTA, kesempatan atau ancaman[4] ditunjukkan
bahwa bagi kalangan penerima, ACFTA dipandang positif karena bisa memberikan
banyak keuntungan bagi Indonesia. Pertama, Indonesia akan memiliki pemasukan tambahan
dari PPN produk-produk baru yang masuk ke Indonesia. Tambahan pemasukan itu
seiring dengan makin banyaknya obyek pajak dalam bentuk jenis dan jumlah produk
yang masuk ke Indonesia. Beragamnya produk China yang masuk ke Indonesia
dinilai berpotensi besar mendatangkan pendapatan pajak bagi pemerintah. Kedua,
persaingan usaha yang muncul akibat ACFTA diharapkan memicu persaingan harga
yang kompetitif sehingga pada akhirnya akan menguntungkan konsumen (penduduk /
pedagang Indonesia).
Bila kalangan penerima memandang ACFTA sebagai
kesempatan, kalangan yang menolak memandang ACFTA sebagai ancaman dengan
berbagai alasan. ACFTA, di antaranya, berpotensi membangkrutkan banyak
perusahaan dalam negeri. Bangkrutnya perusahaan dalam negeri merupakan imbas
dari membanjirnya produk China yang ditakutkan dan memang sudah terbukti
memiliki harga lebih murah. Secara perlahan ketika kelangsungan industri
mengalami kebangkrutan maka pekerja lokal pun akan terancam pemutusan hubungan
kerja (PHK).
Tekanan dari kalangan pengusaha industri agar
pelaksanaan ACFTA ditunda menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap
industri di Indonesia. Sementara itu pemerintah tetap menjalankan kesepakatan
dengan tetap mengkaji dan mengevaluasi berbagai hal untuk dapat tetap
meningkatkan daya saing Indonesia antara lain terkait dengan prasarana, biaya
ekonomi tinggi, biaya transportasi, dan sektor makro lainnya.[5] Karena
sekalipun pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA untuk waktu tertentu bagi
produk-produk tertentu, pada akhirnya perlindungan tersebut juga harus
dihilangkan sesuai kesepakatan. Jika pemerintah melanggar kesepakatan dan
melindungi industri dalam negeri, konsumen dirugikan karena harus membayar
produk dengan harga lebih mahal dan perekonomian menjadi tak berkembang.
Produk dalam negeri yang bersaing ketat di pasar
adalah industri kerajinan seperti properti dan furniture, industri hasil hutan
yang selama ini menjadi unggulan Indonesia dalam pasar domestik maupun
mancanegara, dan yang paling merasakan dampak langsung arus perdagangan bebas
dengan Cina adalah industri tekstil karena industri inilah yang paling
diunggulkan di negri tirai bambu tersebut. Sedangkan di Indonesia sendiri juga
cukup menonjol dalam dunia perindustrian sektor tekstil, sehingga secara tidak
langsung akan terjadi sebuah perang harga di pasaran dalam negri. Apalagi
produk tekstil Cina biasanya lebih murah daripada produk dalam negri.[6]
Di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), serbuan
produk-produk Cina berupa kain dan garmen sudah mulai dirasakan oleh pasar
dalam negri sejak awal berlakunya ACFTA. Ancaman ini dirasakan oleh industri
tekstil besar maupun Industri Kecil Menengah karena masyarakat akan cenderung
lebih memilih tekstil dari Cina yang harganya relatif murah. Selama ini produk
kain dan garmen yang berasal dari Cina harganya lebih murah 15%-25% bila
dibandingkan dengan produk dalam negri. Selain itu, produk pakaian jadi impor
asal Cina diakui sejumlah pedagang lebih diminati masyarakat karena kualitas
dan modelnya yang lebih mengikuti tren.[7] Namun demikian, ada pula faktor lain
seperti selera masyarakat, corak, dan kualitas bahan yang dapat mempengaruhi
daya beli masyarakat terhadap pembelian produk Cina ini. Keunggulan tekstil
Cina adalah pada bahan baku katun. Sedangkan pada produk tekstil sintetis,
mereka justru mengimpor bahan baku dari Indonesia karena bahan baku tersebut
banyak dan murah di Indonesia. Tetapi karena biaya produksi yang tinggi dan
kondisi infrastruktur yang belum mendukung seperti kondisi jalan yang masih
buruk atau tarif listrik yang masih tinggi menyebabkan harga produk kita masih
lebih mahal dibandingkan dengan produk Cina dalam Bisnis Indonesia (618
Februari 2010). Oleh karena itu, sektor yang paling tidak diuntungkan adalah
usaha katun seperti tekstil batik katun. Batik Cina dan batik lokal hampir
tidak bisa dibedakan karena beberapa batik yang bahannya dari sutra Cina bahkan
telah menggunakan label Indonesia.
Kajian mengenai perdagangan bebas, memang pernah
dilakukan sebelumnya oleh beberapa orang, diantaranya yaitu penelitiannya
Endang Suharyati (2002) yang meneliti tentang Tantangan Indonesia dalam era
AFTA dilihat dari sektor industrialisasi dan perdagangan. Pada penelitian ini
Suharyati lebih menitikberatkan dampak pada produk industri dan bagaimana
perdagangan Indonesia dalam persaingan dengan negara-negara ASEAN. Harry Yusuf
A.Laksana (2002) meneliti bagaimana AFTA mempengaruhi globalisasi ekonomi
regional dan implikasinya serta kesiapan dalam menghadapi AFTA 2002 terhadap
dunia usaha di Indonesia, penerimaan pajak dan prediksi potensi penerimaan
pajak Indonesia pasca AFTA 2002.
Akan tetapi, penelitian tentang ACFTA masih
tergolong baru dan belum ada penelitian yang mengaitkan dengan policy learning
terkait dengan tahapan evaluasi kebijakan. Berdasarkan hal tersebut, maka
makalah ini akan membahas tentang pembelajaran kebijakan (policy learning)
dalam kebijakan ACFTA kaitannya dengan review kebijakan. Siginifikansi kajian
tentang policy learning terhadap kajian kebijakan perdagangan bebas Asean-China
yaitu memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai kebijakan ACFTA, sehingga
dapat memudahkan mereview kebijakan ACFTA di Indonesia.
Rumusan
Masalah
Apabila dikaji lebih mendalam, kebijakan perdagangan
bebas Asean-China (ACFTA) ternyata memerlukan pelajaran dari proses dan prospek
kebijakannya. Hal ini dikarenakan implementasi kebijakan ACFTA tersebut banyak
menuai kontroversi dari masyarakat Indonesia khususnya dari IKM dan UKM.
Kontroversi terhadap kebijakan ACFTA tersebut disebabkan karena kebijakan ACFTA
telah merugikan para pedagang di Indonesia hingga mengakibatkan gulung tikar.
Berdasarkan hal tersebut, maka timbul pertanyaan reflektif: apakah visi dan
misi dari kebijakan ACFTA di Indonesia telah tercapai? Apa pelajaran yang bisa
dipetik dari kebijakan tersebut? Apa yang harus dilanjutkan dari kebijakan
tersebut dan apa saja yang harus dikaji ulang dalam kebijakan tersebut?
Konstruksi
Teori
Teori Perdagangan Bebas (Free Trade)
Menurut Chacholiades (1978) partisipasi dalam
perdagangan internasional bersifat bebas (free) sehingga keikutsertaan suatu
negara pada kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela. Dari sisi internal,
keputusan suatu negara melakukan perdagangan internasional merupakan pilihan,
oleh sebab itu sering dikatakan perdagangan seharusnya memberikan keuntungan
pada kedua belah pihak (mutually benefied). Dalam sistem ekonomi terututp
(autarky), negara hanya dapat mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak yang
diproduksi sendiri. Akan tetapi, dengan melakukan perdagangan (open economic)
suatu negara memiliki kesempatan mengkonsumsi lebih besar dari kemampuannya
berproduksi karena terdapat perbedaan harga relative dalam proses produksi yang
mendrorong spesialisasi.[8] Perbedaan harga relative itu muncul sebagai dampak
perbedaan penguasaan sumberdaya dari bahan baku proses produksi (resource
endowment) antar negara. Derajat penguasaan sumberdaya dan kemampuan mencapai
skala usaha dalam proses produksi secara bersama akan menjadi determinan daya
saing dan menentukan arah serta intensitas partisipasi negara dalam pasar internasional.[9]
Ilham (2003) menyebut liberalisasi sebagai
penggunaan mekanisme harga yang lebih intensif sehingga dapat mengurangi bias
arti ekspor dari rezim perdagangan. Disebutkan juga bahwa liberalisasi
menujukkan kecenderungan makin berkurangnya intervensi pasar sehingga
liberalisasi dapat menggambarkan situasi semakin terbukanya pasar domestik
untuk produk-produk luar negeri. Percepatan perkembangan liberalisasi pasar
terjadi karena dukungan revolusi di bidang teknologi, telekomunikasi dan
transportasi yang mengatasi kendala ruang dan waktu.[10]
Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi, perdagangan
antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan seminimum mungkin
pengenaan tarif dan hambatan lainnya. Hal ini didasari argument bahwa
perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku
dan bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan
tidak ada perdagangan.[11] Dijelaskan oleh Hadi (2003), selain meningkatkan
distribusi kesejahteraan antar negara, liberalisasi perdagangan juga akan
meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan peningkatan efisiensi ekonomi.
Namun demikian, terdapat perbedaan penguasaan
sumberdaya yang menjadi komponen pendukung daya saing, sebagian pakar yang lain
berpendapat bahwa liberalisasi pasar akan berpotensi menimbulkan dampak negatif
karena mendorong persaingan pasar yang tidak sehat. Atas dasar itu, maka timbul
pandangan pentingnya upaya-upaya proteksi terhadap produksi dalam negeri dan
kepentingan lainnya dari tekanan pasar internasional melalui pemberlakukan
kendala atau hambatan perdagangan.[12]
Pada kondisi semakin kuatnya tekanan untuk
meliberalisasi pasar, efektivitas pemberlakuan kendala atau hambatan tersebut
dalam perdagangan akan menentukan derajat keterbukaan pasar. Keterbukaan pasar
semakin tinggi bila pemerintah suatu negara menurunkan tarif (bea masuk) produk
yang diperdagangkan (tariff reduction) dan menghilangkan hambatan-hambatan
nontariff (non tarif barriers). Hal sebaliknya terjadi bila pemerintah cenderung
menaikkan tarif dan meningkatkan hambatan nontarif.
Menurut Adam Smith[13] merupakan sesuatu yang
bersifat ideal sehingga kebijakan perdagangan bebas harus diupayakan. Hal ini
dikarenakan model-model teoritis tentang perdagangan menegaskan bahwa perdagangan
bebas akan menghindarkan kerugian efisiensi karena adanya proteksi. Banyak
ekonom meyakini bahwa perdagangan bebas menciptakan keuntungan tambahan yang
tidak dapat diperoleh jika terjadi distorsi produksi dan konsumsi. Selain itu,
banyak ekonom juga mengatakan bahwa kebijakan perdagangan bebas biasanya lebih
baik dari kebijakan-kebijakan lainnya yang mungkin ditempuh pemerintah.
Perdagangan bebas menawarkan lebih banyak peluang untuk belajar dan melakukan
inovasi dibandingkan dengan yang diberikan oleh sistem perdagangan “terkendali”
(managed trade) dimana pemerintah pada umumnya mengatur secara ketat pola impor
dan ekspor[14]
Dampak politis perdagangan bebas mencerminkan
kenyataan bahwa suatu komitmen politis bagi perdagangan bebas mungkin merupakan
suatu pemikiran yang baik dalam praktek mekipun pada dasarnya ada
kebijakan-kebijakan yang lebih baik. Dalam membahas kebijakan-kebijakan
perdagangan, para ekonom seringkali menyatakan bahwa kebijakan perdagangan
dalam kenyataannya didominasi oleh kelompok kepentingan khusus daripada
pertimbangan-pertimbangan biaya dan manfaat nasional. Ekonom terkadang dapat
menunjukkan bahwa dalam teori pengenaan tarif dan subsidi ekspor yang selektif
dapat meningkatkan kesejahteraan nasional, tetapi dalam kenyataannya suatu
lembaga pemerintah yang berupaya untuk mengikuti suatu program yang canggih
dalam dalam campur tangannya di pasar boleh jadi akan ditanggulangi oleh
kelompok-kelompok kepentingan dan diubah ke dalam suatu muslihat bagi
redistribusi pendapatan ke sektor-sektor yang secara politik
berpengaruh[15]
Teori
Kebijakan Publik
Dalam beberapa tahun belakangan ini, dimana
persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah Indonesia sedemikian kompleksnya
akibat globalisasi[16]. Teknologi informasi dan media elektronika dinilai
sebagai simbol pelopor telah mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam
aspek sosial, budaya, ekonomi, dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil lokal dan
nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir ini bergerak cepat,
bahkan terlalu cepat menuju suatu integrasi semua sistem-sistem kecil tersebut menjadi
satu, yakni sistem global. Keadaan ini sudah barang tentu membutuhkan perhatian
yang besar dan penanganan pemerintah yang cepat agar masalah-masalah yang
ditimbulkan adanya globalisasi tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi
Indonesia. Kondisi pada akhirnya menempatkan pemerintah dan lembaga tinggi
negara lainnya berada pada pilihan-pilihan kebijakan yang sulit. Dengan
demikian, dalam kehidupan modern seperti sekarang ini kita tidak lepas dari apa
yang disebut sebagai kebijakan publik.
Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering
kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademisi.
Menurut Charles O. Jones[17] istilah kebijakan (policy term) digunakan untuk
menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat sangat berbeda. Istilah ini
sering dipertukarkan dengan tujuan, program, keputusan, standard, proposal, dan
grand design. Sedangkan kebijakan publik menurut Robert Eyestone adalah
hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Batasan lain tentang
kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa “ kebijakan
publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak
dilakukan”.[18] Walaupun batasan yang diberikan oleh Dye ini dianggap agak
tepat, namun batasan ini tidak cukup memberi pembedaan yang jelas antara apa
yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pemerintah. Seorang pakar ilmu politik lain, Richard Rose
mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian kegiatan yang sedikit banyak
berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan
daripada sebagai suatu keputusan tersendiri[19] Definisi ini berguna karena
kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu
keputusan untuk melakukan sesuatu.
Kebijakan publik merupakan kebijakan yang dibuat
oleh administrator negara, atau administrator publik. Jadi, kebijakan publik
adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh
pemerintah. Kebijakan publik berkenaan dengan setiap aturan main dalam
kehidupan bersama, baik yang berkenaan dengan hubungan antar warga maupun
antara warga dan pemerintah. Jadi yang membuat kebijakan publik adalah
pemerintah negara. Pemerintah negara yang dimaksud adalah apabila ditingkat
nasional yaitu lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif. Di tingkat daerah
kota, lembaga administrator publiknya adalah Pemerintah Daerah Kota dan DPRD
kota. Akan tetapi secara khusus kebijakan publik sering dipahami sebagai
keputusan pemerintah atau eksekutif[20].
Kebijakan publik juga merupakan kebijakan yang
mengatur kehidupan bersama atau kehidupan politik, bukan kehidupan orang
seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada di domain
lembaga administratur publik. Kebijakan publik mengatur masalah bersama, atau
masalah pribadi atau golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh
masyarakat di daerah itu. Jadi, apabila dikontekskan dengan kasus maka masalah
macet di jalanan kota merupakan masalah bersama bukan lagi masalah pemilik mobil
atau mereka yang menggunakan jalan saja, oleh karena itu hanya kebijakan publik
yang dapat mengatasi masalah[21]. Selain itu, kebijakan publik dikatakan
bermanfaat apabila masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang
dihasilkan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari pengguna langsungnya. Kosep ini disebut sebagai konsep externality
atau eksternalitas. Berdasarkan banyaknya makna tentang kebijakan publik, maka
secara sederhana kebijakan publik dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok,
diantaranya yaitu:
1.Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum
atau mendasar
2.Kebijakan publik yang bersifat meso atau menengah.
Kebijakan ini dapat membentuk
Peraturan Menteri, Peraturan gubernur, peraturan bupati, dan peraturan
walikota
3.Kebijakan publik yang bersifat mikro yaitu
kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya
Tujuan dari kebijakan publik dapat dilihat dari sisi
sumber daya yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusikan
sumber daya negara yang bertujuan menyerap sumber daya negara. Pemilahan kedua
dari tujuan kebijakan adalah regulatif versus deregulatif. Kebijakan regulative
bersifat mengatur dan membatasi, seperti kebijakan tarif, kebijakan pengadaan
barang, dan kebijakan proteksi industri. Kebijakan deregulatif bersifat
membebaskan, seperti kebijakan privatisasi, kebijakan penghapusan tarif, dan
kebijakan pencabutan daftar negatif investasi. Pemilahan ketiga adalah
dinamisasi versus stabilisasi. Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang
bersifat menggerakkan sumber daya negara untuk mencapai kemajuan tertentu yang
dikehendaki. Misalnya kebijakan desentralisasi, dan kebijakan ZEE. Sifat
kebijakan stabilitasi adalah mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak
merusak system yang ada, baik sistem politik, keamanan, ekonomi, maupun sosial.
Kebijakan ini misalnya kebijakan pembatasan
transaksi valas, dan kebijakan tentang keamanan
negara. Pemilahan keempat adalah kebijakan yang memperkuat negara versus
memperkuat pasar. Kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan
yang mendorong lebih besarnya peran negara, sementara kebijakan yang memperkuat
pasar adalah kebijakan yang mendorong lebih besarnya peran publik atau
mekanisme pasar daripada peran negara.
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses
yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus
dikaji. Adapun tahap-tahap kebijakan publik[22] adalah sebagai berikut: 1)
Tahap penyusunan agenda; 2) tahap formulasi kebijakan; 3) tahap adopsi
kebijakan; 4) tahap implementasi kebijakan; 5) tahap implementasi kebijakan; 6)
tahap evaluasi kebijakan.
Teori
Policy Learning (Pembelajaran Kebijakan)
Proses dan prospek kebijakan sebenarnya memerlukan
pelajaran. Karl Deutsh, menggunakan istilah ini utk menjelaskan peran feedback
dalam meningkatkan kapasitas belajar kepemerintahan. Hugh Heclo berdasarkan
definisi Deutsh melihat bagaimana policy learning menuntun munculnya perubahan
perilaku yang terefleksi dalam perubahan kebijakan sosial dan munculnya inovasi
baru kebijakan memiliki cara kerja yang khas dengan bertumpu pada model
evidence-based policy. Kalau seringkali evaluasi dilakukan sebagai exercise
akademik, maka dalam policy learning hal itu digeser ke arah pelibatan lebih
banyak pihak. Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan mendasar yang
dibutuhkan dalam melakukan policy learning ini, yaitu willingness dan open
mindedness approach[23].
Cara melakukan Policy Learning: 1). Spatial-Based
Learning/Pembelajaran kebijakan berbasis tempat artinya adalah menarik pelajaran
dari kebijakan yang dinilai berhasil di suatu daerah tertentu (konsep
best/smart practices) supaya bisa diaplikasikan di daerah lain. Aplikasi
kebijakan dari satu wilayah ke wilayah lain bisa dilakukan secara penuh
(replikatif) atau dimodifikasi terlebih dulu berdasarkan pertimbangan konteks
wilayah tersebut. 2). Time-Based Learning yaitu pembelajaran kebijakan berbasis
waktu maksudnya adalah menarik pelajaran berharga dari pengalaman-pengalaman di
masa lampau, entah di tempat yang sama atau justru berbeda sama sekali.
Pembelajaran kebijakan di masa lampau ini justru penting sekali, mengingat di
masa lampau selalu ada cerita tentang keberhasilan dan kegagalan. Esensinya
adalah bagaimana keberhasilan yang pernah diraih bisa diulang lagi, sementara kegagalan-kegagalan
yang pernah dialami direfleksikan kemudian dicari solusinya. Poin terpentingnya
adalah proses yang terjadi dalam time-based learning ini perlu meminjam metode
sejarah dalam rangka merekonstruksi pemaknaan dari peristiwa di masa lampau. Ketika
fragmen-fragmen peristiwa di masa lampau direkonstruksi maknanya secara
terusmenerus, maka setiap makna baru yang dihasilkan dari peristiwa sejarah dan
kemudian menjadi kesadaran bersama seluruh masyarakat disebut dengan
pembelajaran sosial (social learning)[24].
Policy Learning meliputi dua tahapan analisis yaitu
instrumental learning dan social learning. Instrumental learning menarik
pelajaran tentang kehandalan intervensi kebijakan atau desain implementasi.
Fokus analisis instrumental yaitu pada instrumen-instrumen kebijakan dan desain
implementasi. Sehingga hasilnya mengarah pada pemahaman sumber-sumber kegagalan
kebijakan, atau perbaikan performance kebijakan dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Analisis instrumental ini mensyaratkan adanya pemahaman lebih
baik tentang instrumen kebijakan, atau implementasi berdasarkan pengalaman atau
evaluasi formal. Indikator-indikator utama dalam desain kebijakan terkandung
instrumen-instrumen baru untuk mencapai tujuan kebijakan. Analisa instrumental
bisa dikacaukan dengan kegaiban dalam memperlakukan instrumen kebijakan,
perilaku meniru-niru. Oleh karena itu, dalam menganalisis kebijakan dengan
menggunakan instrumental memerlukan bukti berupa peningkatan pemahaman akan
instrumen dan implementasi kebijakan. Sedangkan social learning menarik
pelajaran tentang konstruksi sosial dari suatu masalah kebijakan. Dimana fokus
analisis social learning yaitu mengenai masalah masalah kebijakan, cakupan
kebijakan atau pemaknaan ulang tujuan-tujuan kebijakan. Berdasarkan fokus
analisisnya maka social learning hasilnya mengarah pada perubahan harapan
terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang telah dirumuskan, atau perumusan ulang
tujuan-tujuan kebijakan. Analisis social learning mensyaratkan adanya pemahaman
yang lebih baik atau bergantinya keyakinan akar masalah atau solusinya.
Indikator-indikator utama analisis ini yaitu redefinisi kebijakan mencakup
perubahan tujuan dan cakupan kebijakan misalnya arah kebijakan, kelompok
sasaran, hak-hak yang dijamin oleh peraturan baru dan lain-lain. Sebenarnya
analisis social learning ini bisa dikacaukan dengan redefinisi kebijakan tidak
terkait dengan perubahan sebab akibat dalam domain kebijakan. Oleh karena itu,
memerlukan bukti berupa perubahan keyakinan akan kausalitas dalam domain kebijakan
yang bersangkutan[25].
Dalam mereview suatu kebijakan, dan menarik
pelajaran dari suatu kebijakan, maka tidak hanya menggunakan analisis policy
learning, tetapi penggunaan analisis political learning pun dibutuhkan untuk
melihat sejauhmana respon dari public terhadap suatu kebijakan. Dengan
menggunakan analisis political learning ini, kita dapat mengetahui berhasil
atau tidaknya suatu kebijakan dari ada tidaknya feedback dari masyarakat dalam
bentuk advokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan
terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Political learning menarik pelajaran
tentang strategi untuk mengadvokasikan gagasan atau masalah kebijakan yang ada.
Fokus analisisnya yaitu tentang kelayakan politis dan proses kebijakan. Dimana
hasilnya mengarah pada advokasi gagasan atau masalah kebijakan secara lebih
canggih. Dalam analisis ini mensyaratkan adanya kesadaran akan prospek-prospek
politik dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Indikator-indikator utama dalam
analisis ini yaitu para penganjur kebijakan melakukan perubahan strategi
misalnya bergeser arena advokasinya, menawarkan argumentasi baru, menggunakan
taktik baru. Melalui analisis ini suatu kebijakan bisa dikacaukan dengan
perubahan strategi secara sekenanya, tidak terkait dengan dinamika politik yang
terjadi. Akan tetapi memerlukan bukti berupa kesadaran akan hubungan antara
strategi dan kelayakan dalam koalisi advokasi yang bersangkutan.
Menganalisis
Rumusan Kebijakan ACFTA Secara Kontekstual
Setiap reviewer dalam melakukan review kebijakan,
harus memahami makna dari policy statement yang ditetapkan oleh pejabat publik
yang bersangkutan[26]. Tidak semestinya reviewer menafsirkan sendiri makna
kebijakan yang ditelaah. Satu-satunya cara untuk memahami makna dari rumusan
kebijakan yang ditetapkan adalah dengan mengahayati konteks yang
menyelimutinya. Secara tekstual misi kebijakan perdagangan bebas Asean-China
(ACFTA) yaitu “menurunkan dan menghapus tarif serta hambatan non tarif”rumusan
ini terungkap deklarasi bahwa meskipun masalah tarif sudah pernah dibicarakan
pada saat perjanjian perdagangan internasional sebelumnya, bahkan sudah mulai
dibicarakan sejak tahun 1930, akan tetapi masalah tarif ternyata masih tetap
menjadi polemik dalam mewujudkan suatu kebijakan perdagangan bebas. Hal ini
dikarenakan masalah tarif menjadi salah satu indikator dalam mewujudkan
keberhasilan kebijakan perdagangan bebas. Ada masalah lama yang tidak kunjung
dapat teratasi dari adanya kebijakan penghapusan tarif dan non tarif yaitu
adanya tekanan-tekanan terhadap sistem perdagangan internasional oleh
organisasi-organisasi internasional seperti WTO, sehingga tujuan dari kebijakan
perdagangan bebas Asean-Cina (ACFTA) seringkali tidak dapat terealisasi di
beberapa negara yang sistem ekonominya belum stabil. Hal yang paling penting
adalah menciptakan rasa optimisme seluruh masyarakat Indonesia, supaya mereka
yakin bahwa hambatan dalam implementasi kebijakan ACFTA dapat diatasi. Visi
yang dirumuskan terkait kebijakan perdagangan bebas Asean-Cina tidak hanya penting
untuk memberikan kejelasan arah kebijakan, melainkan juga dalam hal menggalang
optimisme. Optimisme yang harus dibangun tersebut adalah bahwa meskipun Bangsa
Indonesia sistem ekonominya belum stabil dibandingkan negara Asean lainnya,
akan tetapi Indonesia harus yakin bahwa dengan adanya penghapusan tarif dan non
tarif sampai 0% untuk barang-barang impor, tidak hanya akan menguntungkan
negara China selaku negara pengimpor, tetapi Indonesia pun harus yakin akan
diuntungkan dengan adanya kebijakan perdagangan bebas Asean-China ini. Kalau
dipahami secara kontekstual, gagasan “penghapusan tarif dan non tarif dalam
perdagangan bebas Asean-China” tidak hanya mengisyaratkan untuk membuka peluang
investasi secara lebih luas dan membuka
peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke
Negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi
tertinggi di dunia, tapi terlebih lagi dalam kerangka internasional yaitu
merupakan suatu usaha bagi China itu sendiri untuk melakukan ekspansi
besar-besaran dalam menguasai perdagangan internasional dan seolah-olah ingin
menegaskan bahwa bahwa China adalah negara yang paling berpengaruh bagi ekonomi
internasional.
Agar substansi kebijakan bisa lebih dimengerti,
kebijakan juga harus ditelaah dalam dimensi keruangan atau spatial.
Bagaimanapun juga, Indonesia adalah bagian dari Asia Tenggara dan bagian dari
lingkup dunia. Sehubungan hal ini, maka kebijakan perdagangan bebas Asean-China
harus dipahami sebagai upaya untuk mengingkatkan kerjasama ekonomi antar
negara-negara Asean yang merupakan bagian dari lingkup dunia dan untuk menggali
potensi yang ada di masing-masing negara anggota Asean sehingga berimplikasi
pada meningkatnya benefit masing
masing negara Asean yang menerapkan kebijakan
perdagangan bebas Asean-China (ACFTA). Berdasarkan uraian di atas, maka
kegelisahan penulis tentang tercapai tidaknya visi dan misi dari kebijakan
perdagangan bebas Asean-China di Indonesia dapat terjawab. Penulis menyimpulkan
bahwa misi perdagangan bebas yang digagas presiden Indonesia, Thailand,
Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam dengan Cina, pada intinya
memang bagus apalagi dengan adanya keputusan penghapusan tarif dan non tarif
untuk barang-barang impor maka akan memudahkan Negara Indonesia untuk
mengirimkan barang-barangnya ke negara China yang notabene penduduknya banyak
sehingga volume ekspor Indonesia akan meningkat. Akan tetapi, apabila dilihat
dari segi visinya, maka visi dari kebijakan perdagangan bebas Asean-China di
Indonesia belum tercapai. Hal ini disebabkan oleh keadaan Indonesia sendiri
yang belum siap dengan adanya perdagangan bebas, dimana daya saing produk
Indonesia masih rendah sehingga Indonesia belum siap bersaing dengan negara
China dan negara Asean lainnya seperti Thailand dan Singapura. Infrastruktur
China jauh lebih baik, suku bunganya lebih rendah, energi lebih murah,
produktivitas lebih tinggi, dan sumber dana lebih besar. Tanpa perbaikan
menyeluruh, Indonesia tidak bisa memenangkan persaingan dengan China. Menurut
Sofian Wanandi[27], untuk memenangkan persaingan dengan China, penyediaan
infrastruktur adalah hal yang paling utama, karena infrastruktur yang buruk
menyebabkan high cost economy. Selama lima tahun periode pemerintahan Presiden
SBY Indonesia hanya membangun jalan tol sepanjang 120 km, sedang China telah
membangun jalan tol sepanjang ribuan kilometer, kira-kira 5.000-15.000 km
setahun. Ini membuktikan kita tidak melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya,
sebagaimana telah dilakukan China. Disaat negara lain berlomba membangun
infrastruktur, listrik, memberikan insentif buat investor dll, negara kita
seolah selalu belum dapat mengimbangi kecepatan pembangunan negara lain.
Menakar
Kebijakan Perdagangan Bebas Asean-China
Review kebijakan dilakukan dalam rangka
mengoptimalkan kinerja kebijakan[28]. Ini adalah norma dasar yang disepakati
dalam setiap studi kebijakan. Bagi presiden Indonesia, Thailand, Malaysia,
Singapura, Filipina, Brunei Darussalam dan Cina selaku penggagas sekaligus
perumus kebijakan ACFTA, review kebijakan ini dapat bermanfaat untuk meyakinkan
tepat tidaknya langkah kebijakan yang telah diambil, dan menemukan kekurangan
dari kebijakan tersebut. Dengan kata lain, review kebijakan diharapkan bisa
memberikan gambaran tentang kinerja pemerintah Indonesia pada khususnya sebagai
salah satu negara penggagas dan perumus kebijakan perdagangan bebas
Asean-China. Melalui review ini pun, dapat memberikan masukan bagi pemerintah
Indonesia untuk lebih melihat konteks Indonesia apabila akan mengeluarkan suatu
kebijakan ekonomi, apalagi kebijakan tersebut berasal dari
kesepakatan-kesepakatan bersama antara negara Asean. Tentu saja ini membutuhkan
persiapan dan kesiapan dari negara Indonesia itu sendiri untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan ACFTA tersebut karena kondisi riil suatu negara
mempengaruhi berhasil atau tidaknya kebijakan perdagangan bebas Asean-China.
Ada tiga hal untuk melacak kinerja kebijakan[29]
yaitu review substansi kebijakan, review konteks kebijakan, review atas proses
kebijakan, dan review terhadap proses-proses yang berlangsung. Ketiga aspek
tersebut yaitu the content, the context and the process of policy making
melekat dalam setiap kebijakan. Untuk
mereview substansi kebijakan ACFTA, maka kita tidak hanya melihat rumusan yang
eksplisit seperti undang-undang, dan keputusan presiden saja, akan tetapi
substansi yang implisit pun yang menjelaskan arah yang hendak dicapai dikaji.
Apabila dikontekskan dengan kebijakan perdagangan
bebas Asean-China, maka substansi kebijakan dapat dilihat dari apa yang
sebenarnya mendasari para peserta Asean- China Summit membuat kesepakatan
pembentukan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) untuk jangka waktu 10 tahun
dan melakukan fleksibilitas terhadap negara-negara tertentu seperti Kamboja,
Laos, Myanmar dan Vietnam terkait dengan kebijakan ACFTA tersebut. Substansi
kebijakan ACFTA di Indonesia secara eksplisit terdapat dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 53/PMK.011/ tentang penetapan bea masuk dalam rangka Asean-China
Free Trade Area (ACFTA). Dalam peraturan menteri keuangan tersebut dijelaskan
mengenai keputusan dan peraturan Menteri Keuangan terkait dengan penetapan
tarif bea masuk atas impor barang dalam rangka Early Harvest Package (EHP)
Bilateral Indonesia-China Free Trade Area.
Dalam rangka mendalami upaya untuk mewujudkan misi
atau substansi kebijakan, maka perlu dilakukan review terhadap proses politik
dalam kebijakan perdagangan bebas Asean-China tersebut. Kebijakan ACFTA yang
dimanifestasikan dengan penghapusan tarif bea masuk maupun non tarif untuk
barang-barang impor yang masuk ke Indonesia mengindikasikan bahwa telah terjadi
liberalisasi ekonomi di Indonesia. Terjadinya kesepakatan bilateral
Indonesia-China terkait dengan kebijakan ACFTA sebenarnya tidak lepas dari
adanya muatan politis dari China untuk memperbesar pengaruhnya di negara-negara
Asean. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kebijakan penurunan tarif hanya
berlaku untuk negara-negara Asean saja, tetapi mengapa kebijakan mengenai tarif
itu sendiri diberlakukan untuk perdagangan dengan negara non Asean seperti
China. Ini mengindikasikan bahwa begitu kuatnya power China dalam merangkul
negara-negara Asean untuk menyepakati perjanjian ACFTA sampai pada akhirnya
perjanjian ACFTA tersebut menjadi sebuah kebijakan di masing-masing negara peserta
asean-China Summit.
Terkait dengan kebijakan perdagangan bebas
Asean-China, Pemerintah Indonesia harus mampu mengelola konteks yang ada.
Secara normatif, birokrasi pemerintah bisa dipandang sebagai instrumen presiden
dalam mewujudkan misi kebijakan yang sudah dicanangkan bersama dengan negara
peserta Asean-China summit lainnya. Cara pandang normatif ini tidak akan
menjadi masalah apabila birokrasi pemerintah dalam hal ini menteri keuangan dan
menteri perdagangan yang secara langsung menangani kabijakan ACFTA ini memiliki
berbagai kecakapan teknokratis untuk merumuskan dan mengelola berbagai langkah
kebijakan yang harus ditempuh berdasarkan kesepakatan bersama negara peserta
Asean-China Summit. Penguasaan berbagai kecakapan teknokrasi termasuk kecakapan
analisis kebijakan dan perencanaan memungkinkan lembaga ini semakin diandalkan
sebagai instrumen pencapaian tujuan kebijakan. Hal ini dikarenakan, dalam
mengimplementasikan kebijakan ACFTA tidak hanya tertuju pada penghapusan tarif
dan non
tarif, akan tetapi perlu ditempuh langkah lain untuk
mencapai tujuan kebijakan tersebut berhubung banyak indikator yang menyebabkan
Indonesia belum siap untuk mengimplementasikan kebijakan perdagangan bebas
Asean-China tersebut. Langkah lain tersebut bisa dilakukan dengan melakukan
pembicaraan ulang dengan pihak-pihak yang terkait dengan ACFTA terkait dampak
negatif yang dihasilkan dari adanya kebijakan tersebut. Disinilah pentingnya
mendayagunakan instrumen kebijakan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam makalah ini
tidak lupa membahas instrumentalitas birokrasi pemerintahan pusat terkait
kebijakan perdagangan bebas Asean-China. Analisis instrumentalis birokrasi
pemerintahan pusat ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana birokrasi
pemerintahan pusat menjalankan tujuan-tujuan kebijakan perdagangan bebas
Asean-China. Instrumentalis birokrasi dikatakan rendah apabila birokrasi
ternyata bekerja hanya untuk mengejar tujuan-tujuannya sendiri, ataupun tidak
memiliki kejelasan sendiri[30].
Pengamatan terhadap masalah kebijakan perdagangan
bebas Asean-China menunjukkan bahwa para birokrasi pemerintahan pusat dalam hal
ini para kementerian pusat yang
bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan ACFTA, ternyata mereka
bekerja tidak untuk mengejar kepentingannya sendiri. Karena dalam
merealisasikan kebijakan tersebut, mereka lebih banyak berpatokan kepada
kesepakatan bersama seluruh negara anggota Asean dan China, bukan berpatokan
pada tujuan-tujuan yang ingin mereka capai sendiri dari adanya kebijakan
tersebut. Hal ini, wajar karena kebijakan ini melibatkan banyak negara dan
berdasarkan kesepakatan bersama, bukan murni kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia. Meskipun instrumentalis birokrasi pemerintahan pusat
dikatakan tinggi karena mereka bekerja memiliki kejelasan dan berdasarkan
tujuan-tujuan kebijakan, dan berusaha memfasilitasi pencapaian misi kebijakan,
namun para birokrat pemerintah pusat tersebut cenderung tidak memperhatikan
konteks Indonesia dalam membuat aturan tentang kebijakan perdagangan bebas.
Sehingga perlu dikaji ulang terkait kebijakan tersebut, jangan sampai Indonesia
terkesan memaksakan kebijakan perdagangan bebas Asean-China tersebut padahal
realitasnya Indonesia belum siap bersaing dengan China.
Review ini dilakukan dengan keyakinan bahwa keputusan
kebijakan perdagangan bebas Asean China (ACFTA), berkaitan erat dengan national
regime. Perjanjian ACFTA, pada dasarnya sudah ditanda tangani sejak tahun 2001,
sejak pemerintahan Megawati, namun baru diimplementasikan Januari 2010 pada
masa pemerintahan SBY. Hal ini mengindikasikan bahwa national regime
mempengaruhi disetujui atau tidaknya suatu kebijakan. Selain itu, kelangsungan
proses perumusan dan implementasi kebijakan ACFTA terkait dengan kuat lemahnya
dukungan publik di masing-masing negara Asean. Apabila dukungan publik kuat
terhadap kebijakan tersebut, maka memudahkan merealisasikan kebijakan tersebut.
Akan tetapi, apabila dukungan publik lemah maka akan menyebabkan terhambatnya
proses-proses implementasi kebijakan.
Mengurai
Manfaat Kebijakan Perdagangan Bebas Asean-China
Jika Indonesia menerapkan kebijakan perdagangan
bebas Asean-China, maka yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang paling
diuntungkan dengan adanya kebijakan tersebut? Bagian ini akan menjelaskan
manfaat dari adanya kebijakan perdagangan bebas Asean-China terhadap
stakeholders, yaitu negara anggota Asean dan China, dan masyarakat.
Kehadiran negara bisa dirasakan masyarakat bukan
sekedar karena adanya simbol-simbol negara, namun secara substantif, bagi
masyarakat negara dirasakan kehadirannya ketika fungsi-fungsi dasar yang
dilekatkan bisa dijalankan, dan membawa implikasi bagi perbaikan hidup
masyarakatnya. Kehadiran negara bisa dirasakan apabila negara menyediakan
infrastruktur yang memadai guna memenangkan persaingan dengan China. Penyediaan
infrastruktur adalah hal yang paling utama, karena infrastruktur yang buruk
menyebabkan high cost economy. Selama lima tahun periode pemerintahan SBY,
Indonesia hanya membangun jalan tol sepanjang 120 km, sedang China telah membangun
jalan tol sepanjang ribuan kilometer, kira-kira 5.000-15.000 km setahun[31].
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam pengembangan ekonomi yang lebih berskala
besar, infrastruktur merupakan satu-satunya peluang untuk melakukan ekplorasi
sumber daya alam yang ada. Investasi hanya mungkin dilakukan jika pemerintah
menyediakan prasarana jalan yang layak, sehingga dapat menghubungkan dengan
dunia luar.
Selain itu, kehadiran negara dapat dirasakan yaitu
dengan bentuk pengawasan yang dilakukannya. Terkait kebijakan perdagangan bebas
Asean-China (ACFTA), Pemerintah telah memprioritaskan pengawasan dini terhadap
industri-industri yang dianggap sensitif terhadap ACFTA. Sejumlah sektor
industri yang diwakili sebanyak 30 asosiasi menyatakan bahwa terdapat lebih
dari 600 nomor harmony system (HS) yang belum siap dan meminta pemerintah dalam
hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk meninjau kembali[32].
Dengan adanya penyediaan infrastruktur dan pengawasan dari negara, maka
kebijakan perdagangan bebas Asean-China tidak akan menjadi dampak negatif bagi
Indonesia, tetapi justru akan berimplikasi pada kegiatan ekonomi dalam negeri
meningkat, kegiatan produksi akan lebih efisien, ekspor meningkat, investasi
meningkat, dan lapangan kerja terbuka lebih luas. Sehingga Indonesia akan mampu
bersaing dengan China.
Ketika perdagangan bebas sudah dibuka, maka
pertanyaan awal yang patut dimunculkan adalah pakah masyarakat Indonesia siap?
Hal ini dikarenakan perdagangan bebas juga akan membawa konsekuensi terbukanya
masyarakat terhadap segala bentuk peluang, pengaruh dan tekanan dari luar.
Ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi perdagangan bebas akan berimplikasi
negatif bagi masyarakat khususnya menghancurkan pasar domestik dan kemungkinan
penutupan pabrik-pabrik, yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang harus
dilanjutkan dari kebijakan perdagangan bebas Asean-China tersebut adalah misi
strategisnya, yakni menjadikan negara-negara ASEAN basis produksi pasar dunia
dengan menarik investasi dan meningkatkan perdagangan. Sedangkan yang
perlu dikaji ulang dari kebijakan tersebut adalah
masalah penentuan penghapusan tarif, terkait dengan implementasi ACFTA,
Kemenperin bersama-sama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan
membuat model early warning system (EWS) untuk 228 pos tarif yang diusulkan
ditunda implementasinya pada ACFTA. Usulan penundaan implementasi 228 pos tarif
ini disebabkan karena masih banyaknya sektor-sektor industri di Indonesia yang
belum siap untuk bersaing dengan negara China. Oleh karena itu, untuk
meminimalisir dampak negatif yang terjadi akibat kebijakan perdagangan bebas
Asean-China tersebut maka Pemerintah Indonesia perlu mengkaji ulang substansi
kebijakan tersebut.
Instrumental
Learning dalam Kebijakan ACFTA
Instrumental learning menarik pelajaran tentang
kehandalan intervensi kebijakan atau desain implementasi. Terkait kebijakan
perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) pelajaran yang dapat diambil dari
analisis instrumental learning yaitu bahwa kebijakan ACFTA merupakan kebijakan
yang penuh dengan intervensi pihak asing terutama China dan WTO. Penentuan
agenda setting dalam kebijakan ACFTA pun
banyak ditentukan oleh China beserta negara anggota Asean lainnya. Indonesia
mau tidak mau harus patuh dan tunduk dengan kesepaktan-kesepakatan tersebut.
Aturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia pun tentang tarif bea masuk,
substansinya harus sesuai dengan kesepakatan antar Asean-China tersebut. Ketika
pihak Indonesia ingin mengkaji ulang kebijakan tersebut, dan ingin merubah
kebijakan tersebut maka hal tersebut tidak bisa dilakukan. Hal ini dikarenakan
kebijakan perdagangan bebas Asean-China bukan merupakan kebijakan murni yang
digagas Indonesia tetapi kebijakan yang berasal dari kesepakatan-kesepakatan bersama
antara Asean-China. Dalam hal ini intervensi negara kuat seperti China yang
menguasai perdagangan internasional sangat besar. Buktinya Indonesia pada
akhirnya menandatangani perjanjian perdagangan bebas tersebut dan menjadikannya
menjadi sebuah kebijakan di Indonesia. Padahal secara konteksnya Indonesia
masih butuh persiapan menghadapi liberalisasi ekonomi, mengingat daya saing
produk di Indonesia masih rendah sehingga perlu untuk mengkaji ulang kebijakan
tersebut. Tetapi meskipun demikian, bukan berarti Indonesia tidak akan bisa
bersaing dengan negara lainnya. Penulis optimis bahwa meskipun pada awalnya
kebijakan ini lahir karena ada pengaruh intervensi dari negara lain, dan disain
implementasi yang banyak merugikan pasar domestik, akan tetapi beberapa tahun
yang akan datang dengan pembenahan dalam semua sektor yang menunjang
perdagangan bebas, maka Indonesia pasti akan mampu menghadapi liberalisasi
ekonomi.
Fokus analisis instrumental yaitu pada
instrumen-instrumen kebijakan dan desain implementasi. Analisis instrumental
ini mengkaji kebijakan ACFTA berdasarkan instrumen-instrumen kebijakan yaitu
melihat kinerja para birokrasi pemerintahan pusat dalam menjalankan tugasnya
sebagai lembaga yang mempunyai kapasitas untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai
dari kebijakan tersebut. Birokrasi pemerintahan pusat, dalam hal ini lembaga
kementerian yang berwenang membuat aturan tentang kebijakan perdagangan bebas
Asean-China (ACFTA), telah menjalankan tugasnya dengan baik untuk mewujudkan
misi tekstual kebijakan tersebut. Mereka bekerja sesuai dengan apa yang
disepakati oleh Presiden, dan mereka tidak diam-diam
mempunyai tujuan-tujuan tertentu untuk kepentingan
para menteri itu sendiri. Mereka tetap bekerja sesuai dengan koridornya
masing-masing dan sesuai dengan apa yang disepakati bersama.
Analisis instrumental mencoba untuk melihat
kebijakan perdagangan bebas Asean-China berdasarkan pada pemahaman
sumber-sumber kegagalan kebijakan, atau perbaikan performance kebijakan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan analisis ini, dapat diketahui
bahwa sumber-sumber kegagalan kebijakan ACFTA ini yaitu pada tahap perumusan
masalah. Para perumus kebijakan tidak melihat konteks masing-masing negara
Asean tersebut. Sehingga wajar saja apabila pada tahap implementasinya
menimbulkan reaksi dari negara yang belum siap dengan adanya kebijakan
tersebut. Dengan mengetahui sumber-sumber kegagalan tersebut, maka dapat segera
dilakukan perbaikan performance kebijakan guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Caranya yaitu dengan mengkaji dan memahami kembali kebijakan
tersebut.
Selain itu, analisis instrumental ini mensyaratkan
adanya pemahaman lebih baik tentang instrumen kebijakan, atau implementasi
berdasarkan pengalaman atau evaluasi formal. Ketika akan mereview suatu
kebijakan dengan menggunakan instrumental learning, maka syaratnya adalah
memahami dengan baik tentang instrumen kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan
analisis instrumental menganggap bahwa berhasil atau tidaknya suatu kebijakan
itu dapat dipahami dari segi instrumentalnya. Karena instrument kebijakan ini
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam keberhasilan sebuah kebijakan.
Adapun indikator-indikator utama dalam desain kebijakan terkandung
instrumen-instrumen baru untuk mencapai tujuan kebijakan. Oleh karena itu,
dalam menganalisis kebijakan dengan menggunakan instrumental memerlukan bukti
berupa peningkatan pemahaman akan instrumen dan implementasi kebijakan.
Social
Learning dalam Kebijakan ACFTA
Social learning menarik pelajaran tentang konstruksi
sosial dari sebuah kebijakan. Menganalisis kebijakan dengan menggunakan
konstruksi sosial dari suatu masalah kebijakan berarti memahami kebijakan dari
pihak yang terdampak kebijakan tersebut, dalam hal ini pelaku industry kecil
menengah (IKM) dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Bukan tanpa alasan,
karena hingga kini sektor tersebut masih sangat lemah terutama dalam hal
permodalan. Alhasil, daya saing produk mereka pun masih sangat rendah. Baik
terkait kualitas, inovasi dan harga jual di pasaran. Jika mereka dipaksa head
to head dengan produk Cina, jelas akan kewalahan.
Ambil contoh batik. Selama ini pengrajin batik
Indonesia masih kesulitan dalam hal pengadaan bahan baku berupa kain mori dan
pewarna. Tidak hanya itu proses produksi kebanyakan masih dilakukan secara
tradisional. Hal ini berefek pada harga jual batik yang cenderung sangat mahal.
Bandingkan dengan Cina, mereka memproduksi batik secara massal dan melemparnya
ke pasar Indonesia dengan harga yang sangat murah. Jika kedua produk dibenturkan
di pasaran, jelas produk Indonesia tidak laku karena harganya yang sangat
mahal. Kondisi ini berakibat pada
penurunan omzet jual perajin batik Indonesia. Efek
lebih jauhnya mereka terpaksa harus gulung tikar dan merumahkan para
pekerjanya. Tentu saja hal ini berdampak pada bertambahnya angka pengangguran.
Hal ini belum disadari betul oleh pemerintah selaku
pemangku kebijakan. Iklim perdagangan bebas seolah dipaksakan tanpa persiapan
yang matang di seluruh sector terkait. Sementara proteksi yang dilakukan
pemerintah saat ini cenderung parsial karena tanpa follow up berkelanjutan.
Padahal jika sebelumnya pemerintah melakukan persiapan dengan cara penguatan
sektor IKM dan UMKM, maka kebijakan ini justru memiliki dampak positif yang
luar biasa bagi perkembangan perekonomian Indonesia, karena seluruh produk
Indonesia mampu bersaing di arena pasar yang telah disepakati.
Dengan permasalahan yang terjadi akibat kebijakan
perdagangan bebas Asean-China tersebut, maka diperlukan perumusan ulang tujuan
kebijakan atau perubahan harapan terhadap pencapaian tujuan yang telah
dirumuskan. Apabila dikontekskan dengan kebijakan perdagangan Asean-China
(ACFTA), maka sebenarnya tidak terlalu diperlukan perumusan ulang tujuan-tujuan
kebijakan. Hal ini dikarenakan pada intinya tujuan kebijakan ACFTA sangat bagus
dan berpotensi untuk meningkatkan tingkat perekonomian suatu negara yaitu
dengan adanya iklim investasi. Hanya saja, yang harus dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia yaitu mengkaji ulang substansi kebijakan dan memperkuat ekonomi
domestik dalam menyambut perdagangan bebas Asean-China tersebut. Melalui hal
tersebutlah, maka tujuan-tujuan kebijakan ACFTA akan dicapai oleh Indonesia.
Analisis social learning mensyaratkan adanya
pemahaman yang lebih baik atau bergantinya keyakinan akar masalah atau
solusinya. Hal ini mengindikasikan bahwa guna mewujudkan tujuan kebijakan
perdagangan bebas Asean-China (ACFTA), maka syarat utamanya adalah diperlukan
adanya pemahaman yang lebih baik terhadap akar permasalahan kebijakan. Akar permasalahan
harus dipahami supaya mudah memberikan solusi terhadap permasalahan yang
ditimbulkan oleh kebijakan ACFTA tersebut.
Berdasarkan analisis social learning, maka dapat
diketahui ternyata pada tahap implementasinya kebijakan perdagangan bebas
Asean-China menimbulkan dampak negatif
bagi pasar domestik di Indonesia. Terkait permasalahan tersebut maka
perlu dilakukan redefinisi kebijakan yang mencakup arah kebijakan, kelompok
sasaran, dan hak-hak yang dijamin oleh peraturan baru. Dalam konteksnya kebijakan
ACFTA di Indonesia, maka yang lebih urgen untuk dilakukan redefinisi yaitu
terkait kelompok sasaran dan hak-hak yang dijamin oleh peraturan baru. Hal ini
bukan tanpa alasan, mengingat kondisi riil Indonesia yang belum siap dengan
adanya kebijakan ACFTA. Selain Indonesia, ternyata negara lainnya penggagas
kebijakan ACFTA yang belum siap yaitu Filipina. Kondisi riil Filipina membuat
negara tersebut belum siap dengan adanya kebijakan ACFTA. Melihat realita
tersebut maka kebijakan perdagangan bebas Asean-China perlu dilakukan
redefinisi terhadap kelompok sasaran kebijakannya. Jangan sampai tujuan baik
dari adanya kebijakan ACFTA, justru berubah menjadi malapetaka bagi negara yang
belum siap
menghadapi ACFTA. Konteks negara-negara Asean yang
belum siap harus menjadi pertimbangan utama bagi penggagas dan perumus
kebijakan ini supaya ada hak-hak yang dijamin oleh peraturan kebijakanvterkait
hal tersebut.
Rekomendasi terhadap Kebijakan ACFTA di Indonesia
Beberapa usaha memang harus dijalankan sesegera
mungkin, khususnya untuk melindungi pedagang dan industri kecil menengah dalam
negeri. Pemerintah harus segera memperbaiki prasarana pendukung sektor industri
kita khususnya dalam persoalan perbaikan infrastruktur dan kebijakan pendukung
pertumbuhan sector industri tersebut. Langkah itu bisa berupa penurunan biaya
listrik untuk industri agar mereka bisa menekan biaya produksi serta
pemberlakuan bea masuk bagi produk-produk tertentu yang berpotensi mematikan
industri dalam negeri secara missal, seperti produk tekstil.
Pemerintah bertugas untuk mendorong bagi perusahaan
yang dapat memenangi persaingan, dan memberikan jalan keluar serta alternatif
bagi perusahaan yang kalah bersaing dan pekerjanya mengganggur[33]. Pemrintah
perlu memberikan stimulus berupa insentif fiskal untuk mendukung industri,
yaitu tarif pajaknya bisa diturunkan atau ditanggung pemerintah. Pemberian
fasilitas pajak atau bea masuk DTP perlu dilakukan secara selektif dengan
mempertimbangkan fasilitas tersebut terhadap kemajuan industri. Pemerintah juga
dapat memberikan anggaran belanja berupa pemberian subsidi kepada pelaku usaha
atau memberikan subsidi bunga kepada industri yang rentan terkena dampak
negatif ACFTA dalam Suara Merdeka (21 Januari 2010).
Upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah terkait dengan
dampak negatif ACFTA yaitu memotong pajak untuk industri dalam negeri,
memerangi pungutan liar terhadap industri, serta memberikan bantuan dan subsidi
yang lebih besar kepada pengusaha, khususnya pengusaha industri kecil menengah
agar bisa mempertahankan dan mengembangkan usaha. Pemerintah juga harus
mendorong gerakan cinta produk dalam negeri. Hal itu sangat peting karena
potensi konsumsi kita sangat besar. Apabila diarahkan pada produk-produk lokal
maka akan membantu industri dan perekonomian pada umumnya. Hal ini harus
didukung dengan kreasi, inovasi dan perbaikan mutu produk lokal supaya bisa
menjadi prioritas konsumen dalam negeri.
Penguatan daya saing global dilakukan pun harus
dilkukan yaitu melalui penanganan isu domestik, meliputi: penataan lahan dan
kawasan industri; pembenahan infrastruktur dan energi; pemberian insentif
(pajak maupun non-pajak lainnya); dan membangun Kawasan. Beberapa usaha memang
harus dijalankan sesegera mungkin, khususnya untuk melindungi pedagang dan
industri kecil menengah dalam negeri. Pemerintah harus segera memperbaiki
prasarana pendukung sektor industri kita khususnya dalam persoalan perbaikan
infrastruktur dan kebijakan pendukung pertumbuhan sektor industri tersebut.
Langkah itu bisa berupa penurunan biaya listrik untuk industri agar mereka bisa
menekan biaya produksi serta pemberlakuan bea masuk bagi produk-produk tertentu
yang berpotensi mematikan industri dalam negeri secara massal, seperti produk
tekstil.
Upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah
memotong pajak untuk industri dalam negeri, memerangi pungutan liar terhadap
industri, serta memberikan bantuan dan subsidi yang lebih besar kepada
pengusaha, khususnya pengusaha industri kecil menengah agar bisa mempertahankan
dan mengembangkan usaha. Pemerintah juga harus mendorong gerakan cinta produk
dalam negeri. Hal itu sangat penting karena potensi konsumsi kita sangat besar.
Apabila diarahkan pada produk-produk lokal maka akan membantu industri dan
perekonomian pada umumnya. Hal ini harus didukung dengan kreasi, inovasi dan
perbaikan mutu produk lokal supaya bisa menjadi prioritas konsumen dalam
negeri. Selain itu, pemerintah telah mengkoordinasikan langkah-langkah secara
komprehensif, holistik, dan tersistem guna mencari solusi terhadap kegagalan
kebijakan ACFTA.
Intinya, dari semua uraian di atas adalah bahwa
Indonesia harus kreatif menemukan strategi-strategi baru untuk meminimalisir
efek ACFTA tanpa melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization, WTO). Antara lain dengan maksimalisasi SNI (Standar Nasional
Indonesia) di Kementerian Perdagangan. Maksimalisasi SNI ini dapat menghambat
masuknya barang-barang yang tidak berkualitas ke Indonesia. Tim antidumping
ataupun surcharge di Kementerian Perdagangan juga perlu dimaksimalkan fungsinya.
Registrasi produk makanan, minuman dan obat-obatan melalui Badan Pengawas Obat
dan Makanan (POM) perlu diperketat untuk menahan masuknya makanan, minuman, dan
obat-obatan yang tidak berkualitas. Penyeludupan barang yang masih amat tinggi,
30% perdagangan di Indonesia adalah ilegal dengan alasan untuk menghindari
pajak dan karena tidak memiliki NPWP, harus segera disudahi. Strategi lain yang
tidak melanggar WTO dalam menekan gempuran produk China ke Indonesia adalah
dengan menetapkan peraturan agar setiap produk yang masuk ke Indonesia
dilengkapi dengan penjelasan dalam bahasa Indonesia. Hal ini bukan saja untuk
menahan laju impor produk asing ke dalam negeri tetapi juga berguna untuk
menghindari penipuan.
Apabila pekerjaan rumah yang besar itu dapat dikerjakan
secara bersama-sama oleh semua lapisan masyarakat Indonesia dengan pemerintah,
ini adalah momentum yang paling baik, saat ini semua negara sedang melihat
Indonesia, sebuah negara pilihan untuk berinvestasi, promosi ini harus
dikerjakan bersama. Memenangkan persaingan dengan China bukan persoalan mudah,
apalagi Indonesia sempat mengabaikan mengerjakan pekerjaan rumah tangganya,
khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Untuk itu, Indonesia harus bekerja
keras untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih menumpuk itu.
Penutup
Kesepakatan ACFTA, diawali dari makin mesranya
hubungan antara Cina dan negara-negara ASEAN, terutama setelah ASEAN
Ministerial Meeting (AMM) ke-24 pada
Juli 1991 di Kuala Lumpur Malaysia. Hubungan ini semakin erat setelah Deklarasi
Kerja Sama Strategis untuk Perdamaian dan Kesejahteraan yang ditandatangani
dalam ASEAN-Cina Summit di Bali, tujuh tahun silam. Ujungnya, Zona Perdagangan
Bebas ASEAN-Cina ini diimplementasikan pada 1
Januari 2010. Pada tahap pertama, hanya melibatkan
Cina dan enam negara ASEAN, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand,
Filipina, dan Brunei Darussalam[34].
Misi kebijakan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA)
yaitu berupa penghapusan tarif dan non tarif hingga 0% untuk barang-barang
impor. Misi tersebut dilakukan guna mewujudkan visi kebijakan perdagangan bebas
Asean-China (ACFTA) yaitu membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan
volume dan nilai perdagangan ke Negara yang penduduknya terbesar dan memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, menciptaan rezim investasi yang
kompetitif dan terbuka, serta meningkatkan kerjasama ekonomi dalam lingkup yang
lebih luas.
Hal penting yang dapat ditarik dari permasalahan ini
adalah kebijakan perdagangan bebas ACFTA perlu dikaji ulang kembali, terkait
tingkat kesiapan negara pelaksana. Karena efek langsung dari kebijakan ini
mengarah pada tingkat perekonomian masyarakat di negara yang bersangkutan.
Sekalipun ekonomi Indonesia sudah teruji dalam menghadapi krisis, namun tidak
dapat disangkal bahwa daya saing ekonomi Indonesia masih sangat
mengkhawatirkan. Mulai dari kelemahan produk dalam melakukan penetrasi ke pasar
global, rendahnya tingkat upah, hingga disparitas inflasi dengan negara asing.
Perlu kecakapan teknokratis untuk merumuskan dan
mengelola langkah kebijakan ACFTA termasuk kecakapan dalam menganalisis
kebijakan dan perencanaannya. Selain itu, pelajaran lain yang dapat diambil
yaitu bahwa keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh
instrumen-instrumen kebijakan, dan suatu permasalahan kebijakan bisa datang
dari konstruksi sosial.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang harus
dilanjutkan dari kebijakan perdagangan bebas Asean-China tersebut adalah misi
strategisnya, yakni menjadikan negara-negara ASEAN basis produksi pasar dunia
dengan menarik investasi dan meningkatkan perdagangan. Selain itu juga untuk
memberikan peluang berkompetisi bagi sektor industri. Sedangkan, pekerjaan
rumah dari kebijakan ini yaitu mengoreksi substansi penerapannya di
masing-masing negara, terkait penentuan penghapusan tarif. Upaya yang telah
dilakukan pemerintah Indonesia yakni membuat model early warning system (EWS)
untuk 228 pos tarif yang mana diusulkan untuk ditunda implementasinya pada
ACFTA. Usulan penundaan implementasi 228 pos tarif ini disebabkan karena masih
banyaknya sektor-sektor industri di Indonesia yang belum siap untuk bersaing
dengan negara China.
Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan
Indrawati[35] bahwa liberalisasi akan menguntungkan negara berkembang dan
penduduk miskin dari kelompok pendapatan menengah karena ekspor produk yang
bersifat padat karya terutama manufaktur meningkat. Namun demikian, derajat
manfaat dan keuntungan liberalisasi perdagangan sangat tergantung pada
reformasi kebijaksanaan yang diambil dan keadaan struktur perekonomian domestik
negara berkembang itu sendiri.
Referensi :
Abidin. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap
Keragaan Industri Gula Indonesia: Suatu analisis Kebijakan. Disertasi, tidak
dipublikasikan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Charles O. Jones, An Introduction to the Study of
Public Policy. Third Edition, 1984, Monterey: Books/Cole Publishing Company
Dunn, William N. Pengantar Analisa Kebijakan Publik,
1998, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
Hirst, Paul dan Grahame Thompson, Globalisasi adalah
Mitos, 2001, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia
Indrawati, A.M. Liberalisasi dan Pemerataan dalam
Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan. 1995, Soetrisno, L dan F.
Umaya (Editor). Yogyakarta, PT. Tiara WAcana Yogya
Krugman, Paul R dan Maurice Obstfeld, Ekonomi
Internasional Teori dan Kebijakan, 1991, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada
Lay, Cornelis (ed), Membangun NKRI dari Bumi Tambun
Bungai Kalimantan Tengah, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)
Universitas Gadjah Mada
Michael Howlettand and M. Ramesh, Studying Public
Policy: Policy Cyclesand Policy Subsystem, Oxford University Press, Oxford,
1995 (dalam Purwo Santoso dan Cornelis Lay, Membangun NKRI dari Bumi Tambun
Bungai-Kalimantan Tengah, 2007, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)
Universitas Gadjah Mada)
Nugroho D, Riant, Kebijakan Publik Untuk
Negara-Negara Berkembang, 2006, Jakarta, PT Gramedia
Purwo Santoso dan Cornelis Lay, Membangun NKRI dari
Bumi Tambun Bungai-Kalimantan Tengah, Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007
Purwo Santoso, dan Nur Azizah, Materi Kuliah
Governance dan Kebijakan Publik, 2010, Yogyakarta, pertemuan sesi terakhir
jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Richard Rose (ed), Policy Making in Great Britain,
1969, London, MacMillan
Riant Nugroho D. Kebijakan Publik untuk
Negara-negara Berkembang”. 2006, Jakarta, Gramedia
Suherman, Ade Maman, Organisasi Internasional dan
Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, 2003,
Jakarta, Ghalia Indonesia
Susilowati, Dinamika Daya Saing Lada, 2003, Jurnal
Agro Ekonomi Vol 21 No. 2 Oktober 2003, Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian
Bogor
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy. Second
Edition. Engelwood Cliff, 1975, NJ Prentice-Hall
Widodo, Tri dkk, Evaluasi Implementasi
Desentralisasi dan Prospek Pembangunan di Kalimantan Timur, 2006, Samarinda,
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III) LAN
William Dunn, Analisa Kebijakan Publik, 1999, Yogyakarta,
Gadjah Mada Press
Winarno, Budi, Teori Kebijaksanaan Publik, 1989,
Yogyakarta, Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas (Bank
Dunia XVII)-PAU Studi Sosial Universitas Gadjah Mada
Winarno, Budi. Kebijakan Publik: Teori dan Proses,
2007, Yogyakarta, MedPress
Surat Kabar
Kompas 3 Februari 2010, dalam Majalah Veritas
Dei, “ACFTA, Tantangan Ekonomi
Indonesia” , 2010, Jakarta, Volume 2
tahun I
Mari Elka Pangestu 2010, Wawancara dalam Media
Indonesia, 23 Februari
Sofjan Wanandi,
Majalah Veritas Dei, “ACFTA, Tantangan Ekonomi Indonesia”, 2010, Jakarta, Volume 2 tahun I
Yen Rizal, 2010, Wawancara dalam Batamcyberzone, 3
Februari
Internet
http://republika.co.id:8080/koran/24/126712/Setahun_ACFTA_Industri_Kecil_Gulung_Tikar).
Diakses Sabtu, 08 Januari 2011 pukul 11:12:00
[1] Purwo Santoso dan Cornelis Lay, Membangun NKRI
dari Bumi Tambun Bungai-Kalimantan Tengah, Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007, hal 6
[2] Michael Howlettand and M. Ramesh, Studying
Public Policy: Policy Cyclesand Policy Subsystem, Oxford University Press,
Oxford, 1995 (dalam Purwo Santoso dan Cornelis Lay, Membangun NKRI dari Bumi
Tambun Bungai-Kalimantan Tengah, 2007, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Pemerintahan
(JIP) Universitas Gadjah Mada, hal 7)
[3]
(Dewitari,dkk 2009)
[4]
(Jiwayana, 2010)
[5](Mari Elka Pangestu 2010, Wawancara dalam Media
Indonesia, 23 Februari)
[6] (Yen Rizal 2010, Wawancara dalam Batamcyberzone,
3 Februari)
[7] (Karina dan Nova, 2010)
[8] Chacholiades, 1978, Chaves et, al., 1993.
[9] Susilowati, 2003.
[10] Kariyasa, 2003
[11] Kindleberger dan Lindert, 1978.
[12] Abidin, 2000
[13] Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld, Ekonomi
Internasional Teori dan Kebijakan, 1991, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
[14] Ibid hal 264
[15] Op.cit 265
[16] Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori dan
Proses. 2007, Yogyakarta, MedPress, hal 15
[17] Lihat Charles O. Jones, An Introduction to the
Study of Public Policy. Third Edition, 1984, Monterey: Books/Cole Publishing
Company, hlm 25
[18] Thomas R. Dye, Understanding Public Policy.
Second Edition. Engelwood Cliff, 1975, NJ Prentice-Hall, hal 1
[19] Richard Rose (ed), Policy Making in Great
Britain, 1969, London, MacMillan, hal 79
[20] Riant Nugroho D. Kebijakan Publik untuk
Negara-negara Berkembang”. 2006, Jakarta, Gramedia
[21] Ibid hal 26
[22] William Dunn, Analisa Kebijakan Publik, 1999,
Yogyakarta, Gadjah Mada Press hal 24-25
[23] Purwo Santoso, dan Nur Azizah, Materi Kuliah
Governance dan Kebijakan Publik, 2010, Yogyakarta, pertemuan sesi terakhir
jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
[24] Ibid
[25] Op.cit
[26] Purwo Santoso dan Cornelis Lay, Membangun NKRI
dari Bumi Tambun Bungai-Kalimantan Tengah, Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007, hal 11
[27] Sofjan Wanandi dalam mengawali presentasinya
pada Seminar RCRS “ACFTA, Tantangan Ekonomi Indonesia” di Jakarta
[28] Purwo Santoso dan Cornelis Lay, Membangun NKRI
dari Bumi Tambun Bungai-Kalimantan Tengah, Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007, hal 11
[29] Ibid hal 19
[30] Op. cit hal 22
[31] Sofjan Wanandi,
Majalah Veritas Dei, “ACFTA,
Tantangan Ekonomi Indonesia” , 2010,
Jakarta,
[32] Ibid
[33]Kompas 3 Februari 2010
[34] http://republika.co.id:8080/koran/24/126712/Setahun_ACFTA_Industri_Kecil_Gulung_Tikar).
Diakses Sabtu, 08 Januari 2011 pukul 11:12:00
[35] Indrawati, A.M. Liberalisasi dan Pemerataan
dalam Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan. 1995, Soetrisno, L dan
F. Umaya (Editor). Yogyakarta, PT. Tiara WAcana Yogya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar