Source: http://caramembuat524.blogspot.com/2014/01/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html

Sabtu, 05 Mei 2012

POLEMIK RUUK Yogyakarta Kajian Politis tentang Penetapan atau Pemilihan


PERNYATAAN SBY DAN POLEMIK YANG TERJADI
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang kelanjutan pembahasan rancangan UU status keistimewaan Yogyakarta dalam rapat kabinet beberapa waktu yang lalu mengundang reaksi keras dari masyarakat luas, khususnya warga DIY.
Reaksi serupa sebenarnya sudah muncul sejak wacana keistimewaan Yogyakarta hendak diatur kembali dalam UU yang baru beberapa tahun sebelumnya. Pada intinya masyarakat menganggap masalah keistimewaan Yogyakarta sudah final dan tidak perlu dibicarakan kembali. Upaya penghapusan terhadap keistimewaan itu dianggap sebagai pengingkaran dan pengkhianatan terhadap sejarah, khususnya peran Sultan HB IX selama masa-masa awal berdirinya Republik ini.
Berdasarkan kajian komunikasi massa, pernyataan presiden SBY ini adalah suatu siasat dalam menyelesaikan RUUK[1] Yogyakarta yang sebelumnya belum mampu diselesaikan oleh pemerintah dan parlemen. Apalagi setelah disahkannya rancangan RUUK Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ini menjadi sebuah pertanyaan bagi warga jogja yang ingin memperoleh status konstitusional tentang pemilihan kepala daerah yang selama ini berjalan dengan penentapan. Namun nyatanya, payung hukum yang ditunggu ini juga belum selesai. Sehingga, SBY sebagai presiden melempar isu tentang pemilhan untuk gubernur yogyakarta.

DEMOKRASI VS MONARKI
Demokrasi vs Monarki Perdebatan negara demokrasi versus negara monarki menyeruak ke publik usai   pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) pada rapat terbatas kabinet, Jumat (26/11). Presiden menyatakan bahwa Indonesia pada hakikatnya adalah negara hukum dan demokrasi di mana nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi. Menarik pernyataan Presiden berkaitan dengan RUUK  DIY ini, pertama, menyiratkan keinginan pemerintah untuk menyelesaikan RUUK yang  selama ini berlarut-larut. Kedua, "teguran" Presiden kepada Kepala Pemerintah Provinsi DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, membuka celah demokrasi konstitusional yang kontekstual yang dinginkan publik dewasa ini. Meminjam istilah sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola, Pemerintah DIY mengalami "kekagokan" dalam menjalankan demokrasi . Di satu sisi, DIY merupakan daerah istimewa yang menempatkan keistimewaannya pada Keraton Yogyakarta Hadiningrat, di mana raja sebagai kepala kerajaan sebagaimana kekuasaan monarki. Di sisi lain, DIY sebagai wilayah administratif yang dipimpin oleh gubernur. "Kekagokan" muncul ketika raja sebagai pemimpin tradisional  kerajaan[2].
Makna demokrasi yang dilontarkan SBY tidak dapat dipahami oleh warga jogja, karna faktor sosial historis. Apalagi SBY sendiri adalah sosok yang anti demokrasi mengingat demokrasi yang dianut adalah demokrasi liberal ala Amerika. Dan lebih cenderung terlihat sebagai demokrasi semu. Faktanya adalah, pada Era Rezim SBY banyak kebijakan yang memasung hak-hak demokrasi seperti adanya PROTAP (Prosedur Ketetapan) untuk kepolisian, RUU Intelijen, UU Sisdiknas dan BHP ( untuk kalangan akademis), dan kasus Bumi hangus ditanah papua. Pernyataan SBY tentang monarki Jogja dengan landasan demokrasi justru menjadi kontradiktif, ketika persepsi warga / masyarakat tentang SBY sudah seperti itu.
Disatu sisi Monarki Jogja memang juga tidak sepenuhnya tepat, kenapa karena menimbulkan kecemburuan sosial dengan bekas-bekas kerajaan di nusantara yang saat ini tidak mempunyai kekuasaan penuh, seperti Kesunanan Surakarta, Kesultanan Ternate, Kerajaan di Kepulauan Riau, dan lain-lain. Walaupun secara konstitusi ada terlihat sikap untuk menghormati Keistimewaan Yogyakarta.

Landasan Yuridis Keistimewaan Yogyakarta[3]
Landasan keistimewaan legal/yuridis artinya bahwa keistimewaan yang dimiliki oleh DIY berbasis pengakuan legal/yuridis/hukum dari negara RI, berdasarkan sejarah, budaya, dan hak asal-usul menurut UUD 1945.  
Pengakuan hukum itu antara lain menegaskan bahwa DIY  diakui secara sah sebagai daerah yang berkedudukan istimewa dan memiliki kewenangan khusus untuk menyelenggarakan  pemerintahan.
Pengakuan hukum itu tercantum antara lain dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; UU Nomor 3 Tahun 1950; UU Nomor 9 Tahun 1955; dan UU Nomor  55 Tahun 1974. Pengertian landasan yuridis yang sama ini  sesungguhnya juga berlaku pada kedudukan hukum  keistimewaan yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Aceh, kekhususan Jakarta sebagai ibu kota negara, serta kekhususan Pemerintah Provinsi Papua.
Jika dilihat dari isi UU itu, jelas bahwa keistimewaan itu dimaknai pemerintah pusat memberikan dalam bentuk otonomi khusus, walaupun istilah itu tidak digunakan dalam UU itu. Otonomi khusus itu meliputi 13 bidang pada UU No 3 Tahun 1950 dan kemudian diperluas menjadi 15 bidang pada UU No 19 Tahun 1950, dari urusan pemerintahan umum, sosial, kebudayaan, pendidikan, agraria, hingga masalah transportasi dan lalu lintas.
Pada masa pemerintahan Soeharto, otonomi khusus itu sedikit demi sedikit mulai dihilangkan dengan diterapkannya UU baru tentang pemerintahan daerah. Sayang bahwa selama perubahan UU tentang pemerintahan daerah, Sultan sebagai kepala daerah dan Gubernur DIY tidak lagi dilibatkan. Saat ini keistimewaan itu hanya dikenal dalam satu aspek, yaitu bahwa kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY otomatis akan dipegang Sultan dan Paku Alam.
Landasan Historis Keistimewaan Yogyakarta
Mengapa pemerintah pusat memberikan status daerah istimewa kepada Yogayakarta? Di samping landasan yuridis formal tersebut, status itu juga diberikan dari sisi landasan sosial dan historis. Hal itu dapat pahami dengan merunut kejadian terutama sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga 1950 sebelum status istimewa itu diformalkan dalam bentuk UU.
Sultan HB IX, Paku Alam VIII, dan rakyat Yogyakarta telah menunjukkan konsistensi dan komitmen mereka dalam mendukung berdirinya Republik, terutama selama periode perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Buku-buku sejarah telah mengungkap secara luas tentang kontribusi Sultan-Paku Alam dan rakyat Yogyakarta dalam peristiwa-peristiwa itu.
Sultan secara aktif telah turut menggagas Serangan Oemoem 1 Maret yang telah berhasil membuka mata dunia tentang eksistensi Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Bahkan, Sultan telah mengeluarkan lebih dari 5 juta gulden untuk membiayai sebagian besar pengeluaran pemerintah RI ketika ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, menyediakan akomodasi bagi para menteri dan keluarga mereka. Dukungan serupa juga diberikan rakyat kebanyakan di Yogyakarta dengan ikut serta membatu tentara yang melakukan perlawanan dan gerilya baik di dalam maupun di luar kota.
Konsistensi Sultan HB IX dan rakyat Yogyakarta dalam mendukung dan mempertahankan Republik inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah Soekarno dan Hatta untuk memberikan status istimewa kepada Yogyakarta segera setelah pengakuan kedaulatan dari pemeritah Belanda pada akhir 1949.

Kajian Politis tentang Polemik RUUK
Pertama, kajian ini didasarkan atas kepentingan SBY untuk menyebarluaskan liberalisme ke tanah Jogja. Selama, Sultan masih berdaulat penuh atas Jogja maka SBY akan kesulitan untuk mewujudkan kepentingannya tersebut. Seperti potensi Tambang pasir besi di Kulon progo, pembangunan jalur lintas selatan untuk kepentingan lancarnya arus modal asing, dan memenangkan percaturan politik dengan menyusun konsep demokrasi liberal di jogja.
Kedua, potensi pariwisata jogja yang sangat terkenal ke dunia internasional menjadikan pemerintah pusat untuk tergiur meliberalkan pariwisata di jogja. Seperti rencana pembangunan terowongan bawah tanah di malioboro, pembangunan resort megah di parangtriris, parangkusumo, depok, serta pantai-pantai selatan di yogyakarta[4].
Ketiga, adalah potensi mengkomersialisasikan Pendidikan. Jogja yang terkenal sebagai kota pendidikan membuat SBY melihat ada potensi untuk dikomersilkan. Seperti kasus, portal UGM, dan beberapa kampus-kampus swasta yang menjadikan sebuah lembaga universitas seperti perusahaan dan perputaran modal. Dengan dukungan UU Sisdiknas, BHP (Sudah dicabut Oleh MK), dan beberapa aturan-aturan yang melegalkan komersialisasi pendidikan.
Keempat, Posisi Sultan yang aktif dalam percaturan politik. Sultan HB X yang juga menjadi ketua dewan penasihat Golkar dan Nasional Demokrat, membuat SBY ketakutan akan geliat politik yang dilakukan oleh sultan. Apalagi pada pilpres sebelumnya Sultan HB X mendeklarasikan dirinya menjadi Calon presiden.
Beberapa kajian diataslah yang membuat SBY sebagai presiden untuk menjegal langkah sultan dengan sedikit menghilangkan wewenangya atas jogja dan tentunya akan juga berpengaruh pada geliat politik sultan.

PENETAPAN atau PEMILIHAN ?
Perihal inilah yang paling krusial dalam polemik RUUK Yogyakarta. Keinginan pemerintah untuk melangsukan pemilihan juga berdasarkan UUD 1945, begitu juga Penetepan yang secara konstitusi dilindungi oleh UUD 1945.
Tapi secara pemikiran, idealnya memang harus dilaksanakan pemilihan selagi tidak menghilangkan keistimewaan Jogja. Karena sultan sendiripun tidak bisa dipaksa seumur hidupnya untuk menjadi gubernur. Contoh saja, sewaktu pencalonan presiden oleh sultan. Hal itu membuktikan bahwa ada obsesi politik sultan yang ingin menjadi presiden. Kontradiksinya adalah masyarakat feodal jogja, yang masih sangat mensakralkan posisi sultan sebagai raja yang maha benar. Dan tidak ingin jogja ada percaturan politik secara pemilihan gubernurnya.
Penetapan juga sejatinya menunjukkan monarki jogja menjadi absolut, karena tidak ada mekanisme demokrasi seperti di daerah lain. Sederhana, jika rakyat jogja cinta dengan sultan dan menginginkannya menjadi gubernur pastilah sultan akan menang dalam pemilihan.
Penetapan juga memiliki kekurangan jika sultan bertindak otoriter. Sebagai kasus adalah kasus penggusuran di pantai parangtritis, depok, parangkusumo, dengan landasan mendiami tanah sultan ( dengan logika feodalisme / tuan tanah). Mana ada raja yang tega menggusur rakyatnya, tapi nyatanya ini terjadi. Lantas bagaimana kasus ini bisa diusut jika sultan memegang absolut wewenangnya sebagai raja sekaligus gubernur yogyakarta

TRACK RECORD SULTAN HB X sebagai Gubernur
Sisi Keberhasilan
·         Provinsi Yogyakarta sebagai provinsi terbersih dari korupsi
·         Citra Yogyakarta sebagai tempat yang nyaman dan aman
·         Biaya kehidupan yang relatif murah


Sisi Kegagalan[5]
·         Kasus Penggusuran di pesisir Pantai Selatan
·         Penetepan Upah Minimum Provinsi 2011 sebesar Rp. 808.000,-
·         Mahalnya biaya pendidikan di beberapa universitas negeri dan swasta
·         Beberapa kasus PHK Buruh, legalisasi outsourcing, dll.

SOLUSI
Jalan tengah yang harus ditempuh memang adalah menggelar pemilihan dengan tidak menghilangkan keistimewaan Jogja. Sultan tetap berkuasa menjadi Raja, namun tidak otomatis menjadi Gubernur, karena harus ada legitimasi rakyat dalam menghendaki posisinya.
Jika Tuntutan Referendum dilaksanakan maka ini akan membahayakan NKRI, dan membuat Jogja menjadi negara termiskin seperti kasus Timor Leste, sebab aset-aset pemerintah akan diambil alih atau dimusnahkan dan mengancam kesejahteraan warga atau masyarakat.
Sidang rakyat yang kemarin sempat dilakukan belum dapat dijadikan acuan sebab belum mewakili suara masyarakat yogyakarta sepenuhnya. Sehingga harus ada mekanisme yang tepat. Namun keistimewaan jogja tetap harus dipertahankan agar jogja bisa menepis arus liberalisasi kapitalisme dan neoliberalisme yang dirancang oleh rezim busuk SBY-Budiono.
Hidup Mahasiswa,
NKRI Harga Mati
Yogyakarta tetap ISTIMEWA....

 REFERENSI :
  
Notulensi diskusi RUUK Yogyakarta di Fakultas Hukum UII, 15 Desember 2010
www.kprm-prd.org
Hasil survey LBH Justice For People Yogyakarta pada Seminar Publik, 28 November 2010 Di Asrama IKPM-Sumatera Selatan


[1] RUUK adalah Rancangan UU Keistimewaan
[2] Menurut pendapat Arvie Dwi Purnomo(Peneliti di Mahkamah Konstitusi), pada Diskusi RUUK di Fakultas Hukum UII, 15 Desember 2010
[3] Menurut pendapat Prof Dr Djoko Suryo, Guru Besar pada Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta, pada Tulisannya di suara merdeka online jum’at – 3 desember 2010
[4] Berdasarkan data survey dari LBH Justice for People tentang potensi liberalisasi kapitalisme di yogyakarta
[5] Pada pernyataan sikap Aliansi Rakyat Menggugat dan Aliansi Masyarakat menolak penggusuran, tentang penggusuran dan kasus phk buruh di saphir square dan SPBU gedongtengen, lihat selengkapnya pada www.kprm-prd.org

Filsafat Timur, Barat, Timur Tengah, dan Filsafat di Indonesia


Filsafat
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah prose dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Etimologi
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf"

Klasifikasi Filsafat :

Dalam membangun tradisi
 filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya.Kategori menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx,Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
§  Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalamOntologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam Kosmologi.
§  Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
§  Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
§  Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.
§  Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.

Filsafat Timur

Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

Filsafat Timur Tengah

Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarahnya merupakan para filsuf yang bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibran dan Averroes.
Filsafat Di Indonesia
Filsafat Indonesia adalah sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam berbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia, meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh M. Nasroen, seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama Jurusan Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38). Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ...pemikiran primordial... atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya...(Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi. Secara kebetulan,Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, budaya ataukebudayaan, yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.

Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.

Sebagai suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis,Indonesia: Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudulFalsafah Indonesia (1967).

Resensi Film The Karate Kid


The Karate Kid adalah remake dari film lawas dengan judul yang sama yang dibuat pada tahun 1984 silam. Dan syukurlah, tidak seperti kebanyakan film remake yang jadinya justru lebih parah, yang satu ini boleh dikata LUAR BIASA BLEH!
Dari sisi plot cerita, meski ada sedikit perbedaan latar belakang, namun secara garis besar sama. Cara Mr Han mengajarkan kung fu kepada Dre dengan menggunakan gerakan umum yang bisa dilakukan sehari-hari juga mirip dengan cara Mr. Miyagi 26 tahun lalu. Dan sudah jelas, adanya turnamen di sesi akhir film juga sama dengan versi aslinya. Yang harus diacungi jempol adalah bagaimana sang sutradara, Harald Zwart, berhasil menampilkan keindahan negeri Cina TANPA harus berkutat pada tembok Cina. Juga pemilihan karakter Mei Ying yang, meski tidak cantik, namun mengentalkan nuansa negeri Cina dalam The Karate Kid.
Dari sisi pemain, Will Smith dan Jada Pinkett Smith sudah jelas bangga melahirkan Jaden Smith. Dengan wajah dan kelakuan yang Will Smith banget, Jaden jelas menunjukkan bakat alaminya sebagai aktor. Bahkan untuk bermain di film ini, ia tidak sungkan untuk belajar kung fu terlebih dahulu selama berbulan-bulan dan melakoni sendiri SEMUA adegan di film tersebut tanpa menggunakan pemeran pengganti. Untuk Jackie Chan rasanya tidak perlu diragukan lagi. Setelah beberapa film terakhirnya yang kualitasnya agak di bawah rata-rata, akhirnya si Drunken Master ini bisa menunjukkan lagi kebolehannya. Peran Taraji Henson sebagai ibu Dre juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Meski tidak terlalu sering eksis, namun si nominator Oscar ini mampu membuat film The Karate Kid lebih hidup.
Secara keseluruhan, hanya satu yang bisa saya katakan — TONTON LAH,,,,!
Kelebihan Film ini :
Memotivasi kita untuk terus berusaha sampai puncak. Yaitu dengan rajin latihan dan berusaha.
Di dalam film ini juga menyisipkan suatu nilai sosial dimana kita harus berani melawan rasa takut kita kepada siapapun. Agar tidak terus dibayangi oleh rasa ketakutan itu.

Kekurangan Film ini :
Untuk film bergenre anak-anak, perkelahian yang terjadi pada film bisa dibilang terlalu keras.
Deskripsi
Release Date : June 11, 2010
On DVD: October 5, 2010
Genre: Family, Action
Director: Harald Zwart
Writer: Chris Murphy, Steven Conrad
Cast: Jackie Chan, Jaden Smith, Taraji P. Henson
AKA: Kung Fu Kid
Studio: Columbia Pictures
Official site: karatekid-themovie.com
Running Time: 126 minutes

Cast
Jaden Smith … Dre Parker
Jackie Chan … Mr. Han
Taraji P. Henson … Sherry Parker
Wenwen Han … Meiying
Rongguang Yu … Master Li
Zhensu Wu … Meiying’s Dad
Zhiheng Wang … Meiying’s Mom
Zhenwei Wang … Cheng
Jared Minns … Dre’s Detroit Friend
Shijia Lü … Liang
Yi Zhao … Zhuang
Bo Zhang … Song
Luke Carberry … Harry
Cameron Hillman … Mark
Ghye Samuel Brown … Oz
Rocky Shi … Ur Dang
Ji Wang … Mrs. Po
Harry Van Gorkum … Music Instructor
Tess Liu … History Teacher
Xinhua Guo … Tournament Doctor
Jijun Zhai … Mat 4 Referee
Shun Li … Mat 5 Referee
Yanyan Wu … Mrs. Xie
Tao Ji … Announcer
Chen Jing … Man on Plane Speaking Chinese
Wentai Liu … Dude from Detroit
Geliang Liang … Ping Pong Man
Xu Ming … Bao

Strategi Retorika


STRATEGI DAN KONSEP KOMUNIKASI

Prinsip dasar retorika adalah komunikasi sehingga strategi pencapaian tujuannyan pun mengacu pada strategi dan konsep komunikasi. Adapun istilah “konsep” pada hakikatnya merupakan set dasar dan utama dari suatu teori. Secara alamiah dalam diri manusia selalu terjadi proses pembuatan konsep ini. Peningakatan berteori berkaitan erat dengan kecakapan dalam mempersepsi sesuatu. Kepandaian atau inteligensi manusia tidak saja bisa meningkat dengan pengalaman, tetapi juga dengan kemampuan untuk menarik manfaat dari pengalaman itu. Dalam hal ini ada dua macam kemampuan yang ada korelasinya dengan inteligensi tadi, yaitu kepandaian untuk menarik kesimpulan dan menjelaskan hal-hal yang diamati melalui prinsip-prinsip umum. Penjelasan tersebut adalah apa yang disebut dengan “konsep” (Newcomb, 1978:202).
Khusus dalam hal interaksi antar manusia seperti pada forum retorika dapat dipastikan perseptor, baik orator maupun hadirin, menganggap orang lain (masing-masing pihak yang dipersepsinya) sebagai perseptor juga seperti halnya dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini orang memperhatikan orang lain (O) akan beranggapan bahwa orang lain (OL) pun sama mempersepsikan ciri-ciri yang menonjol dari situasi dan kondisi pada saat itu, dan juga mempersepsi segala sesuatu yang mereka komunikasikan.
Dalam hal mempersepsi suatu obyek atau stimulus, wilbur Schramm menjelaskan kerja otak manusia (Onong, 1973:53) dengan mengilustrasikan pada suatu diagram yang telah dibahas dalam mekanisme psikologis suatu komunikasi apapun, termasuk retorika.
Lyle Bourne dalam buku Human Conceptual Bahavior menyatakan, konsep muncul kapan saja di saat dua atau lebih obyek serta peristiwa yang berbeda dikelompokkan untuk dijadikan bagian dari obyek lain atas dasar kesamaan ciri dan sifat masing-masing. Suatu konsep di bentuk dengan melihat dunia tidak terpecah-pecah , melainkan dengan mengorganisasikannya dalam bentuk hierarki misalnya. Dengan demikian orang bisa mengelompokkan obyek tertentu atas dasar pengamatan komunalitas, sehingga dia akan mengatakan apel sebagai sebagai salah satu jenis buah-buahan (Littlejohn,1978:136). Dalam hal ini perilaku konseptual mencakup dua aktivitas utama, yaitu mengkaji tentang “konsep” (conceptual formation dan “penggunaannya” (concept utilization) dalam kehidupan.
Strategi, berasal dari istilah bahasa yunani yang aslinya berarti “seni sang jenderal” atau “kapal sang jenderal” dankemudian diperluas mencakup seni para laksamana dan komandan angkatan udara (Sills, 1972:281). Dari perspektif psikologi, strategi dianggap sebagai metode pengumpulan informasi dan pengorganisasiannya sehingga dapat menetapkan suatu hipotesis. Dalam proses penentuannya, strategi ini merupakan proses berpikir yang mencakup pada apa yang disebut simultaneous scanning (pengamatan simultan) dan conservative focusing (pemusatan perhatian). Maksudnya, strategi dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara terpusat dan hati-hati. Sehingga bisa memilih dan memilahtindakan-tindakan yang lebih efektif untuk mencapai suatu tujuan (John, 1972:52)  strategi merupakan upaya pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Karena itu pula littlejohn menyamakan strategi ini dengan “rencana suatu tindakan” dan metodologinya yang sangat mendasar dikemukakan Burke (Littlejohn,1978:72) sebagai the dramatistic pentad (segi limadramatistik) dengan perincian sebagai berikut :
Act, scene, agent, agency, purpose.
Strategi merupakan rancangan atau desain kegiatan dalam wujud penentuan serta penempatan semua sumberdaya yang menunjang keberhasilan suatu pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Kebijaksanaan, pada hakikatnya merupakan seni pengambilan keputusan yang teliti serta hati-hati dan didominasi oleh preosedur yang bersifat efektif dan efisien dalam memilih suatu tindakan (majone, 1981:15).
Konsep utama dalam melakukan kebijaksanaan ataupun perencanaan itu tiada lain adalah berfikir secara rasional berdasarkan fakta, data, dan fenomena yang ada untuk dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mewujudkan apa yang ingin dicapai. Allah Swt melalui surat al-Hasyr:18 telah mewajibkan kepada manusia untuk memperhatikan apa yang telah dikerjakannya untuk hari esok, dalam arti tersirat adanya kewajiban untuk merencananakan segala sesuatu tindakan yang akan dilakukannya. Sudah tentu dengan mempertimbangkan fakta, adta, dan fenomena yang dihadapinya. Maka berdasarkan ketiga unsur itu, perhatian pun dipusatkan pada pemikiran yang diarahkan kepada persoalan yang bisa dinyatakan dalam rumus 5W+1H sebagai akronim dari pertanyaan-pertanyaan:
What, why, who, where, when, dan how.
Adapun uraian suatu kebijaksanaan yang dilandasi pertimbangan demikian dapat dianggap sebagai pola tindakan yang mencakup unsur-unsur pengikat suatu keahlian berpikir dalam  menentukan langkah kerja. Dalam hal ini Majone (1981:18) mengemukakan empat unsur pokok sebagai timbulnya suatu tugas yakni: 1) materi, 2) dayaguna, 3) formal, 4) final.
Konklusi merupakan hubungan antara komunikasi antara antar unsur-unsur tersebut dengan implementasinya. Maka analisis pemikiran dalam suatu kebijaksanaan pun akan mencakup masalah data, fakta, informasi, argumen, dan konklusi. Apabila dikonfirmasikan dengan teori the dramatistic pentad tadi, kiranya keempat unsur utama “penyebab timbulnya tugas” tersebut merupakan komponen yang menjiwai kelima segi unsur strategi. Dengan kata lain, strategi suatu tindakan adalah “kebijaksanaan” dalam mengatur komunikasi di antara aksi-aksi yang harus diambil, pelaksananya (aktor), suasana, alat,dan tujuan (maksud) setiap aksi (tindakan) itu, dengan memperhatikan unsur-unsur materi, daya guna, formalitas, dan finalisasi (konklusi) yang ditetapkan sebagai keputusan terakhir. Sedangkan kebijaksanaan merupakan pola pikir dalam mengambil keputusan untuk menetapkan pengaturan dan penataan komunikasi antar sumberdaya yang ada, serta menghubungkannya dengan implementasinya yang akan diwujudkan dalam bentuk taktik. Dalam proses “penyusunan strategi” tindakan terakhir yang dimaksudkan tadi adalah keputusan untuk memilih, memilah, mempertimbangkan, dan menetapkan unsur-unsur serta kebijakan yang bisa digunakan untuk menunjang kelancaran jalannya pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sudah tentu semuanya menuntut adanya pemikiran yang didasari pengalaman, pengetahuan, dan praktik-praktik yang melandasi terwujudnya suatu “konsep”.

STRATEGI KOMUNIKASI DALAM RETORIKA

Karena retorika memiliki prinsip dasar komunikasi, maka dalam penyusunan strateginya pun memperhitungkan strategi komunikasi pula. Strategi pada komunikasi dapat dikatakan suatu pola pikir dalam merencanakan kegiatan mengubah sikap, sifat, pendapat, dan tingkah laku khalayak atas dasar skala yang luas melalui penyampaian gagasan. Orientasinya terpusat pada tujuan akhir yang hendak dicapai dan merupakan kerangka sistematis pemikiran untuk bertindak dalam melakukan komunikasi. Dengan demikian strategi komunikasi adalah bagian dari perencanaan komunikasi, sedangkan perencanaan komunikasi itu sendiri, selain langkah awal dari proses pelaksanaan retorika, juga merupakan pengejewantahan dari kebijaksanaan dalam menentukan langkah-langkah dan sumber daya yang harus digunakan dalam proses retorikannya.
Kebijaksanaan komunikasi bagi retorika dapat disimpulkan sebagai kumpulan azas, norma, dan pertimbangan yang disusun untuk memadukan seluruh komponen dan perilaku komunikasi. Seperti halnya dalam melakukan komunikasi, komunikator harus memahami adanya sumber dan menafsirkan tujuan stimulusnya. Demikian pula komunikator harus memikirkan pembuatan pesan yang akan disampaikannya sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapainya. Pendek kata, kebijaksanaan dimaksud merupakan perbuatan atau prosedur yang dipikirkan secara hati-hati sesuai dengan kelayakan serta kecerdikan komunikatornya dalam menyusun struktur (yang melibatkan hierarki, fungsi, dan posisi komponen) organisasi komunikasinya.
Sementara itu perencanaan umumnya menggambarkan tentang cara atau langkah yang telah diputuskan dan akan dilaksanakan dalam upaya pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Sebagai proses pembuatan rencana, perencanaan komunikasi pun merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk: (1) menentukan atau membatasi masalah, (2) memilih sasaran dan tujuan, (3) memikirkan cara-cara untuk melaksanakan upaya pencapaian tujuan, dan (4) mengukur kemajuan ke arah berhasilnya tujuan itu. Oleh karena Onong menegaskan bahwa strategi komunikasi adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai tujuan komunikasi. Menurutnya, untuk mencapai tujuan itu strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah jalan, melainkan juga harus mempu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. Strategi komunikasi dimaksud harus mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis bisa dilakukan, dalam arti bahwa pendekatan bisa berbeda setiap saat tergantung pada situasi dan kondisi yang timbul saat komunikasi itu berlangsung.
Dalam hal penyusunan strategi komunikasi, Onong mensyaratkan adanya pemikiran ke arah menentukan; (1) tujuan sentral kegiatan (komunikasi) yang akan dilaksanakan, dan (2) korelasi antar komponen yang menunjang serta memperlancar kegiatan (komunikasi) tersebut. Mengenai tujuan sentral komunikasi Onong menunjuk pernyataan R. Wayne Pace, Brent D. Peterson, dan M. Dalas Burnet dalam buku Techniques for Effective Communication yang menyebutkan bahwa tujuan utama kegiatan komunikasi ada tiga, yakni: to secure understanding, to establish acceptance, dan to motivate action.
Tujuan to secure understanding adalah memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterimanya. Apabila tampak adanya pengertian dari mereka dan mau menerimanya, maka penerimaan itu harus dibina dengan cara atau tujuan kedua (to establish acceptance), sehingga akhirnya kegiatan komunikan bisa diarahkan (to motivate action) pada tindakan yang dikehendaki komunikatornya. Dalam retorika, orator harus bertindak sebagai komunikator. Selain dari itu Onong (1995 : 35) mengingatkan bahwa komunikasi merupakan proses yang rumit. Penyusunan strateginya memerlukan pemikiran dan memperhitungkan faktor pendukung dan penghambat. Komponen yang dimaksud adalah: (a) sasaran komunikasi, yang mencakup faktor kerangka referensi dan faktor situasi kondisi; (b) media komunikasi; (c) tujuan pesan komunikasi, yang pada hakikatnya disampaikan melalui isi serta simbolnya; dan (d) peranan komunikator dalam komunikasi yang meliputi daya tarik dan kredebilitasnya.
Dengan demikian strategi komunikasi dalam retorika mencerminkan kebijaksanaan dalam merencanakan masalah yang dipilih dan kegiatan komunikasi yang akan dilakukan guna memecahkan masalah itu, sedangkan manajemen komunikasinya menata dan mengatur tindakan yang akan diambil terhadap sumber daya yang tersedia guna melaksanakan strategi retorika itu. Dengan kata lain, strategi komunikasi dalam retorika menyangkut apa yang akan dilakukan (what to do), bagaimana hal itu bisa terjadi (how to make it happen). Secara singkat, Ahmad (1979: 39-41) menyusun strategi komunikasi melalui enam tahapan: 1) pengumpulan data dasar dan perkiraan kebutuhan; 2) perumusan sasaran dan tujuan komunikasi; 3) analisis perencanaan dan penyusunan strategi; 4) analisis khalayak dan segmentasinya; 5) seleksi media; dan 6) desain berikut penyusunan pesan.

Pengumpulan data dasar dan perkiraan kebutuhan
Informasi yang bersifat data dasar (base- line data) dan perkiraan kebutuhan (need assessment) adalah faktor penting dalam menentukan perumusan sasaran dan tujuan komunikasi, dalam mendesain strategi komunikasi dan mengevaluasi keefektifan komunikasi. Sasaran komunikasi biasanya dirumuskan atas dasar kepentingan dan kebutuhan khalayak yang diamati. Demikian pula prosedur evaluasi terhadap kegiatan komunikasi yang akan dilaksanakannya, baik secara formatif maupun summatif, sangat tergantung pada data dasar, terutama untuk bahan perbandingan. Dalam hal ini dikemukakan tiga komponen utama yang memerlukan koleksi data, yaitu:
1.      Khalayak sasaran (target audience) mencakup: a) jumlah dan lokasi khalayak yang hendak dicapai; b) profil sosio-ekonominya seperti: kelompok umur, pola-pola hidup keluarga, sistem kepercayaan tradisional (adat kebiasaan), norma-norma, nilai-nilai, dan lain-lain; d) sumber-sumber informasinya; dan e) pola-pola adat kebiasaan media.
2.      Pengetahuan, sikap, dan praktik yang meliputi: a) tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik khalayak sasaran bertalian dengan gagasan yang akan disampaikan; dan b) bagaimana preskripsi-preskripsi sikap (seperti kesukaan dan ketidaksukaan) khalayak sasaran bertalian dengan gagasan yang hendak ditawarkan.
3.      Inventarisasi media dan dampak, meliputi: a) pengadaan (availabilitas) dan perolehan (aksebilitas) dari media (saluran) komunikasi yang berbeda-beda; b) inventarisasi perangkat keras dan lunak; c) profil media seperti: readership, listenership, tingkat kejenuhan media, dan lain-lain; d) persepsi-persepsi visual, auditif, audio visual, dan sebagainya.

Perumusan sasaran dan tujuan komunikasi
Pada tingkat ini ada empat persoalan pokok yang perlu dipertanyakan untuk menentukan arah sasaran dan tujuan komunikasi yang direncanakan: a) siapa yang menjadi khalayak sasaran tertentu dan harus dicapai? Khalayak sasaran ini diusahakan sekhusus mungkin, dan dapat terdiri dari beberapa kelompok sasaran prioritas; b) di mana kelompok khusus (tertentu) itu berlokasi?; c) mengapa kelompok tertentu itu dipilih menjadi kelompok sasaran?; d) dengan alasan apa (mengapa) harus dicapai, maka jenis pesan apa yang harus disampaikan kepada kelompok sasaran tertentu itu? Tahapan kedua ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari tahap pertama, sebab kedua tahapan tersebut bekerja secara timbal-balik sehingga harus dilakukan secara simultan, terutama dalam menjawab persoalan “siapa” dan “di mana”.
Analisis perencanaan dan penyusunan strategi
Langkah berikutnya adalah menerjemahkan sasaran dan pernyataan kebutuhan itu ke dalam satu strategi komunikasi yang bisa dikerjakan. Ada dua aspek yang saling berhubungan dari penyusunan strategi, yaitu pemilihan pendekatan komunikatif dan penentuan jenis pesan yang disampaikan.
Analisis khalayak dan segmentasinya
Analisis khalayak sasaran merupakan faktor yang paling penting dalam mendesain suatu strategi komunikasi yang efektif. Segmentasi khalayak biasanya perlu, karena adanya ciri-ciri maupun kebutuhan yang berbeda dari khalayak. Dalam hal ini profil khalayak tercermin dari gaya hidup, sikap, dan nilai-nilai pemikirannya, yang bisa memudahkan pembuatan pesan yang akan disampaikan komunikator.
Seleksi media
Dalam menyeleksi media harus didaftarkan saluran-saluran komunikasi yang bisa mencapai khalayak. Kemudian setiap medium dievaluasi dalam batas-batas aplikabilitasnya untuk melaksanakan pencapaian tujuan komunikasi yang spesifik itu.
Desain dan penyusunan pesan
Dalam tahapan ini tema pesan, tuturan, dan penyajiannya harus ditentukan. Karenanya kegiatan pokok dari tahapan ini adalah mendesain prototipe bahan komunikasi yang juga memerlukan evaluasi formatif seperti pre-testing bahan prototipe pada khalayak sasaran. Khusus mengenai efek-efek yang perlu dipikirkan dalam menyusun strategi komunikasi, terutama dalam rangka pencapaian tujuan yang spesifik, Eric N. Berkowitz bersama Roger A. Kerin mengingatkan pendapat Lavidge tentang perlunya penentuan tujuan yang didasarkan pada hierarki efek yang merupakan rangkaian tingkat kesiapan komunikan dalam menerima pesan komunikasi yang disampaikan kepadanya. Hierarki efek dimaksud terdiri dari lima tahap, yaitu: 1) avereness (mengetahui atau menyadari), tahap di mana komunikan mampu mengenal atau mengingat pesan yang disampaikan kepadanya; 2) interest (perhatian atau minat), tahap di mana terjadi peningkatan keinginan komunikan untuk mempelajari beberapa keistimewaan dari pesan atau stimulus yang datang kepadanya; 3) evaluation (penilaian), tahap di mana komunikan menilai pesan atau stimulus yang diterimannya serta dikonfirmasikan dengan perasaan dan harapannya; 4) trial (percobaan), tahap di mana timbul kesungguhan komunikan untuk mencoba melaksanakan atau menggunakan pesan (gagasan atau barang); dan 5) adoption (pengadopsian), tahap di mana komunikan menerima atau memanfaatkan serta melaksanakan pesan setelah memperoleh pengalaman yang menyenangkan pada tahap percobaan tadi. Maksudnya, proses persuasi ataupun komunikasi dalam satu forum tertentu, seperti retorika, komunikan atau audiens tidak selalu mengubah dirinya secara tiba-tiba dari insan yang tidak tertarik pada pesan komunikasi langsung menjadi yang berkeyakinan akan manfaat pesan yang diterimanya itu.

METODE DAN TEKNIK KOMUNIKASI BAGIRETORIKA 
Mengacu pada tujuan khusus komunikasi kita mengenal beberapa jenis. Untuk tujuan memberitahukan segala peristiwa yang terjadi sehari-hari, dapat dilakukan dengan menggunakan jurnalistik sebagai metodenya.
Untuk tujuan menciptakan dan membina hubungan harmonis antara lembaga dengan publiknya, orang melakukannya dengan menggunakan metode public relation. Kegiatannya merupakan satu usaha dalam menciptakan hubungan yang harmonis antara institusi dengan publik melalui program kerja yang positif. Suatu hubungan “memberi dan menerima” antara kedua belah pihak sehingga terjalin suasana akrab. Hubungan dimaksud dibentuk melalui program kerja yang positif, dalam arti berusaha secara sistematis guna meningkatkan pengertian, jasa baik (good will), dan kepercayaan publik, serta secara intensif menghilangkan atau mengurangi suara-suara negatif dari publiknya.
Untuk tujuan memberitahu dan menjelaskan sesuatu yang belum pernah diketahui khalayaknya, komunikasi dilakukan dengan metode yang dikenal dengan sebutan pendidikan. Dalam kegiatannya pendidikan merupakan suatu upaya penyesuaian individu dengan suasana dan tuntuta zaman. Khusus bagi bangsa Indonesia, tujuan pendidikan yang sangat mendasar dan elementer adalah:
1.      Mengembangkan semua bakat dan kemampuan seseorang baik yang masih kanak-kanak, maupun yang sudah dewasa, sedemikian rupa sehingga perkembangan tadi mencapai tingkat optimum dalam batas hakikat orang tadi. Pengembangan optimum ini mendasari kemampuan manusia untuk hidup dan bertahan dalam masyarakat secara terhormat.
2.      Menempatkan bangsa Indonesia pada tempat terhormat dalam pergaulan antar bangsa sedunia.
Untuk tujuan memberitahu dalam arti menjelaskan sesuatu yang telah dikenal (diketahui keberadaannya), komunikasi dilakukan dengan menggunakan metode yang disebut penerangan atau penyuluhan yang diarahkan untuk membuat terang dan jelas sesuatu yang telah diketahui keberadaannya. Maksudnya, meskipun sesuatu itu telah diketahui keberadaannya, namun belum jelas hal ihwalnya, baik ciri, fungsi, dan manfaatnya.
Untuk tujuan membujuk dan mengajak orang berbuat kebaikan secara agamis, komunikasi dilakukan dengan metode dakwah (Islam), misi (Katolik), dan zending (Protestan). Aktivitasnya berupa penyebaran ajaran serta ajakan agar orang mau menganut agama yang dianjurkannya.
Untuk tujuan mengisi pikiran orang lain dengan suatu dogma, komunikasi dilakukan dengan menggunakan indoktrinasi (penataran). Kegiatan ini diarahkan untuk mengubah jalan pikiran atau kepercayaan dengan menanamkan ideologi atau falsafah hidup tertentu pada diri orang lain.
Untuk tujuan membujuk orang agar menganut suatu kepercayaan atau melakukan tindakan tertentu serta meyakinkan kebenaran kepercayaan, dilakukan dengan propaganda. Kegiatannya diarahkan pada upaya menyebarkan suatu pola prilaku, usaha bersama dalam pengamalan serta memajukan suatu doktrin, atau mempengaruhi kegiatan orang dengan memanipulasi pandangannya.
 Sebenarnya banyak lagi cara lain untuk mengkomunikasikan suatu gagasan, jasa, ataupun barang selain dari metode komunikasi yang telah diuraikan tadi. Apabila kita cermati tujuan akhirnya, semua metode itu jelas hanya berusaha mengubah sikap, sifat, pendapat, dan prilaku orang yang dijadikan sasaran.