Filsafat
Filsafat adalah
studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah prose
dialektika.
Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada
sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu
spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa
berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya
tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang
mempertanyakan segala hal.
Etimologi
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia.
Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan").
Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut "filsuf"
Klasifikasi Filsafat :
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya.Kategori menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa
dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan
daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat
orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx,Friedrich
Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam
filsafat yang menyangkut tema tertentu.
§
Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada.
Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum
dikaji secara khusus dalamOntologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta
dibahas dalam Kosmologi.
§
Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah
pengetahuan (episteme secara
harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang
pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
§
Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang
berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat
yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
§
Etika, atau filsafat moral,
membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan
bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik
yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara
hati, dan sebagainya.
§
Estetika membahas mengenai keindahan dan
implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori
mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi
yang terutama berkembang di Asia,
khususnya di India, Republik
Rakyat Cina dan daerah-daerah
lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah
dekatnya hubungan filsafat dengan agama.
Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat,
terutama di Abad Pertengahan,
tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf
Timur, antara lain Siddharta
Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
Filsafat Timur Tengah
Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarahnya
merupakan para filsuf yang bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi
Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah
orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah
di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu
mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik
Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan
bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama
beberapa filsuf Timur Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibran dan Averroes.
Filsafat Di Indonesia
Filsafat Indonesia adalah sebutan umum untuk
tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang
belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam berbagai bahasa
yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa
persatuan' Bahasa Indonesia,
meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat,
disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang
ditulis oleh M. Nasroen, seorang
Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas
Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam
kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan
mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang
Dekan Fakultas Filsafat di Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta,
menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang
bernama Jurusan Filsafat
Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak
alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat
Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian
Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia
hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur,
sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38).
Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ...kekayaan budaya bangsa kita
sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono
mendefinisikannya sebagai ...pemikiran-pemikiran...yang
tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo
mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ...pemikiran primordial... atau pola
pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya...(Jakob
Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian
dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi.
Secara kebetulan,Bahasa Indonesia sejak
awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains. Sebaliknya, orang Indonesia
memiliki kata generik, yakni, budaya ataukebudayaan, yang meliputi
seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi,
agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat,
yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang Indonesia
memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu,
menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada
pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami
oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan
Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat
Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi
kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia
sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan',
yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan
definisi penulis yang terakhir.
Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di
wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan
bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih
memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.
Sebagai suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis,Indonesia: Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudulFalsafah Indonesia (1967).
Salam kenal. Mochtar Lubis berlebihan bila menyatakan bahwa genius lokal Nusantara sudah memulai tradisi pemikiran abstrak pada era neolitikum (3500-2500 SM). Karena pemikiran abstrak itu bergerak pada level pencarian esensi sesuatu, misalnya mencari 'ke-batuan-nya' sebuah batu, bukan sekedar mengukir, mengihiasi atau memanfaatkan batu. Di mana-mana di dunia pada masa itu pemikiran abstrak dalam arti itu belum muncul. Mochtar Lubis tampaknya lagi dipenuhi semangat nasionalisme yang berapi-api dalam menulis karyanya itu. He he he.
BalasHapus