( KRITIK ETIKA DAN ESTETIKA
KOMODITI DI BALIK BUDAYA TELEVISI )
Etika adalah sesuatu
yang senantiasa diagungkan di panggung retorika politik, tetapi tak jarang
malah dilecehkan di tingkat realita. Seruan dan imbauan moral sama sekali tak
mendatangkan riak perubahan, justru di hadapan pementasan kehidupan kolutif,
koruptif, dan manipulatif. Kesederhanaan adalah sesuatu yang menipu, justru di
hadapan pameran gaya hidup gedongan dan pola hidup konsumtif yang
memprasyaratkan ekonomi biaya tinggi. Prasarana kehidupan seperti saluran
komunikasi dan transportasi publik memang terus dibangun, tetapi ruang publik
rakyat terus tergusur atas nama pembangunan dan kepentingan umum. Kelembutan
ucapan di balik senyuman sering tak kan
berguna di balik kekerasan politik yang menyengsarakan rakyat. Para pejabat
terus menebar senyum di acara-acara yang ditayangkan televisi tak kan sanggup
menyembuhkan derita rakyat yang disebabkan kebijakan publik yang salah urus.
Ada pula yang melihat
fenomena ini sebagai munculnya apa yang disebut sebagai “imperialisme
doktrinal” (Gellner), atau “industrialisasi kesadaran” (Enzensberger), atau pun
“tirani kesadaran” dan “tirani kognitif” (Tehrania)
Namun, kini semua
gejala seperti yang dikhawatirkan oleh para kritikus budaya tersebut telah
mengalami metamorfosis secara lebih canggih dalam apa yang secara klise sering
disebut sebagai “kondisi pasca modern” atau “budaya pascamodern”. Dalam kondisi
seperti ini, penumpulan daya imajinasi atau penunggalan wacana tak lagi mesti
berlangsung dalam ruang penataran yang di dalamnya mungkin berlangsung injeksi
indoktrinasi yang telanjang. Tetapi, kini semua saluran artikulasi kekuasaan
via media baik media cetak maupun media elektronik (terutama televisi) telah
menjadi bagian penting dari beroperasinya proses penunggalan atau homogenisasi
wacana.
Dalam uraian terbatas
ini, bab ini akan menyoroti satu sisi perkembangan institusi komunitas
masyarakat pascamodern, yakni televisi yang telah menjadi industri hiburan dan
sekaligus produsen budaya populer. Televisi telah menjadi supra–ideologi yang
mempesona masyarakat mutakhir dengan aneka corak hiburan massa untuk khalayak
dengan tingkat kesadaran dan kritisisme yang pas-pasan (mediocre). Lalu,
bagaimana, misalnya kalau kita ingin menjelaskan etika kekeluargaan atau pendidikan
yang dikhotbahkan televisi dengan memanfaatkan pesona “ikon pop” berupa foto
model, bintang iklan atau artis?
HISTERIA
KEMATIAN SELEBRITI
Televisi adalah
contoh mesin konstruksi citra di pangggung selebriti. Ia memungkinkan semua
ranah kehidupan dan budaya menjadi produk tontonan di dalam masyarakat komoditi
mutakhir, tidak terkecuali kematian, terutama kematian selebriti.
Media mendramatisasi kematian selebriti
dengan menyoroti nyaris semua hal yang terkait dengan aktivitas apa saja yang
ia lakukan sebelum kematiannya di samping ritual pemakaman dan komentar
karib-kerabat yang kemudian menjadi ritual pemberitaan yang bercampur dengan
industri gosip yang kini tengah menjadi ritual harian tontonan televisi kita,
di samping berita-berita di seputar kriminalitas yang selalu melahirkan “hero”,
penegak hukum mengalahkan orang jahat : bapak polisi yang berhasil menyergap perampok
atau menggulung maling ayam atau maling kendaraan dengan shooting yang
diperlihatkan sangat dramatis, lebih dramatis daripada penangkapan koruptor
kelas kakap sekalipun.
Dalam
konteks inilah kita masuk lebih dalam ke wilayah yang menjadi pembahasan uraian
bab ini. Bahwa televisi telah menjadi wajah tirani baru ia tidak hanya
memediakan realitas real atau ‘nyata”, tapi ia telah mengkontruksi realitas
baru yang melampaui yang real atau hyper-real “realitas semu”secara demikian,
fenomena budaya televisi pun telah menjadi satu persoalan serius kalau kita ingin berbicara tentang
etika sambil melakukan kritik terhadap estetika komoditi yang selama imi begitu
akut dipergelarkan di balik keperkasaan televisi.
Martin
Esslin menyebut abad ke-20 sebagai Abad Televisi sesuai dengan judul bukunya
Age of Television. Sinyalemen itu tampaknya beralasan. Sekalipun internet
muncul, tetapi ia belum bisa disamakan dengan kehadiran televisi, karena sifat
televisi yang relatif murah dan terjangkau untuk berbagai lapisan masyarakat.
Karena itu, lebih dari itu pada abad ke-21 atau millenium baru kita sedang
memasuki gelombang Millenium of Television. Di dalam Millenium TV, stasiun
pemancar dan perancang program perlahan tapi pasti juga sudah tampil sekaligus
sebagai “agen kebudayaan”. Lebih dari itu, sebagai produk teknologi yang
memainkan politik elektronik, televisi telah menjelma sebagai bentuk baru kebudayaan
itu sendiri (cultural form, kata kritikus budaya Raymond Williams, 1974).
KOTAK
AJAIB DENGAN BANYAK JULUKAN
Televisi,
sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus di salah satu sudut ruang
rumah tangga kita, barangkali adalah hasil produk kemajuan teknologi yang
paling banyak memperoleh “gelar kehormatan”, seperti “ jendela dunia” (window
of the world), “kotak ajaib” (miracle box).
Televisi
adalah anak ajaib industrialisasi yang dikandung oleh ibu modernitas. Televisi
memang tidak punya jenis kelamin, tetapi konon ia memainkan ideologi gender
sacara amat halus dan tentu saja tidak jarang pula ia mempertontonkannya secara
begitu amat telanjang. Bahkan bagi para penganut “antropomorfisme teknologi”,
televisi dipandang sebagai “makhluk” hasil produk teknologi komunikasi yang
kini membalik logika: “ Manusia menonton TV” menjadi “TV menonton manusia”
karena itu,”kill your TV” demikian gertak penyair Afrizal Malna.
Yang
ingin ditegaskan disini adalah bagaimana produk teknologi berupa televisi itu
telah menjelma menjadi “agen” atau “Produsen kebudayaan”. Di layar kotak ajaib
ini, spot iklan yang semula tersedia hanya sekadar untuk menginformasikan
produk terbaru dari sebuah lembaga/perusahaan bisnis, ternyata telah berubah
menjadi wahana pencitraan, pengemasan, perekayasaan, atau “estetisasi” produk
barang. Di dalam estetika komoditi itu yang dipaketkan bukan hanya barang yang
diiklankan, tetapi juga figur bintang iklan atau “ikon pop”. Itu artinya,
ketika kita menghadapi kotak ajaib bernama televisi, kita sesungguhnya tidak
hanya tengah berhadapan dengan informasi an
sich. Tetapi, pada saat yang sama kita juga sedang berhadapan dengan
“kebudayaan yang dipaketkan” atau “kebudayaan kemasan”. Di dalam budaya kemasan
itu, citra menjadi lebih penting dari makna. Atau, dengan citra itu aneka-makna
dibangun oleh produsen dan ditafsirkan oleh produsen. Untuk membangun citra,
produk barang yang diiklankan atau komoditi itu perlu diperindah atau dikemas
dengan semenarik mungkin agar memukau khalayak. Semua ini tidak lain untuk
memenuhi prasyarat komoditi tontonan yang akan dipajangkan di etalase budaya
populer.
Tak
heran, kalau kita juga bisa menyaksikan tak jarang dilayar kaca, iklan justru
lebih menarik dari sebuah mata acara yang justru semula dirancang untuk
menghibur. Dengan estetika komoditi, kita justru merasa senang dan larut
meskipun sebenarnya kita tengah dihibur oleh berondongan iklan barang-barang
yang menyihir kita untuk selalu membeli, berbelanja, dan hidup dalam gaya.
Rupanya produk estetika komoditi ini menjadi sisi lain pertumbuhan masyarakat
kapitalisme kontemporer yang telah berhasil memasuki dan menaklukkan ruang
keluarga kita termasuk yang paling privasi sekalipun. Perlahan tapi pasti, kita
sudah terbiasa dihibur bahkan diteror oleh iklan. Padahal, iklan dengan
kekuatan budaya citranya itu telah menjadi semacam mesin kapitalisme yang
menyihir hati konsumen untuk senantiasa haus akan sesuatu yang baru, untuk
kemudian memiliki dan membelinya. Barang yang diiklankan itu bisa saja
sebenarnya hanya barang komoditi yang biasa-biasa saja (dari segi mutu), tetapi
dengan trik-trik dan manipulasi yang bermain di balik ideologi iklan ia berubah
menjadi produk yang begitu menawan dan memikat hati konsumen (dari segi citra).
Inilah logika dari estetika komoditi tersebut.
Dalam
hal ini perlahan tapi pasti, televisi menjelma menjadi”lembaga pendidikan
imajiner” anak-anak zaman modern. Televisi bahkan telah ikut menjadwal-ulang
dan mendiktekan waktu belajar, bermain, dan tidur anak-anak.
“TV
is waching you!” bisa dijelaskan lewat percepatan dalam pergantian produk
komoditi yang terus mengalami peng-estetika-an (estetisasi komoditi). Siklus
dunia mode yang terus berputar dalam percepatan irama kehidupan dan hasrat
manusia tengah mencapai titik balik ketika televisi menjadi ajang estetisasi
komoditi, di satu sisi, dan komodifikasi estetika, di sisi lain.
Dengan
estetika komoditi ini memungkinkan informasi kekerasan lewat film atau objek
lainnya berubah menjadi “estetika kekerasan” yang pada gilirannya menjelma
menjadi “kekerasan estetika” itu sendiri. Dan, “komoditi kekerasan” di telivisi
pun sebenarnya menjadi sebentuk “kekerasan komoditi”. Seperti halnya tayangan
teror dan sadisme di layar kaca telah menjadi hiburan kita sehari-hari.
Informasi kriminalitas telah menjadi santapan pagi. Sementara perbincangan
politik bisa menjadi dagelan. Perang pun bisa dinikmati seperti telenovela ”The
war as Telenovela,” demikian kata Omar Sauki Oliviera, 1992). Tak heran, kalau
kemudian televisi tidak hanya mampu memotret dan memediakan isu-isu yang
berkenaan dengan demokrasi, tetapi televisi ternyata juga ikut berperan dalam
menciptakan krisis demokrasi.
INSTITUSI
BUDAYA HIBRID
Melihat
kenyataan demikian, tak heran kalau televisi pun kemudian bisa menjadi
instrumen dan institusi tempat berkembang biaknya budaya hibrid. Lebih khusus
lagi televisi yang mengklaim sebagai saluran hiburan dan informasi kini
terutama saat kapitalisme hiburan, citra, dan waktu luang telah menjadi wahana
pengemasan gaya hidup (packaging life-styles? Global dan dengan budayanya yang
khas itu televisi dianggap telah menaklukkan atau mengkolonisasi waktu luang
(colonizing leisure time).
Lantas, kalau kita bermaksud
mendiskusikan budaya dalam konteks kebudayaan suatu bangsa, setidaknya kita
harus mencari kesamaan persepsi mengenai apa yang kita maksud dengan
“kebudayaan bangsa” itu. Kebudayaan suatu bangsa telah memberikan kepada kita
sense of identity. Kebudayaan Indonesia, misalnya memberikan kepada kita sense
akan identitas keindonesiaan; kebudayaan Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Padang atau
Melayu, misalnya memberikan kepada kita sense akan identitas kajawaan,
kesundaan, kebatakan, kebugisan, kepadangan, atau kemelayuan kita di bawah
payung keindonesiaan. Sementara, dengan identitas lokal, orang merasa terikat
dan menjadi bagian dari sub-kultur kawasan lokalitas tertentu. Budaya lokal,
baik berupa bahasa atau pola perilaku tertentu senantiasa terikat oleh konteks
ruang dan waktu lokal.
Namun,
persoalan definisi muncul manakala kita merujuk ke salah satu contoh sub-kultur
yang lahir dari industri hiburan/tontonan semacam MTV, misalnya. Karena, di
baliknya sesungguhnya tengah berlangsung penjungkirbalikkan yang luar biasa
terhadap definisi budaya lokal. Budaya lokal marah telah dimanfaatkan,
dikonstruksikan, direkayasa, dimanipulasi, dicangkok, atau didaur-ulang untuk
kepentingan pasar budaya global. Sementara, budaya global yang serba-seragam
justru diperuntukkan bagi pemuasaan selera konsumen lokal. Sehingga memang ada
kontradiksi kalau kita melihat lebih dalam apa yang dimaksud sebagai “paket
acara yang berwarna lokal” seperti terlihat pada industri hiburan anak muda kemasan
MTV Asia yang kian marak di tanah air sejak akhir 1990-an. MTV, dalam kasus
ini, telah menjadi semacam “kotak ajaib” tempat “ruang pembiakan” budaya baru
di kalangan anak muda yang menjadi khalayak setianya.
DARI
IMPERIALISME MEDIA KE GLOKALISASI
Perhatian utama
kajian komunikasi internasional selama ini amat terfokus pada struktur dan arus
media internasional (Hur,1982). Sehingga pada tahun 1960-an muncullah suatu
kerangka teoretis yang utama dalam bidang penelitian ini. Yakni tesis
imperialisme media. Imperialisme media dinilai sabagai wajah atau sarana baru imperialisme
kebudayaan barat (Westernisasi/Amerikanisasi) yang menggunakan kekuatan media
sebagai saluran hegemoni, dominasi, atau kolonisasi kesadaran terhadap
negara-negara pinggiran kekuasaan Amerika (negara berkembang dan juga Eropa).
Kajian
imperialisme media, kemudian mengalami pendalaman dengan munculnya konsep
“glokalisasi” pada awal 1990-an. Para peminat kajian glokalisasi ingin
menunjukkan bahwa saat ini telah berlangsung perubahan dan pergeseran budaya
nan dahsyat yang dialami masyarakat kontemporer dalam skala besar. Glokalisasi
juga mengandung makna bahwa proses perubahan sosial adalah suatu hasil
perpaduan dari dua kekuatan sekaligus yakni proses homogenisasi
(penunggalan/penyeragaman) budaya dan heterogenisasi
(pembhinnekaan/penganekaragaman) budaya. (Rebertson, 1992;Wang, 1997). Istilah
“glokal” sendiri sebenarnya berasal dari pengertian “penglokalan atau
lokalisasi yang global”: suatu strategi bisnis yang pertama kali dikembangkan
di Jepang untuk menghadapi serbuan budaya populer Amerika.
Strategi glokalisasi
sendiri mengacu pada “ suatu cara pandang global yang diadaptasi untuk
kondisi-kondisi lokal”. Dengan glokalisasi ini sekaligus berlangsung tanpa
henti proses “peng-lokal-an budaya global” dan/atau “peng-global-an budaya
lokal”. Proses saling- pengaruh, saling-merembesi, saling-melengkapi antara
budaya lokal dan budaya global inilah yang melahirkan apa yang disebut sebagai
“budaya hibrid” (hybrid culture). Hibriditas kultural ini kemudian mengubah
“perbedaan” ke dalam “persamaan” dan sebaliknya “kesamaan” kedalam “perbedaan”,
tetapi dengan cara membuat yang sama tidak lagi sama, yang berbeda tidak lagi
sepenuhnya berbeda. Sehingga yang tampil tidak hanya identitas budaya yang
baru, tetapi juga berlangsungnya penjungkirbalikan nilai-nilai demi memenuhi
kriteria atau standar yang global dan yang lokal (glokal) itu secara
berbarengan.
PERANG
BUDAYA YANG TANPA PEMENANG?
Pertarungan
antara proses penunggalan-penyeragaman dan pembhinnekaan-penganekaragaman
budaya ini telah memicu terjadinya semacam “Perang Budaya” (Culture War).
Ketika budaya global menerpa, budaya lokal mencari format dan ruang pengucapan
lokal yang baru. Ketika media global menyerbu, media lokal menanggapi dengan
menyediakan ruang bagi idiom-idiom lokal dan media alternatif menyusun kekuatan
untuk menawarkan cara pandang lain dalam menghadapi realitas yang terkadang
dirasa menyakitkan. Namun, sesungguhnya dalam perang budaya itu tidak mesti ada
pihak pemenang atau pecundang. Karena yang akan menjadi pemenang adalah
kapital, modal, dan logika pasar. Kekalahan dalam perang budaya itu kini seolah
menjadi nisbi. Sebuah negara berkembang bisa saja kebudayaan lokalnya
ditaklukkan oleh globalisasi budaya kemasan kebudayaan massa Amerika yang
serba-seragam dalam bentuk “Coca-colanisasi” atau “ McDonaldlisasi” yang
mereduksi ruang kultural lokal.
Akan tetapi, toh, unsur-unsur, sentimen-sentimen, cita-cita atau muatan lokal
bisa saja direkayasa ataupun dicangkok demi kepentingan penguatan pasar global
atau cengkeraman gurika kapitalisme multinasional. Itulah sebabnya kita bisa
melihat betapa telanjangnya proses “glokalisasi” ini dalam bentuk gaya hidup
yang ditawarkan iklan dan iklan gaya hidup di media massa.
Gaya
hidup untuk menghabiskan waktu luang dengan bersenang-senang dan budaya belanja
adalah bukti hidupnya budaya hedonis di kalangan sebagian anak muda, dan ini sudah meruyak di mana-mana. Fenomena ini
sebagian besar ditopang oleh iklan televisi dan maraknya pusat perbelanjaan
ultra-modern seperti mal yang kini sudah berdiri nyaris di setiap provinsi,
kabupaten dan kota di Indonesia. Tak usah heran kalau sehari-hari orang sudah terbiasa
dihibur oleh iklan yang menjadi semacam “industrialisasi hasrat” yang
mengkonstruksi kehidupan belanja dan show kemewahan di kalangan kelas menengah
kita.
Munculnya
budaya hibrid ini sebagai cangkokan budaya “global-lokal” yang dibiakkan lewat
industri budaya masa ini setidaknya mengingatkan kita akan kian menguatnya
kontradiksi, ambiguitas, kecemasan, krisis, atau kalau boleh dibilang semacam “kiamat
kebudayaan masa” di balik proses glokalisasi itu sendiri dalam maknanya yang
paling radikal dan subtil.
Kalau demikian halnya,
memang, kita harus menjadi khalayak yang semakin cerdas dan kritis sembari
terus “bercinta dengan TV”. (Mulyana dan Ibrahim, 1998). Sehingga kita tidak
hanya membunuh detik-detik waktu luang ini dengan kehampaan makna (emptiness of
meaning) yang pada akhirnya hanya akan menciptakan luka di dalam ruang batin
kebudayaan bangsa.